Pekan ini adalah pekan Muktamar NU yang ke-32. Kegairahan yang luar biasa jelas ditunjukkan oleh bukan saja para muktamirin dan kandidat yang bersaing di kota Makassar, namun juga oleh sejumlah pengamat NU. Rata-rata mereka tampak akur tentang satu hal: bahwa NU harus menjauhi aktifitas politik praktis, dan dalam kaitan dengan itu NU juga harus dilepaskan dari dominasi politisi serta dikembalikan lagi ke bawah supremasi ulama.
***
Saran bagi NU untuk menjauhkan diri dari tarik-menarik politik mungkin tampak menarik. Para kandidat ketua umum PB NU juga sangat fasih menjanjikan itu. Namun demikian, saya memandang bahwa saran itu perlu diperlakukan sangat hati-hati. Ada beberapa persoalan.
Pertama, saran itu cenderung memaknai politik dalam pengertian pergelutan kekuasaan semata, dengan segala atribut negatif terhadapnya. Padahal, politik memiliki makna yang jauh lebih luas dari itu. Politik bisa berarti langkah mempengaruhi kebijakan publik dan komposisi politik. Bahwa NU sebagai lembaga non-parpol tak turut secara langsung dalam proses rekrutmen politik, itu hal lain.
Kedua, saran semacam itu cenderung tidak realistis baik secara sosiologis maupun secara historis. Sejarah NU pada garis-besarnya adalah sejarah politik. Periode ringkas tahun 1926-1937 ketika NU lebih cenderung ke aktivitas diniyah adalah periode kanak-kanak yang dalam kenyataannya segera disusul oleh periode ‘remaja’ dan ‘dewasa’ yang sangat politis. Semenjak bergabung di MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) di tahun 1937, lalu Masyumi hingga tahun 1952, NU telah menapaki tradisi politik yang panjang. Tahap-tahap sejarah NU menunjukkan perubahan nuansa dan tekanan politik, namun gairah politik itu sendiri tak pernah pudar. Momen-momen sejarah yang paling menentukan wajah NU (termasuk mufarraqah dari Masyumi di tahun 1952, dan ‘Kembali ke Khittah’ tahun di tahun 1984) adalah momen politik dimana NU merenegosiasi posisi dan peluang politiknya.
Ketiga, secara teoritik, tradisi dan peran politik NU ini sangat penting, dan sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. NU adalah sebuah interest groupyang memang mengemban fungsi, meminjam istilah Rothenberg (1992), linking citizens to governmnet. Sebagai sebuah jam’iyah, adalah kewajiban sejarah dan kewajiban esensial bagi NU untuk menjadi lembaga intermediary antara masyarakat dan pemerintah/negara. Tanpa pelaksanaan fungsi politik untuk mempengaruhi kebijakan dan konstelasi politik, NU justru akan mengingkari tugas sosial-nya yang paling utama.
***
Pertanyaannya kini: bagaimanakah cara mengelola peran politik di NU? Dalam kaitan dengan pertanyaan ini, terdapat dua level persoalan yang mesti dibenahi NU:level kelembagaan dan level kepemimpinan.
Pada level kelembagaan, ada persoalan serius terkait dengan hubungan segitiga antara jamaah, jam’iyah dan parpol. Pola hubungan segitiga ini muncul secara gradual sejak tahun 1973 dan menguat tahun 1998.
Ketika didirikan tahun 1926, NU hadir sebagai sebuah jam’iyah yang memberi kerangka formal terhadap komunitas Islam ‘tradisional’ yang telah eksis sebagai jamaah. Jamaah ini belakangan memperoleh sebutan sesuai dengan nama formal jam’iyahnya (yakni Nahdliyyin), namun sebenarnya ia adalah lapis realita yang mesti dibedakan. Jamaah Nahdliyyin adalah komunitas Islam Indonesia yang memiliki karakter teologis tertentu, sedang jam’iyah Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi formal yang membawa tujuan untuk mengawal kepentingan teologis dan sosiologis jamaah tersebut. Wujud jam’iyah ini berubah-ubah (pernah menjadi interest group, pernah pula menjadi partai politik), sesuai dengan konteks pergeseran peluang untuk mencapai tujuan.
Tahun 1973, persoalan mulai muncul ketika NU sebagai parpol difusikan dalam PPP. Jalinan jamaah-jam’iyah ini memperoleh mitra ketiga, yakni parpol bernama PPP. Ketika NU keluar dari parpol ini di tahun 1984, persoalan relasi segitiga itu berlanjut dalam pola yang secara laten lebih rumit. Keruwetan muncul ketika tahun 1998 didirikan parpol-parpol yang mengklaim diri sebagai ‘buatan’ NU. PKB belakangan ‘memenangkan’ persaingan antar parpol-parpol ini, namun pola hubungan segitiga jamaah – jam‘iyah – parpol dalam banyak aspek menjadi tak terlalu menguntungkan NU. Kenyatannya orientasi politik Nahdliyyin sangat menyebar, dan PKB tak sanggup mentranslasikan kebesaran massa jamaah ini menjadi perolehan suara yang signifikan dalam pemilu. Bagi sejumlah orang, PKB kerap hanya menjadi beban bagi jamaah dan jam’iyah Nahdliyyin, ketimbang memberi keuntungan.
Karena itu, penting kiranya bagi NU untuk mengurai keruwetan hubungan segitiga jamaah-jam‘iyah-parpol yang ada selama ini. Idealnya, pola hubungan ini disederhanakan menjadi jamaah-jam’iyah saja. Kalau memang NU bisa lepas dari politik, maka NU tak harus menjadi life-blood parpol manapun, termasuk yang mengklaim diri sebagai partainya Nahdliyyin. Tapi kalau politik kekuasaan sedemikian penting bagi NU, tak ada salahnya mengupayakan diri menjadi parpol kembali.
Kemudian pada level kepemimpinan, NU nampaknya mengalami kemacetan kaderisasi pemimpin yang tak bisa dipandang remeh. Pada malam kedua Muktamar di Makassar, diselenggarakan debat antar bakal-calon ketua PB NU. Dari cara mereka memaparkan visi dan gagasan, mereka tampak seperti kumpulan ‘fracture’ dari kualitas kepemimpinan NU di masa lalu, seperti Idham Khalid dan Abdurrahman Wahid. Di sisi lain, mereka rata-rata fasih berbicara tentang komitmen untuk tak menjadikan NU sebagai alat politik praktis. Tapi, saya termasuk yang sulit untuk percaya bahwa pada kenyataannya mereka akan sanggup untuk melakukan itu.
Idealnya, para calon pemimpin NU sanggup untuk menerapkan peran politik jam’iyah ini secara terhormat dan elegan, ketimbang terus-menerus mencoba menolak pentingnya peran politik tersebut. Seluruh janji manis untuk ‘membebaskan’ NU dari jerat politik dan kekuasaan mungkin hanya akan berakhir sebagai janji manis saja, yang sesungguhnya tak dibutuhkan oleh NU. Yang dibutuhkan oleh NU adalah pola kelembagaan dan pemimpin yang mampu mengelola energi dan peluang politiknya secara halalan-thoyyibah. Sebabnya sederhana saja: politik itu wajib bagi NU.