Sambil berjalan tak-bergegas ke arah mobil, pada pria paruh baya yang mengantarkan kami ke halaman depan itu kutanyakan: “apa arti kata ‘Sangam’?”
“‘Sangam’ artinya pertemuan,” jawab pria simpatik berwajah Eropa yang mahir berbahasa Indonesia tersebut.
“‘Pertemuan’ as in ‘meeting’?” tanyaku lagi, berusaha meyakinkan.
“Tidak,” jawab pemilik tempat yang baru kudatangi itu. “Maksudnya pertemuan dua sungai. ‘Sangam’ adalah titik pertemuan dua sungai.”
“Ohh… Pertemuan dua sungai.” Aku mengangguk-angguk mafhum. Lalu pada stafnya yang orang Yogya asli kuberkata: “Mirip dengan kata ‘tempuran’ ya, kalau dalam bahasa Jawa.” Yang kuajak bicara manthuk dengan mantap.
Aku pun kemudian berlalu. Membawa rasa puas tak terkatakan…
***
Kawan, kalau saya diminta menggambarkan diri saya secara lekas, biasanya akan saya jawab: aku adalah penikmat. Ah, kurang lengkap. Yang benar: aku adalah penikmat yang optimistik. Segala sesuatu sering saya ukur dari kemampuan saya untuk menikmatinya, bukan dari bagaimana sesuatu itu dibuat atau terjadi. Pagi berkabut, misalnya, tak pernah saya pusingkan berlebihan tentang dari mana kabut itu berasal, dan pertanda apa yang ia bawa. Saya lebih ‘sibuk’ pada urusan menikmati pagi berkabut itu sebagai cara untuk menenangkan hati dari ketergesa-gesaan kerja. Dalam menilai makanan pun saya lebih banyak melihat dari kemampuan saya untuk menikmatinya secara orgasmik dan ekstatif — sebisa mungkin tanpa meninggalkan jejak rasa bersalah. Tidak, saya tak suka makan terlalu banyak. Yang penting bagi saya, setiap makanan yang saya cicipi haruslah lezat — sekadar ‘enak’ saja buat saya tak cukup.
Dalam takaran sikap seperti itu, saya merasa bahwa selama beberapa minggu belakangan ini saya tak cukup menikmati masakan dengan rasa dan dalam suasana yang memberi kenikmatan paripurna. Gara-gara program diet yang tengah saya jalani (my BMI is 5 point over!), urusan makan harus saya geser ke persneling rendah. Peluang saya untuk menjelajahi dunia kuliner hanya terdapat di saat-saat makan siang, sebab pagi dan malam hari saya hanya boleh mengkonsumsi nutritional shake. Mencari kenikmatan kuliner di jam-jam makan siang jelas sangat sulit, kecuali di hari Minggu saat saya tak ke kantor. Tak ayal, dalam beberapa minggu ini, ‘makan’ telah kehilangan fungsi rekreatif dan relaksatif-nya buat saya. How sad..!
Maka bayangkanlah, betapa sumringah dan bergairahnya saya ketika di suatu pagi pekan lalu, Miming menunjukkan info di internet tentang sebuah restoran India di Yogya. Info di internet itu menyajikan gambar-gambar masakan yang nampak sangat menggairahkan, dan tata ruang yang sangat indah di resto India itu. Ia menjanjikan sajian India tulen dalam suasana yang juga India. Beberapa kali, kami sudah mencoba masakan India yang ada di Yogya (termasuk yang ada di Jl. Palagan depan Hyatt), namun tak ada satupun yang memuaskan kami. Semuanya menyajikan masakan yang sudah teramat-sangat disesuaikan dengan lidah lokal. Jadinya malah tidak ‘India’ menurut saya. Kami pengemar masakan India dengan citarasa yang asli, seperti sajian resto Annalakshmi di Perth dulu. Di tengah rasa dahaga akan masakan India asli, info di internet tentang masakan India tulen itu seperti oasis di gurun pasir…
Sangam nama restorannya. Saya segera ingat-ingat dalam hati.
Sore itu, dengan niat bulat untuk melanggar pantangan diet saya untuk makan menjelang senja, kami berempat nekad bergerak ke Jl. Pandega Siwi, dimana Resto Sangam itu berada. Usai menjemput Perdana dan Afkar dari sekolah mereka di SD Al Azhar 31 dan mampir sebentar belanja kebutuhan seragam sekolah di Mirota Kampus, Miming menjemput saya di PAU UGM. Tanpa banyak cakap, mobil saya luncurkan ke Jl. Kaliurang. Sebelum pom bensin dekat perempatan Ring Road, kami belok kiri ke Jl. Pandega Siwi, sebuah jalan kecil yang bisa membawa kita ke kawasan Pogung. Perlu beberapa waktu sampai kami menemukan bangunan nomer 14, tempat resto Sangam berada.
Bangunan ini dulunya bekas rumah tinggal, saya duga. Kini pintu depannya diganti dengan regol kayu yang cukup tebal dan nampak berat. Pintu tertutup itu kami dorong dengan rasa ingin tahu yang amat sangat. Begitu pintu terbuka, kami disambut oleh ruang tengah yang penuh dengan barang kerajinan bernuansa India. Di sudut kiri sana, ada lincak kayu yang difungsikan sebagai tempat memajang sarung batal dan tas tangan penuh dengan payet dan kaya warna. Di arah kanan, saya lihat sandal kulit berjejer rapi, hingga ke ujung dimana kain-kain sari dipajang dengan sangat mengundang mata. Di meja tengah, ada leaflet tentang berbagai hal termasuk kursus yoga yang diadakan berkala di tempat ini. Ada juga di sisi lain, meja kecil dengan tempayan kuningan berisi perhiasan bercorak India. Semua yang ada di ruangan ini dijual.
Saya baru saja mulai melihat-lihat barang yang dipajang itu, ketika dua orang muncul dari arah berbeda. Satu orang, lelaki berkulit putih, bertubuh tinggi dengan kacamata bundar di atas hidungnya, muncul dari arah kanan kami. Ia menyapa dalam dua bahasa, “good afternoon, selamat sore.” Orang kedua, muncul dari pintu di depan kami, yang saat dibuka menunjukkan pemandangan sebuah courtyard dengan deretan kursi dan meja makan. Pria muda ini mengenakan busana India berwarna cerah, dan mengucap selamat datang.
Pada keduanya saya jawab, “selamat sore”. Pada pria pertama saya bertanya, “are you the owner?”
“Yes, I am,” jawabnya. “Aku pemilik tempat ini”.
Ya, dia menggunakan kata ‘aku’, bukan ‘saya’. Bahasa Indonesia-nya sangat bagus, meski logat asingnya sangat terasa.
“Silakan.” Lelaki muda dari pintu courtyard itu mengarahkan tangannya, mengajak kami memilih tempat duduk.
Restoran sedang sepi sore itu, sehingga kami bebas memilih tempat yang nyaman. Ruang makan di halaman belakang itu cukup luas. Lebarnya hampir 10 meter, dengan dua deretan panjang tempat makan. Deret dekat halaman adalah tempat makan dengan meja-kursi, deret dekat tembok belakang adalah tempat makan lesehan, dengan satu meja besar dan empat guling ukuran jumbo. Perdana dan Afkar memutuskan untuk memilih tempat makan lesehan yang nampak nyaman dan mengundang. Begitu tiba di sana, mereka segera menenggelamkan diri di guling-guling besar itu…
Tak lama setelah kami duduk, pria kedua tadi datang membawa setumpuk buku menu. Kali ini dia sudah mengenakan peci ala Nehru. Masakan yang tercantum dl buku menu itu cukup lengkap. Ada butter chicken, tandoori chicken, ada capati dan naan, ada juga dhal yang sejak balik ke Indonesia tak pernah saya jumpai. Sayangnya, ada beberapa masakan yang baru tersaji setelah jam 6 sore (termasuk naan dan tandoori chicken), karena masih menunggu tungku tanduri untuk siap. Kami yang tiba jam 16.30, jelas belum bisa memesan roti naan dan tandoori chicken. Afkar agak kecewa karena naan adalah makanan kesukaannya, meski akhirnya ia bisa dibujuk untuk mencoba capati. Jadilah kami pesan beberapa capati, satu porsi jeera rice (nasi kuning India dengan mentega dan jinten), dhal curry, chicken korma, dan chicken curry andra style. Untuk minuman, kami pesan Indian iced tea, ginger squash, mango lassy, dan watermelon juice.
Satu mangkok keripik ketela menemani saat-saat menunggu pesanan siap, namun saya lebih memilih untuk beranjak ke ruang tengah dan memuaskan rasa penasaran akan produk kerajinan yang dipajang. Sandal-sandal kulit bergaya India dijual seharga Rp. 150.000,-. Cukup layak untuk bentuk dan buatannya yang nampak rapi. Gelang-gelang dengan warni-warni ceria juga ditawarkan dengan harga cukup murah. Saya tengah membayar dua buah gelang, ketika saya lihat di courtyard, pesanan kami mulai berdatangan. Saya pun bergegas kembali ke sana.
Di meja telah saya lihat wajan mini berisi dhal. Tak lama kemudian wajan-wajan mini lainnya berisi ayam berbalur kuah kari dengan aroma khasnya tiba melengkapi tatanan meja. Setiap porsi masakan tadi cukup besar, bahkan untuk disantap dua orang sekalipun.
Seperti dijanjikan oleh suasananya, masakan di Sangam betul-betul bercitarasa India, tanpa adaptasi yang berlebihan terhadap lidah Indonesia. Saya mulai dengan selembar capati, dan beberapa sendok dhal di atas piring. Sobekan capati pertama saya perindah dengan sapuan kari dhal, dan segera saya perkenalkan pada rindu teramat sangat di lidah. Rindu itu pun terpuaskan tanpa ragu sejak sentuhan dininya…
Kedua masakan ayam yang kami pesanpun menyajikan keaslian rasa masakan India. Saya yang coba bertahan dengan capati, akhirnya tergoda juga menyendok nasi jeera untuk menemani ayam berkari gelap kental itu. Daging ayamnya lembut, serapan bumbu karinya sama sekali tak kenal basa-basi. Sayangnya kari yang andra style itu berasa terlalu pedas untuk anak-anak. Afkar nampak berkeringat setelah mencoba beberapa suapan dengan capati dan nasi jeera. Untuk anak-anak, menu dengan rasa lebih mild seperti chicken korma sepertinya lebih pas. Di sisi lain meja, Perdana nampak keasyikan betul dengan menu pesanannya itu. Seperti biasa, ia tak akan melewatkan peluang untuk menghabiskan sisa makanan yang tak sanggup dihabiskan Afkar karena kepedesan.
“Can I finish the chicken?” tanyanya menunjuk pada wajan mini di depan Afkar.
“Sure you can. I don’t want it anymore,” jawab adiknya.
Miming yang mencoba tetap (sedikit) setia pada tekad diet-nya, menyodorkan wajan dhal pada saya untuk dibereskan. Tawaran ini jelas saya terima tanpa ragu sedikitpun.
Jelang mentari terbenam, kegembiraan senja di Sangam harus kami akhiri jua. Badan yang mulai merebah usai mengerumuni meja, haruslah beranjak segera, kendati hati masih rada berat. Ke ruang tengah kami berjalan malas-malasan, usai membereskan urusan dengan kasir. Mampir sejenak melihat persiapan kelas yoga yang segera akan dimulai di sebuah ruang di sayap kanan bangunan, kami sempatkan bertanya pada sang pelatih tentang jadwal dan tempatnya. Ia jelaskan sambil menyorongkan sebuah leaflet pada saya. Kami pun lalu menyeret langkah ke regol berat itu.
“We’ll be back,” kata saya pada si pemilik Sangam yang mengantarkan kami ke halaman depan. Ia mengangguk ramah sambil terus menemani kami ke arah mobil.
Of course we will… []
–
Note: gambar diambil dari sini.