Lembaga kemahasiswaan di kampus adalah lembaga yang sangat penting dan kontributif dalam proses pematangan berpikir dan bertindak seorang mahasiswa. Banyak keterampilan sosial dan politik yang sangat penting yang dibutuhkan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan diri (sehingga lebih berpeluang untuk sukses) justru dikembangkan di lembaga-lembaga kemahasiswaan, ketimbang di ruang kuliah. Orientasi ideologis dan politik seseorang bahkan lebih mungkin untuk dibentuk di luar ruang kuliah, khususnya di lembaga-lembaga kemahasiswaan itu.
Karenanya, lembaga kemahasiswaan menyediakan bagi kita sebuah media untuk memprediksi arah dan bentuk dinamika politik di lingkup kenegaraan baik lokal maupun nasional. Sekaligus, dinamika student government di kampus adalah cerminan dari realitas politik yang ada di luar sana. Jika politik kenegaraan adalah sebuah makro-kosmos, maka student government adalah sebuah mikro-kosmos. Kedua kosmos ini memiliki perilaku yang senada. Keduanya juga dapat diamati dengan pertanyaan yang sama: seperti apakah proses representasi yang berjalan di sana? Adakah independensi lembaga-lembaga tersebut? Dengan cara yang sama, pertanyaan itu dapat kita layangkan pada kondisi student government di UGM.
***
Tak banyak studi yang secara khusus membahas tentang student government atau student governance. Salah satu buku terkini tentang peran gerakan mahasiswa dalam formulasi kebijakan diedit oleh Miller dan Nadler dengan judul Student Governance and Institutional Policy: Formation and Implementation (2006). Dalam kata pengantar untuk buku ini, Laosebikan-Buggs menulis secara ringkas tentang gambaran umum student government di kampus. Laosebikan-Buggs menulis bahwa student government associations mula-mula muncul di Amerika di awal tahun 1900an, dibentuk oleh otoritas kampus untuk menata kehidupan mahasiswa. Tujuan essensial pendirian lembaga intra kampus, dengan demikian, memang kontrol universitas terhadap mahasiswa.
Student Government memiliki orientasi yang cukup beragam: orientasi pada politik semata-mata, orientasi pada pemenuhan kebutuhan pragmatis mahasiswa, atau orientasi ekonomi. Dalam orientasi pertama, isu yang menonjol biasanya adalah persaingan yang sangat ideologis untuk mengisi posisi-posisi penting di struktur kemahasiswaan. Di sini, lembaga kemahasiswaan menjadi ajang persaingan dan pematangan politik yang cukup penting. Dalam orientasi pemenuhan kebutuhan mahasiwa, lembaga-lembaga ini lebih banyak mencurahkan energinya untuk memenuhi hajat-hidup sehari-hari mahasiwa, seperti sarana tempat tinggal dan makan di kampus, sarana olahraga, parkir, dan lain-lain. Orientasi ini kadang berimpit dengan orientasi bisnis.
Terlepas dari orientasi apapun yang dimiliki oleh student government, terdapat sejumlah fungsi pokok yang harus dijalankan oleh lembaga kemahasiswaan tersebut. Laosebikan-Buggs menyebutkan 3 (tiga) fungsi pokok student government yang satu sama lain sangat terkait, yakni advocacy, representation, and voice. Sebagai sebuah lembaga yang anggotanya dipilih, student government pada intinya adalah sebuah lembaga representasi. Karenanya, lembaga ini harus mampu memainkan peran advokasi bagi para mahasiswa, maupun bagi kelompok-kelompok mahasiswa yang ada di kampus. Lembaga ini memiliki tugas utama untuk memformulasikan dan menyuarakan opini dan kepentingan mahasiswa secara tepat dan realistis. Lembaga mahasiswa, dengan demikian, harus menjadi manifestasi dari harapan dan kepentingan riil para mahasiswa di kampus. Sayangnya, demikian tulis Laosebikan-Buggs (2006:3),
In reality, the role of advocacy is almost completely absent in most student government bodies. Advocacy is limited to the issues of concern to the officers and the body, with little regard to the average student. Student organizations [are] representing their own interest…
***
Untuk konteks student government di Indonesia khsususnya di UGM, terbuktikah kekhawatiran Laosebikan-Buggs di atas? Tentu saja kita perlu melakukan pengamatan lebih dalam. Namun beberapa fakta berikut bisa kita diskusikan.
Kita bisa mulai dengan menggaris-bawahi kenyataan bahwa di masa pemerintahan otoriter, gerakan mahasiswa tak ayal menjadi salah satu target korporatisme politik yang dijalankan oleh negara. Pembatasan ruang-ruang ekspresi dan gerakan adalah salah satu metode penting yang dilakukan negara masa Orde Baru. Kebijakan NKK-BKK di masa lalu adalah manifestasi paling jelas dari pola penanganan yang korporatis itu. Di sini, mahasiswa dan gerakan mahasiswa diletakkan dalam kontrol negara yang sangat ketat. Ujung tombak kontrol negara itu, sayangnya, tak lain dan tak bukan adalah pimpinan universitas sendiri. Kontrol negara ini dijalankan dengan banyak cara, termasuk dalam intervensi terhadap proses representasi dalam student government, hingga secara remuneratif dengan kendali dan ketergantungan anggaran.
Pasca Orde Baru, kendali ideologis oleh pimpinan universitas memang telah sirna, namun ketergantungan anggaran dari student government terhadap pimpinan universitas masih cukup tinggi. Hal ini jelas sangat menghambat kemandirian lembaga kemahasiwaan, dibandingkan jika lembaga ini mandiri secara finansial.
Di Amerika dan negara-negara maju lain seperti Australia, gerakan mahasiswa sudah dikelola secara sangat profesional untuk mewakili mahasiswa dan upaya pemenuhan kebutuhan sehari-harinya itu. Bahkan, pengurus lembaga kemahasiswaan tak jarang digaji cukup besar agar bisa memusatkan perhatian pada tugas keseharian itu. Dari mana dana untuk menggaji itu diperoleh? Tentu saja dari keuntungan bisnis yang mereka kelola, yang di dalamnya termasuk asrama mahasiswa, kantin, sarana olahraga, bahkan konseling mahasiswa. Keanggotaan dalam lembaga mahasiswa ini bersifat sukarela, dan mensyaratkan pembayaran iuran keanggotaan. Sebagai mahasiswa di Curtin University, saya harus membayar AU$100 setiap tahun jika ingin menjadi anggota di Student Guild. Dengan menjadi anggota Student Guild, saya memperoleh sejumlah hak termasuk untuk mendapat diskon saat berbelanja di unishop misalnya. Iuran tahunan yang cukup besar ini memberi pemasukan yang tidak kecil bagi student government di sana. Pemasukan secara rutin dari iuran keanggotaan dan, terlebih lagi, dari keuntungan pengelolaan bisnis, ini telah secara signifikan menciptakan kemandirian student government terhadap otoritas kampus.
Tapi kalaupun kemandirian finansial itu bisa dicapai, student government di Indonesia, punya agenda lain yang juga mendesak: kemandirian dari ‘invasi’ ideologis eksternal. Saat ini, sulit untuk menyangkal bahwa student government punya kecenderungan representasi peta ideologis eksternal. Lembaga ini lebih cenderung menjadi arena bagi kekuatan luar untuk masuk dan menemukan lahan di dalam. Ia bukan sebaliknya: wadah organik yang melahirkan kekuatan yang home grown untuk pada gilirannya menyumbang pada peta politik eksternal. Yang menjadi dasar pergulatan dan kontestasi dalam student government kita adalah ideologi eksternal, bukan daily needs para mahasiswa secara internal. Di tengah politik yang (diharapkan) kian pragmatis dan daily, orientasi ideologis lembaga kemahasiswaan yang eksesif adalah sebuah ketertinggalan. (Bandingkan dengan politisi kita yang mulai menangkap isu-isu riil dan kongkrit seperti Venna Melinda dan rumah senamnya).
Dengan orientasi yang masih cenderung ideologis dan eksternal ini, saya khawatir bahwa student government kita kian lama kian akan berhadapan dengan pertanyaan tentang representasi, seperti ditandaskan oleh Laosebikan-Buggs di atas. Sanggupkah kita menjawabnya?