Jam 20.02, HP saya berdering. Di layar tampak nomer +622155xxx18. Nomer Jakarta. Saya jawab panggilan itu. Suara di seberang mewartakan sesuatu yang saya tunggu sejak kemarin: “Pak Gaffar, koper bapak sudah ditemukan dan dikirimkan dari Amsterdam. Sore tadi kopernya tiba di Jakarta dengan KLM, dan akan dikirim ke Yogya dengan Garuda jam 08.00 esok. Silakan bapak ambil di bagian lost-and-found Bandara Adisucipto.” Pada pria yang tak sempat saya tanyakan namanya itu saya sampaikan terima kasih banyak atas info ini. Koper hitam berisi sebagian baju kotor dan buku itu sudah balik, setelah sehari semalam menghilang sejak 2 September kemarin…
***
Koper yang sedang saya ceritakan ini tak saya temukan di baggage claim Bandara Sukarno-Hatta, Jakarta (eh, Tangerang ya yang betul?), setelah perjalanan panjang yang melelahkan dengan rute Oslo-Amsterdam-KL-Jakarta selama hampir 20 jam total. Ini adalah perjalanan pulang seusai mengikuti sejumlah acara termasuk conference di Gothenburg (dalam tulisan aslinya: Göteborg) dan rapat-rapat riset yang maraton dan melelahkan di Oslo sejak tanggal 24 Agustus lalu. Rute perjalanan yang dimulai tanggal 23 Agustus malam itu adalah: Jakarta-KL-Amsterdam-Guthenburg.
Conference yang saya ikuti di Gothenburg diadakan oleh EuroSEAS, dengan tajuk yang sama seperti nama penyelenggaranya, dan sudah ke-enam kalinya diadakan. Dalam acara tahun ini, tak kurang dari 295 peserta hadir, sebagian besar menyampaikan makalah dengan berbagai topik dalam sejumlah besar perspektif. Saya sendiri membawakan makalah berjudul Rowing between two streams: Identity Reclaiming in North Sulawesi in the post New Order Era. Makalah ini saya sampaikan dalam salah satu panel pada hari kedua dari conference yang berdurasi total tiga hari ini. Beberapa Indonesianist terkemuka hadir dalam panel ini, termasuk Prof. Olle Törnquist (yang menjadi tuan rumah kami di Oslo), Dr. Gerry van Klinken, Prof. Vedi Hadiz, Prof. James Fox, Prof. Robert Cribb, dan sebagainya. Forum saya dikelola oleh Gerry van Klinken, dengan discussant Dr. Eva-Lotta Hedman.
Seperti biasa, sebuah conference — apalagi dengan tingkat kesertaan sangat luas seperti Euroseas ini — lebih penting untuk dilihat dalam sudut pengembangan jejaring akademik, ketimbang presentasi paper itu sendiri. Karena itu, meski panel-panelnya sangat penting, namun masa-masa jeda jauh lebih penting lagi, sebab di sana kita bisa bertemu dan berinteraksi dengan sejumlah besar pengamat, akademisi, mahasiswa, dan jurnalis senior. Yang bagi banyak orang juga penting adalah hadirnya stall penerbit yang menawarkan sejumlah besar buku mereka dengan harga diskon. Alhasil, hasrat memborong buku pun meluap, dan melayanglah lembaran-lembaran euro itu tanpa bisa dicegah… *Hhh… setan konon dibelenggu saat Ramadlan, namun jelas bukan setan-setan yang berkeliaran di toko buku. Mereka tetap aktif dan godaannya susah ditangkal…*
Di hari kedua conference, seluruh peserta diundang makan malam oleh Walikota Gothenburg, seorang perempuan energik bernama Anneli Hulthén. Tak kurang dari tiga bis besar membawa kami dari University of Gothenburg di Linné ke balai kota di tepi sebuah kanal besar yang konon dibangun oleh imigran Belanda berabad-abad silam (sayang kanal bikinan Belanda yang di Jakarta dan Surabaya sangat tak terawat). Di tengah lapangan balaikota ini, terdapat sebuah patung perunggu yang sudah berwarna biru karena oksidasi beberapa dekade. Patung ini menggambarkan Gustav Adolf den store (penguasa Swedia 1611-1632) sedang berdiri gagah, dengan tangan menunjuk ke arah tanah lapang yang diberi nama Gustav Adolfs torg (Gustav Adolf Square) ini. *Entah mengapa, patung tokoh penting sebuah kota kerap digambarkan menunjuk ke bawah, ke arah dimana patung itu berdiri.* Patung indah tak hanya ada di halaman balaikota, melainkan juga di sudut-sudut rumah dinas walikota yang megah itu. Di hall utama tempat kami dijamu makan malam misalnya, terdapat tak kurang dari enam patung besar (dan sejumlah patung kecil) terbuat dari pualam. Semua indah dan cantik…
Usai tiga hari di Guthenburg, saya bersama beberapa kolega dari UGM (termasuk dekan FISIPOL , Prof. Pratikno) bergerak ke arah barat-laut mendekati perbatasan Swedia-Norwegia, ke sebuah kota pantai kecil bernama Kungshamns. Di kota ini lah Prof. Olle Törnquist tinggal, meski ia berstatus resmi sebagai dosen di University of Oslo (UiO). Malam pertama di Kungshamns, kami menginap di sebuah guesthause. Dulunya, ini adalah rumah para pendeta yang bertugas di gereja yang terletak tak jauh dari situ. Tepat bersebelahan dengan guesthause ini, sebuah kuburan tua menyapa kami dengan dingin dan misterius. Saya merasa sedang berada di Hogwart.
Malam pertama di Kungshamns, Olle mengajak kami ke sebuah rumah kayu di dermaga yang menghadap ke sebuah teluk kecil, dengan sebuah jembatan membentang di kejauhan. Pemandangan dari balkon rumah Olle ini sungguh sangat indah, apalagi saat matahari terbenam. Tapi keindahan malam itu yang sebenarnya terdapat di meja makan. Bersebelas orang kami duduk mengelilingi nampan berisi udang galah besar-besar yang sangat mengundang. Di sebelah nampan udang galah itu, piring besar berisi udang rebus berbaring tenang menunggu uluran tangan…
Sambil (berlagak serius) membincangkan sejumlah isu politik dan akademis, kami kerahkan seluruh pikiran dan tenaga pada piring-piring lezat itu. Tak ada yang perduli pada kolesterol. Udang-udang itu terlalu lezat untuk mengacaukan pikiran kami pada ukuran kesehatan yang dengan absurdnya diciptakan oleh manusia itu. Kesehatan terletak pada hati yang tenang, wahai sobat. Dan makanan lezat itu memberikan ketenangan hati yang luar biasa… 🙂
Setelah semalaman tidur nyenyak sambil mencerna makanan lezat itu, esoknya kami diajak Olle menyeberang ke sebuah pulau tak jauh dari situ, tempat dimana sebuah mercusuar berada. Pulau bernama Hållö ini seluruhnya terdiri dari batu granit. *Oya, Swedia (dan Norwegia) sangat kaya akan bebatuan, termasuk batu granit. Mereka menggunakan batu granit untuk banyak keperluan, mulai dari jalan raya hingga kuburan. Yang di pulau Hållö termasuk granit yang tak boleh diambil.* Cuaca bulan Agustus yang sudah mulai sejuk membuat perjalanan kami ke dan di Pulau Hållö terasa menyenangkan. Lensa kamera saya berpesta-pora memanfaatkan langit bersih yang nyaris tanpa awan.
Dua malam saja kami di Kungshamns yang tenang dan damai ini. Hari Senin, 30 Agustus pagi kami harus bergerak ke Oslo lewat jalan darat, untuk mulai bekerja membahas sejumlah agenda kerjasama riset antara UGM dan UiO. Sama seperti perjalanan Guthenburg-Kungshamns, kami juga menempuh perjalanan Kungshamns-Oslo selama 3,5 jam ini dengan sebuah mobil besar yang dikemudikan oleh Prof. Kristian Stokke. Kami singgah sebentar di sebuah jembatan di atas sungai yang merupakan batas alamiah antara Swedia dan Norwegia. Tak ada urusan imigrasi apapun saat kami melintasi perbatasan kedua negara yang sama-sama menerapkan visa Schengen ini.
Hari-hari di Oslo adalah hari-hari rapat dan rapat. Sejak hari pertama kami sudah tancap gas mengurung diri di UiO. Menurut saya tak ada yang perlu dikisahkan dari rapat-rapat itu, agar anda semua, wahai sahabat, tak tertidur saat membaca catatan ini. Tak banyak kesempatan jalan-jalan dan melemaskan lensa kamera selama di Oslo. Saya hanya bisa menikmati waktu santai di malam hari, termasuk makan malam di sebuah restoran India tak jauh dari stasiun Oslo, atau jalan-jalan di sekitar gedung opera yang menurut saya biasa-biasa saja dibandingkan gedung opera di Sydney.
Yang tak biasa-biasa saja di Oslo (dan negeri Skandinavia pada umumnya) adalah ikan lautnya yang kondang lezat. Di malam terakhir kami di Oslo, Olle mengajak kami semua makan malam di sebuah restoran yang menyajikan menu serba ikan dari pantai utara Norwegia. Restoran kecil (tapi jelas tak murah) ini menyajikan ikan terbaik sesuai musimnya. Pada kami dijelaskan empat macam ikan yang malam itu akan menjadi wasilah kenikmatan kuliner. Sayangnya, saya tak sempat menyimak dengan jelas ikan-ikan apa saja yang akan disajikan, sebab perut lapar saya sudah berkolaborasi dengan hidung yang sibuk mengendus aroma masakan. Keduanya sukses membuat benak saya tak sanggup berpikir akan hal lain kecuali makanan. Perlu waktu lebih dari setengah jam sebelum nampan-nampan besar berisi ikan yang dimasak sederhana namun menebarkan aroma mewah-lezat itu berdatangan ke hadapan kami ber-10. Kentang rebus dan salad menemani ikan-ikan malang yang kami cabik-cabik tanpa perasaan itu. Namun jelas-jelas, kentang rebus dan salad boleh cemburu saja pada ikan-ikan lezat di sebelahnya. Saya tak sanggup membagi hati dan perhatian dari nampan ikan itu. Maafkan…
Rabu sore, setelah setengah hari menyelesaikan sejumlah agenda tersisa dalam rapat ringkas di UiO, kami mulai berpencaran. Kaprodi Pascasarjana Ilmu Politik UGM, Prof. Purwo Santoso, segera putar haluan ke tenggara untuk umroh bersama istrinya. Nico Warouw dan Ketua Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM, Cornelis Lay, lompat ke Leiden untuk melanjutkan urusan mereka di sana. Sementara itu, saya bersama Eric Hiariej dan mas Pratikno harus mudik ke Yogya. Jam 15.00 kami selesaikan urusan check in di Oslo Airport, untuk terbang ke Amsterdam jam 17.25. Ini penerbangan yang saya majukan sehari. Rencana semula, kami akan terbang tanggal 2 September dari Oslo. Karena urusan sudah selesai, kami putuskan untuk ke Amsterdam sehari lebih awal, untuk bermalam di rumah mas Cornelis dan jalan-jalan di Leiden dan Den Haag, baru esoknya lanjut ke Hindia Belanda. Tapi karena miskomunikasi, yang dirubah oleh KLM bukan hanya jadwal penerbangan ke Amsterdam, melainkan seluruh rangkaian penerbangan hingga ke Batavia. Alhasil kami urung tinggal semalam di Amsterdam, dan harus meluncur terus ke timur malam itu juga.
Bersama saya waktu itu ada dua koper. Satu koper hitam agak besar milik saya sendiri. Isinya adalah baju saya dan sepatu serta boneka titipan mas Purwo untuk putrinya. Satu lagi adalah koper agak kecil milik mas Purwo yang saya isi penuh dengan buku-buku yang saya beli, plus buku titipan mas Cornelis. Koper ini kecil, tapi karena berisi buku maka beratnya jadi lumayan. KLM mengharuskan saya membayar biaya excess baggage sebesar EUR52 karena membawa dua koper (sejak Maret KLM memberlakukan aturan one-passanger-one-luggage).
Dari Oslo kami menuju Amsterdam. Di sana, kami transit dan ganti pesawat dari semula Boeing 737-800 menjadi Boeing 777-300 yang lebih besar, untuk menempuh penerbangan selama 12 jam. Esoknya kami mampir sejenak di KL, sebelum lanjut dengan pesawat yang sama ke Jakarta, untuk sambung dengan pesawat Garuda ke Ngayugyokarto Hadiningrat malam harinya.
Semua berjalan lancar. Tak ada halangan berarti selain badan pegal dan kaki yang terasa bengkak karena duduk 12 jam terus-menerus. Kami mendarat di Jakarta jam 17.20. Setelah dengan lekas melewati gerbang imigrasi, kami bertiga langsung menuju tempat pengambilan bagasi dan menunggu satu per satu bagasi kami berdatangan… Setengah jam lebih koper-koper itu berputaran di atas ban berjalan, ketika saya menyadari bahwa koper hitam milik saya tak jua muncul. Hingga ban berjalan itu berhenti, pertanda tak ada lagi koper dari pesawat yang kami tumpangi, yang ditunggu-tunggu tak datang juga. Hanya ada dua kemungkinan: koper diambil orang tanpa sengaja, atau tertinggal di Eropa somewhere. Kedua kemungkinan ini sama-sama tak menyenangkan.
Rada panik, kami bertiga segera bergegas ke kantor KLM untuk melaporkan kehilangan. Di sana petugas yang cukup ramah itu membantu saya mengisi sebuah form dan meminta tag koper saya untuk dilacak keberadaannya. “Dalam beberapa hari kami akan menghubungi bapak,” begitu janji si petugas. “Berapa lama kira-kira?” saya tanya. “Kami usahakan selekasnya pak,” jawab si petugas. “Namun mohon beri waktu hingga dua minggu untuk kepastiannya.” Hmmm.. dua minggu… Saya segera mencemaskan baju kotor saya yang jelas-jelas sudah merindukan sabun dan mesin cuci. Semoga kalian tak berjamur di dalam sana.
***
Dua minggu. Itulah yang saya jadikan pegangan. Ucapan petugas KLM di Jakarta itu saya jadikan ancer-ancer waktu untuk menunggu koper saya balik. Saya paham, biasanya juga perlu waktu tidak sebentar untuk menemukan koper yang nyasar dalam sebuah penerbangan jarak jauh yang melewati beberapa transit.
Tapi alhamdulillah ternyata saya tak perlu menunggu selama itu. Seperti saya ceritakan di atas, panggilan telpon di malam kedua sejak saya kembali ke Yogya itu mengakhiri penantian saya, jauh lebih lekas dari yang saya bayangkan. Cuma semalam. Koper saya ternyata cuma ingin menginap di Amsterdam semalam saja. Mungkin ia ingin mewakili saya, yang tak jadi mampir ke sana…