Tahukah anda, para pambaca yang berbahagia, berapa harga pasir per truk di Yogyakarta dan sekitarnya saat ini? Jika anda tidak tahu, mungkin anda bisa menduga-duga bahwa limpahan pasir pasca erupsi Merapi pastilah akan membuat harga pasir per truk turun dari harga sebelum erupsi. Sederhana saja, suplai pasir yang meningkat pastilah akan menyebabkan harga turun. Hukum pasar ini sangat kita pahami.
Tapi sayang, kenyataannya ternyata tidak demikian. Pasca erupsi Merapi, saat secara kasatmata kita lihat pasir melimpah di mana-mana, harga pasir per truk justru meningkat hingga lebih dari 30% dari harga normal. Apa pasal?
Ternyata ada rentetan persoalan yang menyebabkan harga pasir justru naik saat suplainya melimpah. Di tengah rentetan persoalan itu, kita melihat ada negara yang sangat berlepotan dalam memainkan peran regulatifnya. Negara tak menunjukkan daya yang cukup signifikan untuk mengelola sumberdaya bagi kepentingan semua.
Alih-alih, negara dan aparaturnya justru turut bermain dalam apa yang bisa kita sebut — meminjam istilah Vedi Hadiz (2003, 2004) — sebagai “predatory interest” alias kepentingan pemangsaan. Peluang perbaikan keadaan untuk kepentingan umum terhambat serius ketika negara dan aparaturnya justru berebut keuntungan dari penanganan atas kadaaan itu.
Andai keuntungan yang bisa ‘dicuri’ dari kesempatan ini bersifat jangka panjang dan memiliki efek berlanjut bagi kesejahteraan masyakarat, tentu kita masih bisa maklumi. Masalahnya, keuntungan itu sangat bersifat jangka pendek dan parsial.
***
Timbunan pasir yang menyebabkan pendangkalan sungai-sungai utama di Yogya (termasuk Kali Boyong yang bersambung ke Kali Code) sejak awal menjanjikan persoalan sekaligus peluang. Persoalan yang dibawanya sangat jelas: pendangkalan sungai. Peluang yang dijanjikannya juga sangat tegas: ratusan ribu meter kubik pasir pastilah akan sanggup mendatangkan peluang pekerjaan sekaligus menyediakan suplai bahan bangunan bagi perbaikan Yogyakarta.
Pendangkalan sungai itu adalah persoalan yang harus segera diatasi. Kewajiban atas hal ini ada di pundak negara. Kita tahu, tugas-tugas utama negara termasuk untuk menyediakan kebutuhan dan untuk mengatur masyarakat. Kebutuhan yang mengemuka saat ini di Yogya adalah pengerukan sungai-sungai yang mendangkal karena timbunan pasir.
Namun kita paham, negara tentu tak memiliki sumberdaya dan peralatan yang memadai untuk mengatasi persoalan pendangkalan sungai itu sendirian. Banyak peralatan yang dibutuhkan, dan banyak biaya yang harus dikeluarkan untk mengeruk pasir yang menumpuk itu.
Untuk itu, sebenarnya negara tak harus mengerjakannya sendiri. Pasir itu bukan hanya timbunan material di dasar sungai, melainkan juga komoditas penting yang pasarnya selalu ada. Dengan sedikit pengelolaan yang baik, negara bisa memindahkan kewajiban pembersihan sungai itu ke tangan masyarakat ekonomi yang memiliki kepentingan atas perdagangan pasir. Negara bisa memudahkan dan memfasilitasi penambangan pasir oleh masyarakat. Dengan ini, pembersihan sungai bisa berjalan lekas, tanpa negara terlalu dibebani oleh peralatan dan biaya yang besar. Yang diperlukan adalah pengaturan yang baik agar proses pengerukan pasir itu tak mengganggu aktifitas rutin masyarakat.
Namun sayangnya, negara tak mengambil langkah seperti ini. Yang berlangsung justru komersialisasi area sungai secara besar-besaran, oleh aparatur negara di banyak level dan sektor. Kelurahan, Dukuh, hingga Polsek (belum termasuk para preman) justru saling berlomba mengutip pungutan dari setiap truk penambang pasir yang ada di areanya. Tak ayal, truk penambang pasir ini mesti melewati rantai ngemel yang lebih panjang dibandingkan biasanya. Ujung-ujungnya harga pasir pun melambung, di saat suplainya justru naik.
Sejumlah predator diuntungkan dalam penyimpangan ini, namun masyarakat luas cukup dirugikan. Negara jelas-jelas harus segera mengambil langkah pengaturan yang sungguh-sungguh untuk mencegah ini berlanjut. Sanggupkah?
(Kedaulatan Rakyat, 30/12/2010)
Gambar diambil dari http://www.freewebs.com/project_xii/aliens_vs_predator_2_x.jpg