Jogja memang istimewa. Tempo hari bendera PKS dan PPP bergiliran memeriahkan sudut-sudut kota ini. Kini selama dua hari (27-28 Maret 2011) PB NU melangsungkan rakernasnya di Pondok Pesantren Krapyak. Rakernas ini adalah forum pleno untuk membahas sejumlah isu, termasuk sosial dan politik. Kita patut berharap ada oleh-oleh dari Jogja yang bisa dibawa pulang ke Jakarta bagi penegasan posisi sosial dan politik NU di Indonesia.
Dalam sejarah NU, Jogja pernah memberikan sumbangan penting terhadap penegasan arah politik jam’iyah ini. Tahun 1989, PP Krapyak menjadi tuan rumah Muktamar NU. Ini adalah muktamar pertama pasca Muktamar Situbondo tahun 1984 yang melahirkan keputusan ‘Kembali ke Khitta 1926’ itu. Muktamar Jogja sangat penting, karena di sinilah diambil langkah-langkah pamungkas bagi implementasi keputusan 1984.
Muktamar Jogja 1989 saat itu berhasil meminimalisir friksi elit dalam NU, terkait dengan keputusan Muktamar Situbondo. Inkubasi gagasan, yang sudah dimulai sejak akhir 1970an, untuk menarik NU dari politik praktis memang telah memperoleh ruang formal sejak 1984. Namun implementasinya sama sekali tidaklah mudah. Gus Dur bersama kelompok penggagas dan pendukung keputusan ke Khittah 1926 sebenarnya tak cukup jenak bekerja sejak 1984. Mereka menghadapi tentangan, terutama dari kalangan politisi yang kelabakan sejak NU keluar dari PPP, namun juga dari beberapa kyai senior yang tak puas dengan gaya Gus Dur.
NU memerlukan penegasan orientasi baru ini, agar tetap relevan bagi jamaahnya. Penentangan yang terus-menerus dari sejumlah kalangan menyebabkan arah reorientasi pasca 1984 itu tak cukup jelas selama lima tahun pertama. Di Jogjakarta, ketidak-jelasan itu diselesaikan dengan langkah politik eksklusi sekaligus inklusi yang cukup unik. Gus Dur waktu itu didukung penuh oleh KH Ahmad Siddiq untuk mengawal proses penuntasan ide khittah. Beberapa pengurus yang tak sejalan tergusur. Namun pihak ‘seberang’ seperti KH Ali Yafie bahkan KH R. As’ad Samsul Arifin tetap dimasukkan dalam kepengurusan, meski Kyai As’ad kemudian menyatakan mufaraqah dari PB NU.
Jelas sekali saat itu Jogjakarta menjadi arena penegasan keputusan di Situbondo. Darinya, kita bisa membayangkan oleh-oleh macam apa yang harus dibawa PB NU dari acara di Krapyak selama dua hari ini. Menurut saya, Jogja pun mestinya bisa menjadi arena bagi penegasan arah politik NU. Sejak reformasi 1998, NU tak pernah betul-betul menegaskan posisi politiknya. Secara formal tentu saja NU mengatakan bahwa jam’iyah ini bukanlah lembaga politik. Namun kenyataannya, NU tak bisa lepas dari tarik-menarik politik yang luar biasa. Ada ketidak-tegasan dalam hal ini.
Ketidak-tegasan tersebut menyebabkan langkah politik NU menjadi tak banyak berarti secara nasional. Prestasi politik NU amat terpuruk. Jam’iyah ini hanya menjadi jarahan, baik secara langsung maupun tak langsung. Relasi dengan PKB sangat problematik, meski partai ini secara faktual adalah bagian dari NU. Absennya ketegasan politik yang memadai menyebabkan sayap politik NU tak akan bisa dikelola secara modern dan profesional, akibat keenakan mengeksploitasi dukungan dan potensi kyai berserta pesantrennya.
Sementara itu, relasi dengan parpol lain tak kalah bermasalahnya. Para perserta Muktamar di Makassar tahun lalu bisa bercerita banyak tentang polah parpol-parpol besar yang mengguyuri arena Muktamar dengan uang (lewat kandidat yang dijagokan) untuk berebut dukungan.
Semua ini terjadi karena NU tak cukup berani menegaskan posisi politiknya. Banyak hal tentang politik dibuat samar dan temaram. Penting bagi NU untuk bersifat tegas: hendak berpolitik atau tidak. Jika tidak, maka relasi dengan parpol manapun perlu diperjelas, tak hanya di tingkat wacana namun lebih penting lagi di tingkat praktik. Tapi jika memang hendak berpolitik, tunjukkan sikap itu dengan tegas. Gambarkan secara benderang, dengan formula macam apa syahwat politik NU akan dikelola: dengan sayap parpol kah, atau justru dengan sepenuhnya merubah NU menjadi parpol kembali.
Hanya dengan penegasan semacam itu NU bisa diperhitungkan seperti dulu kembali dalam pentas politik nasional. Semoga penegasan itulah yang dibawa NU sebagai oleh-oleh dari Jogja. Allahumma amin.
[Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 2011]