SMS itu mengejutkan saya. Dikirim dari nomor HP Singapura entah milik siapa, SMS itu mengancam akan membongkar keterlibatan SBY dalam skandal Bank Century. Isinya mudah diduga cuma fitnah yang ngawur dan asal-asalan. Tapi yang lebih mengejutkan adalah reaksi SBY. Sore hari, Senin 30 Mei, saya tertegun di depan layar TV. Sebuah stasiun TV menyiarkan Sang Presiden yang sedang berdiri di mimbar kenegaraan, berbicara penuh emosi. Tak ragu ia menuding: “penyebar SMS itu adalah orang yang tidak bertanggung-jawab.” Pak SBY sedang Tiwikrama.
Mengapa reaksi Presiden SBY mengejutkan saya (dan hampir setiap orang, mungkin)? Jawabnya adalah karena reaksi itu amat tidak patut. Paling tidak ada tiga ketidak-patutan dalam reaksi SBY ini: ketidak-patutan kapasitas, ketidak-patutan prosedural, dan ketidak-patutan kekuasaan.
Pertama, ketidak-patutan kapasitas. Reaksi SBY mencampur-adukkan kapasitas personal, kapasitas politisi, dan kapasitas kenegaraan.
Tentu saja dalam posisi SBY saat ini, tak mudah membedakan kapan saat beliau menjadi individu, kapan saat menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, dan kapan saat beliau adalah Presiden RI. Ketiganya sudah sangat berimpit dan saling tumpang-tindih.
Namun demikian, perhatian publik yang bisa diminta oleh SBY tentu berbeda, terkait dengan lingkup persoalan yang berjalan. Jika persoalan yang terjadi padanya terkait dengan kapasitas sebagai Presiden RI, maka perhatian publik yang bisa dimintanya adalah dari seluruh rakyat Indonesia. Jika persoalan yang terjadi padanya terkait dengan kapasitas sebagai Ketua DP PD, maka perhatian publik yang bisa dimintanya adalah dari para anggota PD saja. Namun bila persoalan yang terjadi adalah terkait dengan SBY pribadi, maka perhatian yang bisa dimintanya adalah dalam lingkup keluarga dan orang dekatnya saja.
Menurut saya, substansi yang dilontarkan oleh SMS gelap itu maksimal adalah terpaan badai terhadap SBY sebagai petinggi PD saja — kendati persoalan korupsi yang melatar-belakanginya adalah derita seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, seyogyanya SBY cukup curhat pada pendukungnya di PD. Tak perlu beliau gunakan podium kepresidenan dan curhat kepada seluruh rakyat Indonesia.
Kedua, ketidak-patutan prosedural. Kalaupun bagi Presiden SBY isi SMS itu menikam dirinya sebagai Presiden RI dan mengganggu kewibawaan Kepala Negara, tetap saja reaksi beliau dengan berbicara penuh emosi bukanlah sesuatu yang amat patut secara prosedural. Sebagai Kepala Negara, SBY adalah sebuah institusi. Baginya telah disediakan perangkat kelembagaan, termasuk Juru Bicara Kepresidenan. Jubir beliau-lah yang harusnya angkat bicara melakukan klarifikasi. Untuk itulah sang Jubir digaji oleh negara.
Bagi saya Jubir Kepresidenan saat ini tak nampak memiliki kinerja yang bagus. Hal ini berbeda dari masa ketika Jubir Kepresidenan adalah Dr. Andi Mallarangeng atau Wimar Witoelar. Keduanya adalah figur Jubir yang menurut saya bisa menjadi role-model. Tentu saja ada kritikan bahwa AM sering kemajon dan tampak lebih ngetop dari Sang Presiden. Tapi bukankah memang itulah tugasnya? Bukankah fungsi sang Jubir adalah untuk pasang badan melindungi juragannya? Aneh bila Sang Presiden malah ‘iri’ dan merasa kalah populer. Andai Jubir sekarang adalah WW atau AM, saya yakin SBY tak harus bereaksi keliru seperti saat ini.
Ketiga, yang paling parah, ketidak-patutan kekuasaan. Cobalah ingat-ingat, kapan terakhir kali kita punya pemimpin yang hadir sebagai figur ‘Bapak’ yang mengayomi rakyatnya? Kendati sering kita tuduh sebagai diktator, namun Bung Karno dan Pak Harto adalah pemimpin yang punya kapasitas mengayomi (tentu saja bagi yang patuh pada mereka). Keduanya bukan tipe pemimpin yang menjadikan rakyatnya sebagai tempat mengeluh. Ini sangat berkebalikan dengan SBY.
Bagi saya, ketidak-patutan paling konsisten dalam reaksi SBY tentang SMS ini adalah jungkir balik logika kekuasaan: kita punya presiden yang minta diayomi rakyatnya, dan bukan mengayomi. Alih-alih menjadi figur bagi rakyat untuk mencari solusi (seberapapun semu solusi itu), SBY justru menjadi pemimpin yang nampak selalu membutuhkan emongan dari rakyatnya.
Karena itu pelajaran terpenting bagi bangsa Indonesia dari kasus ini amat jelas: lain kali pilihlah pemimpin yang baik. Kita sudah lelah harus terus-menerus mengayomi presiden.
———————–
(Ditulis di atas goyangan travel Cipaganti Bandung-Jakarta, untuk harian Kedaulatan Rakyat, 1 Juni 2011)
Sumber gambar: http://nextindonesia.com/foto/sby%20marah.jpg