SBY jelas-jelas sedang melakukan KKN. Tapi bukan, KKN yang saya maksud ini bukan Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Meski saya tak hendak mengatakan bahwa SBY steril dari KKN pengertian itu, yang saya maksud dengan KKN kali ini adalah Kuliah Kerja Nyata, seperti yang diselenggarakan oleh banyak Perguruan Tinggi di Indonesia bagi mahasiswa semester akhir. Seluruh sepak terjang politik SBY dan kabinetnya betul-betul adalah sebuah Kuliah Kerja Nyata yang sangat penuh pembelajaran dan pengkayaan pengalaman.
Siapapun politisi dan calon presiden Indonesai di masa depan patut berterima kasih pada SBY. Presiden yang sering kita tuduh lamban dan peragu-ragu ini sedang memberikan kursus politik gratisan pada semua calon pemimpin masa depan. SBY sedang mengajak semua orang ber-KKN dengan tema politik.
Di KKN bertema politik ini, SBY memberikan pelajaran pada kita semua, bahwa dalam koalisi ada dua hal yang amat perlu diperhatikan. Pertama, kesepakatan politik, dan kedua, kendali kinerja para menteri. Keduanya berada dalam urut-urutan yang harus ditaati. Yang kedua tak bisa hadir tanpa yang pertama. Jika tidak, demikian pelajaran yang hendak disampaikan oleh SBY, sepanjang masa pemerintahannya, seorang presiden akan terus sibuk dengan utak-atik kabinet tiada usai.
Kesepakatan politik
Dalam sebuah koalisi pelangi seperti yang dibangun SBY, kesepakatan politik amatlah penting. SBY mengajarkan pada kita bahwa tidak tuntasnya kesepakatan politik antar elemen koalisi bisa membuat pemerintahan tidak efektif.
Partai-partai politik dengan ideologi seragam pun bisa memiliki kepentingan yang beragam, apalagi partai-politik dengan ideologi beragam. Ideologi berkaitan dengan basis massa, dan itu artinya kepentingan objektif dan subjektif setiap parpol dengan ideologi berbeda pasti lah berbeda. Kepentingan yang berbeda ini mutlak memerlukan basis kesepakatan politik yang kuat, jika parpol-parpol ini hendak ‘disatukan’ dalam sebuah koalisi.
Kesepakatan politik ini harus mencakup setidaknya dua aspek. Pertama, cita-cita kenegaraan yang hendak dicapai. Ini penting untuk disepakati, karena cita-cita kenegaraan amat menentukan arah langkah sebuah partai politik. Pihak-pihak dengan cita-cita kenegaraan terlalu berbeda akan sulit membuat langkah praktis yang senada. Contoh sederhana, apakah pengelolaan kekuasaan negara akan dilakukan terpusat, ataukah didesentralisasikan? Pertanyaan pokok ini harus diselesaikan terlebih dahulu, agar partai-partai yang berkoalisi tak hanya ribut tentang hal mendasar semacam itu. Nampaknya, SBY dan parpol koalisi tak memiliki masalah mendasar di ranah ini.
Kedua, aspek yang juga harus disepakati adalah pembagian kekuasaan dan implikasinya. Inilah yang oleh SBY dan parpol koalisi sering disebut-sebut sebagai ‘kontrak politik’. Di sini, pihak-pihak yang berkoalisi harus mensepakati betul konsesi politik apa saja yang akan saling diberikan. Di sisi ini, SBY mencontohkan pada kita bahwa ada dimensi etis yang harus tetap diperhatikan. Jika tidak, kesepakatan itu hanya akan menjadi agenda penjarahan bersama.
Publik sejauh ini tak tahu persis, kontrak politik macam apa yang dibuat di antara parpol koalisi. Yang kita tahu, kementrian yang dibagi-bagikan pada parpol koalisi itu banyak yang dilanda kasus korupsi. Yang kita dengar di selentingan kabar adalah bahwa parpol-parpol itu memang memperoleh bagian kementrian masing-masing untuk sepenuhnya digunakan sebagai mesin ATM. SBY dalam hal ini mengajarkan: jika kesepakatan politik yang dibangun hanya sebatas urusan bagi-bagi kuasa dan akses dana, maka korupsi besar-besaran lah yang akan terjadi. Koalisi ini adalah aliansi koruptor. Pemberantasan korupsi yang menjadi salah satu agenda terpenting reformasi, selamanya hanya akan jadi dilemma.
Kendali Kinerja Menteri
Presiden yang pimpinan eksekutif tertinggi seyogyanya bisa punya kendali atas kinerja para menteri. Tapi SBY mengajarkan pada kita, bahwa menteri-menteri yang (terpaksa) ditunjuknya tak selalu bisa ia kendalikan. Kebanyakan mereka masih memposisikan diri sebagai ‘orang partai’ ketimbang ‘pembantu presiden’. Akibatnya, SBY tak punya ruang memadai untuk memastikan bahwa para menteri itu menunjukkan kinerja yang bagus.
SBY nampak selalu jengah dan tak terlalu berdaya jika ada menterinya yang memiliki kinerja amburadul. Itu sebabnya, setiap ulang tahun kabinet yang ia pimpin selalu dirayakan dengan isu reshuffle. SBY selalu menjadikan reshuffle sebagai bagian dari mekanisme sanksi bagi para menteri yang tak bekerja optimal, atau yang tak menunjukkan kesetiaan paripurna pada Sang Presiden. Tahun ini, ancaman itu betul-betul dilaksanakannya. SBY bahkan menambahkan orang baru dalam jajaran kabinetnya, pada posisi Wakil Menteri. Tak ayal, SBY pun mirip dengan sejumlah diktator pada masa senjakala kekuasaannya: terus menambah orang hingga kabinetnya makin besar dan tambun.
Semua ini jelas amat melelahkan, begitu yang diajarkan SBY pada kita. Presiden harusnya tak perlu menjadikan reshuffle sebagai bagian dari mekanisme ‘stick and carrot’ pada para menteri. Dia semestinya bisa punya peluang untuk memastikan kinerja dan kesetiaan para menteri. Tapi itulah luar biasa-nya jasa SBY. Dia bersedia mengorbankan efektifitas pemerintahannya demi tersampaikannya pengetahuan seperti itu, dalam KKN Politik yang ia selenggarakan.
Bukankah kita semua patut berterima kasih pada SBY?