Aktifis-advokat muda itu akhirnya terpilih sebagai Ketua KPK. Usianya baru 44 tahun. Setelah melalui drama di Setgab, final juga Abraham Samad melaju ke posisi paling menentukan di KPK. Media massa banyak memujinya sebagai seseorang yang punya integritas dan keberanian. Pada sejumlah media massa, Abraham Samad berjanji untuk membawa semangat Baharuddin Lopa dalam memimpin KPK. Ia juga menjamin dirinya akan bersih dari intervensi politik DPR.
Tapi tak sedikit pula media massa yang meragukan kemampuan Abraham untuk mengelak dari intervensi DPR. Kemenangannya hari Jumat (2/12) lalu dinilai sejumlah orang sebagai bukti kompromi awal dengan kelompok tertentu di DPR.
Bagaimana kita sebaiknya menilai Abrahan Samad, kepemimpinannya di KPK, dan posisinya di hadapan DPR?
Saya termasuk yang tak yakin bahwa tokoh muda ini mempunya nyali dan kapasitas untuk independen terhadap politisi di Senayan. Tapi saya tak hendak membahas ikhwal intervensi atau tidak, sebab bukan itu yang paling penting dalam urusan pemberantasan praktik korupsi di negeri ini.
Pemberantasan korupsi di negeri ini bukan terutama terkait dengan nyali untuk mengusut korupsi dan menangkap koruptor. Hal itu penting, namun yang lebih penting adalah merombak struktur relasi kuasa yang mendorong setiap orang untuk berperilaku korup.
Korupsi sering disama-maknakan dengan pencurian. Koruptor sering digambarkan sebagai tikus. Padahal kedua asumsi ini salah besar. Masalah utama dalam pemberantasan korupsi di negeri ini adalah: aktor yang jadi patokan, bukan struktur. Padalah korupsi adalah soal kuasa, bukan soal pencurian. Koruptor bukan tikus yang mencuri padi di lumbung dengan mengendap-endap. Mereka adalah macan yang punya kuasa besar, serta merampas hak hidup orang dengan terang-terangan dan bangga. Tikus akan mencicit ketakutan saat kedapatan mencuri. Tapi macan akan mengaum keras saat ketahuan menerkam binatang buruannya.
Dengan pemahaman seperti ini, saya termasuk yang tak lagi terlalu berharap pada integritas personal saja dalam pemberantasan korupsi. Masalahnya, setiap kita menabur harapan seperti itu, setiap kali pula kita kecewa.
Korupsi di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh praktik bancaan terhadap asset negara, terkait dengan proses rekrutmen politik kita yang berbiaya amat mahal. Sungguh ironis, bahwa proses politik untuk mengisi jabatan publik, justru menjadi bagian dari rantai panjang penggerogotan uang negara yang dikendalikan oleh jabatan publik itu. Proses rekrutmen kita yang amat mahal itu sebagian besar harus dibiayai oleh praktik korupsi besar-besaran. Gambaran mudahnya: seseorang korup dalam posisinya sekarang, antara lain karena untuk sampai ke posisi itu ia membutuhkan biaya besar; seseorang korup dalam posisinya sekarang, sebab ia harus menyuapi parpol yang membutuhkan biaya besar untuk berkiprah.
Relasi kuasa yang korup ini adalah berhala paling menyesatkan dalam jagat politik Indonesia. Hampir semua orang yang memiliki dan gandrung akan kuasa, melakukannya.
KPK memang akan berfungsi menangkap koruptor. Itu penting, namun bukan solusi utama. Solusi utama adalah perombakan terhadap struktur relasi kuasa yang korup itu. Pemberantasan korupsi tak cuma membutuhkan tindakan tegas pada koruptor, namun yang lebih penting lagi adalah dikikisnya berhala relasi kuasa yang korup itu.
***
4000 tahun yang lalu di Babylon, seorang Abraham tahu bahwa ia tak bisa cuma menyeru orang untuk tak menyembah berhala. Ia melakukan sesuatu yang lebih radikal: dihancurkannya berhala sumber kesesatan itu.
Indonesia kini butuh Abraham yang seperti itu, yang mampu menghancurkan berhala bernama struktur relasi kuasa yang korup – bukan sekadar menangkap koruptor. Tentu tak perlu kita bebankan harapan ini pada Abraham Samad, dan karenanya tak perlu kita nilai dia secara berlebihan. Ia “cuma” Ketua KPK. Tugas kita semua lah untuk menghabisi berhala relasi kuasa yang korup ini.
Sanggupkah kita?
(Kedaulatan Rakyat, 5 Desember 2011)
Sumber gambar:
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/a/a4/Abraham_idol_smasher.jpg