Lengsernya seorang Presiden, tentu bukan fenomena biasa. Tanpa bermaksud membeda-bedakan manusia karena jabatannya, namun pemecatan seorang Kapolsek karena kasus pungli, misalnya, pastilah punya skala sebab dan akibat yang jauh lebih kecil daripada terjungkalnya Presiden RI. Lengsernya Bung Karno karena kudeta inkremental, Pak Harto karena rapuhnya pondasi kekuasaan di penghujung 1990an, dan Gus Dur karena konflik dengan Poros Tengah dan sekelompok perwira tinggi TNI, adalah tragedi politik yang bukan main-main.
Tragedi itu bisa berjalan pada ranah personal, yakni musnahnya kekuasaan politik presiden yang dijatuhkan. Namun tragedi itu bisa saja berskala politik nasional, dengan implikasi besar pada tatanan politik negeri ini. Kita sudah lihat dalam sejarah bahwa jatuhnya Bung Karno dan Pak Harto diawali krisis ekonomi dan politik, dan disusul oleh perubahan tatanan politik dan ekonomi besar-besaran. Berbeda dengan kedua Presiden terdahulu yang kejatuhannya membawa implikasi perubahan sistem, pelengseran Gus Dur justru memberi pada kita sebuah nubuat tentang gejala berlanjutnya penyimpangan sistem. Tulisan ini hendak mengajukan argumen bahwa pelengseran Gus Dur di tahun 2001 tak pernah menjadi tragedi bagi Gus Dur sendiri. Ia justru mengisyaratkan tragedi bagi negara kita.
Kita paham bahwa naiknya Gus Dur ke kursi kepresidenan adalah hasil dari relasi segi-empat yang unik antara kekuatan politik baru PDI-P, PAN, PKB serta perwira tinggi militer yang masih amat kuat di panggung kekuasaan. PDI-P yang memenangkan pemilu 1999 menemukan dirinya dalam kepungan politik yang tak terlalu menguntungkan di MPR. Poros tengah yang dimotori Ketua MPR Amien Rais waktu itu berhasil menipiskan peluang Megawati untuk menjadi Presiden RI, namun dengan dibebani keraguan tentang siapa yang akan didorong ke posisi riskan sebagai presiden. GD pada intinya adalah pilihan paling aman bagi semua orang, setidaknya dalam perspektif politik saat itu.
Tak pernah ada rasa saling-percaya yang memadai secara politik antara GD dan motor utama poros tengah yang mendukungnya. Yang ada saat itu ialah spekulasi bahwa GD bisa dipaksa untuk menuruti apapun kepentingan mereka yang mendorongnya ke kursi kepresidenan. Hal ini segera terbukti salah.
GD tak pernah mau susah-payah menuruti tuntutan dan kemauan poros tengah. Ia terlalu otonom. Akibatnya, tanpa menunggu lama, poros tengah segera berubah dari pendukung menjadi opposan politik GD di lembaga perwakilan. Dalam diskusi di Wahid Institut tanggal 4 Januari 2013, Mahfudz MD mengingatkan publik pada sejumlah fakta bahwa pelengseran GD tahun 2001 adalah sepenuhnya akibat dari konflik politik akibat otonomi GD terhadap kekuatan-kekuatan di lembaga perwakilan, plus ketegangan dengan sejumlah perwira TNI dan Polri. Mahfudz menegaskan:
“Baik secara hukum pidana maupun tata negara, Gus Dur tidak jatuh kasus Bulog dan Brunei. Penjatuhan Gus Dur itu adalah persoalan pertarungan politik dimana yang satu kalah yang satu menang. Bukan soal hukum yang satu benar, yang satu kalah. Dan Gus Dur kalah dalam pertarungan politik itu, karena dikeroyok rame-rame.”
(Dikutip dari www.nu.or.id)
Yang menarik dalam persitiwa itu adalah cara GD yang menolak untuk menjadikan pelengseran itu sebagai tragedi personal. Ia tak merengek atau curhat di depan publik terkait dengan serangan politik terhadapnya. Sikap GD masih nampak sama, dengan logika komunikasi publik yang “gitu saja kok repot”. Bukannya susah-payah mengumpulkan energi politik untuk melawan kekuatan para pengeroyok, GD justru menegaskan pada orang di sekitarnya bahwa “tak ada kekuasaan yang begitu berharga hingga harus dipertahankan dengan darah.” Kita patut mencatat bahwa berbeda dengan kejatuhan Bung Karno dan Pak Harto yang diawali dan/atau disusul dengan konflik sosial yang berdarah-darah, pelengseran GD di tahun 2001 justru berjalan aman.
Inilah refleksi paling konkret dari visi kemanusiaan yang secara ajeg ditunjukkan oleh GD. Bagi GD, kemanusiaan bersumber dari pandangan ketauhidan bahwa manusia adalah mahluk Tuhan paling mulia yang dipercaya untuk mengelola dan memakmurkan bumi. Kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat ketuhanan. Kemuliaan yang ada dalam diri manusia mengharuskan sikap untuk saling menghargai dan menghormati. Memuliakan manusia berarti memuliakan Penciptanya, demikian juga merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan Tuhan Sang Pencipta. Dengan pandangan inilah, GD membela kemanusiaan tanpa syarat, dan sama sekali tak berkehendak mengorbankan kemanusiaan itu demi kepentingan kekuasaan.
Kesibukan GD di penghujung masa kepresidenan justru adalah meredam gejolak di tingkat massa, termasuk massa NU. Ketika sejumlah kalangan menyerukan pembelaan mati-matian bagi GD yang tengah dikepung di MPR, GD dan sejumlah tokoh NU secara sungguh-sungguh berupaya meyakinkan mereka bahwa kekerasan tak akan menyelesaikan masalah. Greg Barton (2002:355) mencatat bahwa:
On 4 April Abdurrahman publicly condemned NU supporters who used the language of jihad, or holy war, against those who were seeking to impeach him. ‘The President disagrees completely with the extreme ways that some people are calling for in his defence,’ said his spokesman Adhi Massardi.
Ketika akhirnya harus keluar dari Istana Negara, GD meredusir masalah menjadi hanya persoalan legalitas administratif. Dalam sebuah acara, GD pernah bercerita tentang perbincangannya dengan Luhut Pandjaitan. Saat itu GD bercerita pada Luhut tentang hukum Islam yang mengatur bahwa kalau orang diusir dari rumahnya dia harus melawan, kalau perlu dengan menggunakan kekerasan. Namun karena GD tak ingin mengambil mengambil jalan kekerasan, dia lalu meminta bantuan Luhut untuk menguruskan surat perintah pengosongan Istana dari kantor Kelurahan Gambir. Karena pengosongan Istana adalah kehendak pemerintah setempat yang sah, maka GD tak perlu melawan sama sekali. Kewajiban mempertahankan “rumah” pun gugur. Urusan selesai, dan GD keluar dari Istana tanpa gejolak. GD tak menjadikan pelengseran dirinya sebagai beban personal.
Tapi jika pelengseran itu bukan tragedi bagi GD pribadi, ia tetaplah tragis bagi praktek kehidupan bernegara. Mari kita lihat konteks besar penataan politik Indonesia.
Saya pernah menulis bahwa struktur politik Indonesia sangat mirip platypus, satwa unik dari pasisir timur Australia. Tentu Tuhan punya maksud dalam setiap penciptaan. Namun jika dilihat sekilas, platypus seperti karya asemblingan yang campur-campur. Ia punya cocor seperti bebek. Kakinya mirip kaki berang-berang. Ekornya seperti ekor tupai tapi lebar. Ia mamalia, tapi bertelur.
Serupa platypus inilah struktur politik di negeri kita. Saya selalu merasa bahwa pendiri negara kita, dan pengelola negara kita, adalah pelaku rekayasa genetika politik yang handal. Mereka memadukan banyak aspek dari kaidah-kaidah konvensional politik, lalu membangun bentuk yang amat khas Indonesia yang sering membuat ilmuwan politik pening dalam meletakkan Indonesia dalam klasifikasi standar. Salah satu kerancuan sistemik itu terletak dalam pilihan sistem pemerintahan.
Secara resmi, Indonesia adalah negara dengan sistem presidensiil. Namun praktek parlementarianisme kental sekali di sini. Dalam versi asli UUD 1945, presiden dipilih oleh MPR, untuk membentuk kabinet yang bertanggung-jawab kepada presiden, dan tak terkait dengan komposisi politik di parlemen. Prakteknya presiden tak dikendalikan oleh legislatif, meski secara formal bertangung-jawab pada MPR. Artinya, meski mandat presiden berasal dari MPR, pada realitasnya si pemegang mandat tak bertanggung-jawab pada pemberi mandat. Mandat dari MPR tidaklah tulen.
Sejak 2004, presiden (lalu para gubernur dan bupati/walikota) dipilih langsung. Presiden sebagai pimpinan eksekutif kini memiliki mandat yang langsung berasal dari rakyat. Dengan mandat yang terpisah dari legislatif, seharusnya presiden bisa mengelola kekuasaan secara terpisah dari DPR. Di atas kertas, dengan mandat langsung ini presiden bisa membangun kabinetnya secara independen tanpa memperhitungkan komposisi politik di DPR. Tapi prakteknya, presiden masih sangat bergantung pada DPR yang mengembangkan kekuasaan kontrol yang jauh melampaui mekanisme yang diperkenankan dalam sistem presidensiil. Bahkan sebuah partai politik dan sebagian politisi di DPR berani melakukan hal yang amat ‘aneh’ bagi sistem presidensiil, yakni meletakkan diri sebagai partai oposisi.
Salah satu upaya membangun sistem politik yang konsisten dilakukan dengan langkah gradual sejak 1999 untuk menegaskan presidensialisme, termasuk membangun relasi yang imbang antara eksekutif dan legislatif sebagai keniscayaan mekanisme checks and balances dalam sistem presidensiil.
Penataan itu berjalan tahap demi tahap. Semangat jaman mendorong tahap pertama (1999-2004) untuk fokus pada penguatan lembaga legislatif. Namun sejumlah penyimpangan dalam peran legislatif lalu mendorong tahap kedua (sejak 2004) untuk fokus pada penguatan eksekutif, termasuk memberi mandat langsung pada pimpinan eksekutif. Kita masih membutuhkan tahap lanjutan untuk betul-betul menegaskan presidensialisme, sebab hingga kini nuansa parlementarianisme masih saja terasa dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan (seperti dikeluhkan oleh Hanta Yuda[2010] dan Saldi Isra [2010]).
Dalam upaya membangun sistem pemerintahan yang konsisten dan jelas-arah, bangsa ini memerlukan proses politik yang sungguh-sungguh di lembaga perwakilan. Sayangnya, proses politik semacam ini yang justru absen. Lembaga perwakilan kita masih disesaki oleh para petualang politik yang mengejar kepentingan jangka pendek secara berlebihan. Dari lembaga semacam ini, sulit kita dapatkan visi kenegarawanan untuk membangun sistem yang konsisten.
Kita pernah menaruh harap pada sejumlah tokoh besar yang diandaikan memiliki kapasitas negarawan, bukan hanya politisi. Namun carut-marut politik di seputar pelengseran GD tahun 2001 justru menunjukkan pada kita bahwa reformasi politik ini tak terlalu menjanjikan lahirnya negarawan. Pelengseran GD itu adalah tragedi yang memberikan gambaran awal bagi bangsa Indonesia bahwa penataan negeri pasca jatuhnya Soeharto akan sangat diganggu pole perilaku politik yang banal dan tak dilandasi visi besar. Hingga kini, penataan sistem pemerintahan masih saja dikunci oleh tarik-menarik kepentingan jangka pendek antara para politisi. Lembaga perwakilan kini memang tak bisa lagi secara mudah menjatuhkan pimpinan eksekutif, namun mereka dengan leluasa terus menebarkan belenggu berlebihan. Di atas kertas kita menerapkan presidensialisme. Dalam praktik kita banyak mencampurnya dengan logika parlementarianisme. Percampuran yang salah ini turut disumbang oleh ‘prestasi’ MPR saat melengserkan GD. Itulah masalahnya.