Sebenarnya tak ada yang keliru dengan apa yang dikatakan oleh Mendagri Gamawan Fauzi. Dalam Rakornas Pengelolaan Kawasan Perkotaan 2013 di Jakarta, Mendagri yang mantan Gubernur Sumatera Barat ini mengatakan bahwa pemerintah daerah harus meningkatkan kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) di daerahnya. Ormas, kata Mendagri, adalah asset bangsa.
Anjuran ini sangat masuk akal. Gagasan modern tentang hubungan negara dan masyarakat memang mengidealkan optimalisasi peran civil society dalam mengelola negara. Sayangnya, Gamawan melanjutkan anjuran itu dengan kalimat yang mudah mengundang kontroversi: “Kalau perlu kerja sama dengan FPI (Front Pembela Islam) untuk hal-hal tertentu, untuk hal yang baik.”
Mudah diduga, reaksi publik sangat beragam untuk sebuah pernyataan yang esensinya biasa-biasa saja itu. Mengapa? Ada beberapa penjelasan. Pertama, kita melihat ketidak hati-hatian dengan pilihan kata yang dilakukan oleh Mendagri. Kesalahan semacam ini, entah mengapa, banyak dilakukan pejabat pemerintah kita. Kata-kata mereka di depan publik kadang tidak ditimbang. Media massa yang cenderung memilih kutipan kontroversial seyogyanya membuat para pejabat lebih hati-hati memilih kata. Namun kenyataannya tidak demikian. Kadang para pejabat dan politisi kita malah nampak gemar mencari kontroversi di media.
Kedua, menyebut-nyebut FPI saat Mendagri berbicara tentang ormas sebagai asset bangsa adalah hal yang cukup berbahaya. Meski adalah hak setiap orang untuk berkumpul dan mengekspresikan pendapat, namun negara seharusnya bisa menentukan cara ekspresi apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Cara kekerasan yang kerap dilakukan oleh FPI dan kelompok non-negara lainnya sangatlah tak bisa dibenarkan. Kekerasan adalah ekspresi kuasa yang hanya boleh ditunjukkan oleh negara — itupun hanya boleh dilakukan bagi kepentingan bersama, bukan bagi kepentingan kekuasaan.
Kekerasan dan pengrusakan yang kadang dilakukan oleh ormas seperti FPI membuat mereka tak layak dimasukkan dalam kategori “asset”. Mereka, dalam bahasa ekonomi, lebih merupakan “liabilitas” bagi bangsa ini: sesuatu yang ada bersama kita dan meminta “biaya” terus-menerus, sementara nilainya sendiri terus merosot.
Ketiga, memasukkan FPI dalam kategori ormas asset bangsa juga sangat tidak tepat. Menilik sejarahnya, FPI berawal dari permainan kekuasaan berskala nasional. Sekadar mengingatkan, ormas ini berdiri tahun 1998, sebagai bagian dari milisia sipil Pam Swakarsa. Milisia yang terdiri dari kelompok preman, Islam militan, dan beberapa kelompok pengangguran di Jakarta ini digagas oleh sejumlah petinggi pusat untuk turut mendukung Presiden B.J. Habibie. Orang di balik pendirian Pam Swakarsa ini termasuk Jenderal W dan Mayjen KZ. Meski Pam Swakarsa segera dibubarkan, namun FPI ternyata berumur lebih panjang. Ormas ini meneruskan hubungan dekatnya dengan aparat keamanan hingga sekarang. Publik tahu, dalam hubungan itu ada mekanisme rente yang berantai: setoran dari bawah ke atas secara hierarkhis.
Itu artinya, FPI lahir dari tindakan penguasa yang bermain-main api. Dalam DNA-nya, kelompok ini membawa serta watak kekerasan yang seharusnya menjadi monopoli negara. Jika tindak-tanduk dan ucapan sejumlah pejabat negara meletakkan FPI sebagai asset, mereka ada benarnya: FPI adalah asset penguasa.
Itulah yang harus segera kita hentikan. Negara memang harus memberikan ruang peran yang luas bagi ormas. Namun peran itu harus berada dalam kerangka hukum yang berlaku. Seharusnya tak boleh ada lagi ormas yang melakukan tindak kekerasan secara leluasa, apalagi di depan mata aparat. Negara tak boleh membiarkan aktor non-negara melakukan kekerasan dan pengrusakan. Jika dilakukan oleh aktor non-negara, perbuatan semacam ini adalah kriminal; tidak kurang dan tidak lebih. Jika pun negara tak punya daya untuk menghentikan perbuatan semacam itu, setidaknya para pejabat dan politisi harus berhenti menyanjung ormas pelaku kekerasan itu sebagai asset bangsa.