Di kelas, saya kerap katakan pada mahasiswa: “Kalian harus bersyukur hidup di jaman yang sudah bebas dan demokratis. Kalian tak mengalami masa seperti Orde Baru, dimana buku-buku akademik kerap dilarang beredar karena menyenggol penguasa. Kalian bebas berdiskusi tentang tema apapun tanpa harus takut disambangi tentara atau intel.”
Tapi kini, saya mulai agak ragu untuk mengatakan hal seperti itu lagi pada mahasiswa. Suasana jaman sekarang ini malah agak mengingatkan saya pada Orde Baru. Ada buku dan simbol yang dicurigai. Ada tentara yang menggeledah kamar kos aktivis. Ada “perintah Presiden” yang dikomunikasikan pada publik dengan cara berbeda oleh Kapolri dan Jubir. Penguasa sibuk berkisah tentang hantu komunisme. Dan masyarakat harus takut. Ini sama saja seperti kita dipaksa nonton film horor, namun pemainnya adalah pelawak Ringo Agus dan Jupe. Tak ada unsur horor sama sekali. Film horor baru menakutkan kalau yang main adalah almarhumah Suzanna.
Lah, kok nglantur. Tapi intinya: Semua kejadian belakangan bagai déjà vu buat saya.
Semua membuat saya teringat, betapa dulu di jaman Orde Baru, Anda harus bersih diri dan bersih lingkungan. Untuk jadi pegawai negeri (sipil, ABRI), Anda harus bersih dari jejak-jejak ideologi terlarang komunisme.
Karena itu, salah satu mekanisme yang harus dilalui oleh calon pegawai negeri adalah screening ideologis. Salah satu cara yang dilakukan penguasa saat itu adalah dengan mewawancarai calon pegawai, terkait dengan latar belakang dan orientasi ideologis mereka. Tentu saja informasi intelijen juga sangat membantu menyaring kandidat yang beres dan tak beres.
Saya yang mengikuti tes PNS pada penghujung kekuasaan Orde Baru juga mengalami wawancara screening ideologis itu. Wawancara dilakukan di salah satu ruangan di gedung pusat UGM, dengan tim pewawancara gabungan antara birokrat senior di kampus, aparat pusat, serta aparat keamanan daerah (Polda dan Korem).
Wawancara ini sama sekali tak bertujuan untuk mengetahui kecerdasan atau kapabilitas kandidat. Tujuannya cuma satu: memastikan seorang kandidat tak terlibat PKI. Gitu saja. Perkara si kandidat lahir jauh setelah PKI dibubarkan, itu tak penting. Yang penting pastikan tak ada PKI di birokrasi sipil dan militer.
Maka pertanyaan yang diajukan para pewawancara itu kira-kira begini:
“Dari mana daerah asal saudara?”
“Sumenep, pak.” *padahal sudah jelas juga di biodata saya*
“Apa pekerjaan orang tua?”
“Bapak saya PNS, ibu saya adalah ibu-rumah tangga.”
“Agama Islam ya?”
*lahhh sudah jelas namanya Abdul Gaffar anaknya Abdul Karim*
“Iya betul.”
“Koran apa yang saudara baca sehari-hari?”
“Jawa Pos.”
“Mengapa Jawa Pos?”
“Karena saya ingin selalu mengikuti perkembangan Jawa Timur.”
“Dari mana saudara mendengar tentang G-30-S/PKI?”
*Plis deh, saya alumnus Ilmu Pemerintahan, tentu saja saya tahu tentang kejadian itu dari bacaan dan kuliah. Tapi saya paham apa arah tujuan pertanyaan itu. Karenanya, saya berikan jawaban yang paling nggedebus yang terbayang di benak saya…*
“Saya mendengar cerita itu dari kakek saya.”
“Siapa kakeknya?”
“Kakek saya adalah seorang tokoh Banser, yang waktu itu turut menghabisi sisa-sisa komunis.”
**puass? puasss?**
Tim pewawancara pun manggut-manggut. Apakah kakek saya benar-benar Banser yang turut ambil bagian dalam genosida pasca 1965 itu, itu sama sekali tak penting. Yang benting saya lolos screening. Dan saya kini PNS golongan IV.