Suatu ketika saat masih SMP, saya dipanggil oleh Kepala Sekolah (Kepsek) karena membawa motor ke sekolah. Itu pelanggaran peraturan sekolah dan lalu-lintas karena usia saya yang baru 14 tahun. Pak Arief, Kepsek itu, menasehati saya dan beberapa teman secara panjang lebar tentang kesalahan yang telah kami lakukan. Beliau mengatakan bahwa para mahasiswa di Yogya amat sedikit yang bawa sepeda motor saat kuliah. Mereka pada naik sepeda, sehingga tak perlu keluar uang untuk bensin. Uangnya, kata Pak Arief yang alumnus Fakultas Pedagogik UGM, dipakai untuk membeli makanan bergizi sehingga mahasiswa di Yogya pintar-pintar.
Saya terpukau oleh cara beliau berkisah tentang Yogya. Ketika beliau menanya kami satu persatu, ingin kuliah dimana nanti, saya dengan yakin menjawab: “saya ingin kuliah di Yogya, Pak.”
“Mengapa?” tanya beliau.
Saya ceritakan pada Pak Arief bahwa beberapa hari sebelumnya saya nonton sebuah film berjudul Perempuan dalam Pasungan di video. Setting film yang dibintangi oleh penari Nungki Kusumastuti itu adalah Yogyakarta. Suasana Yogya dalam film itu sangat memukau bagi saya.
Pak Arief tertawa medengar jawaban saya. Beliau lalu berkata: “Iya tapi pikiran orang-orang dan mahasiswa di Yogya tidak terpasung seperti perempuan di film itu. Orang Yogya bebas berpikir, karena mereka cerdas-cerdas.”
Jawaban Pak Arief itu tak pernah terhapus dari benak saya hingga sekarang. Juga hari-hari ini, ketika dengan sangat aneh beberapa pihak kembali berusaha kembali memasung pikiran orang lewat sejumlah pelarangan dan penakut-nakutan.
Tak pernah saya duga, bahwa perilaku diktator militer Orde Baru yang melarang buku tertentu, seni tertentu dan bahkan simbol tertentu itu hidup lagi di masa kini. Anda yang hidup di masa Orde Baru pasti ingat betul bahwa kita dipaksa takut pada banyak hantu yang tak pernah jelas seperti apa wujudnya. Ada hantu ekstrem kiri, ada hantu ekstrem kanan.
Namun seperti semua hantu yang pernah ditakut-takutkan pada kita (pocong, wewe, sundel bolong dan sebagainya) tak satupun yang mungkin benar-benar pernah kita lihat. Kisah hantu itu tak perlu pembuktian memang, sebab yang penting kita takut.
Kisah hantu ideologi yang dihembuskan oleh negara bertujuan untuk membuat warga terkungkung dalam spectrophobia. Dengan cara itu, negara bisa memberi solusi atas ketakutan yang tak logis itu. Mungkin hanya itulah satu-satunya peluang bagi negara untuk menjadi solusi, lalu selebihnya cukup menjadi masalah bagi warga.
Ketika itu kita dipasung, bukan secara fisik, namun secara intelektual. Pikiran orang dibatasi. Orang hanya boleh berpikir dan berpendapat dalam lingkar yang telah ditentukan oleh negara.
Kini entah mengapa ada yang berusaha lagi untuk menghidupkan lagi spectrophobia di masyarakat. Langgamnya sama seperti dulu: ada hantu ektrem kiri (yakni PKI yang akan bangkit lagi) dan ada hantu ekstrem kanan (seperti poster menakut-nakutkan ISIS di sebuah kabupaten dengan mayoritas penduduk beragama Katholik, yang saya lihat di bagian timur Indonesia).
Palatino (2016) mencatat bahwa Indonesia tak sendirian, sebab Filipina menunjukkan fenomena yang sama. Ada kekuatan politik di kedua negara yang getol menakut-nakuti masyarakat, sangat boleh jadi untuk menutup-nutupi kebenaran (kasus Indonesia) atau untuk mengobok-obok kekuasaan yang absah (kasus Filipina). Ada yang berusaha memasung kebebasan bergerak , tidak dengan memasung kaki orang, namun dengan menebarkan ketakutan.
Tapi seperti Pak Arief tadi, orang Yogya semestinya tak perlu ikut-ikut terpasung. “Orang Yogya bebas berpikir, karena mereka cerdas-cerdas.” Di daerah lain biar saja orang termakan oleh kisah hantu itu. Orang Yogya jangan ikut termakan.