“Kabinet baru akan segera diumumkan. Dukungan rakyat sangat penting untuk keberhasilan pemerintah –Jkw.” Demikian kicauan di akun Twitter Jokowi, Rabu 27 Juli kemarin, kira-kira satu setengah jam sebelum dia mengumumkan menteri-menteri baru di kabinetnya. Dia menyebut-nyebut tentang kabinet baru, lalu menegaskan pentingnya dukungan rakyat di kalimat berikutnya.
Itu komunikasi politik yang sangat standar. Semua presiden akan mengatakan itu saat melakukan perombakan kabinetnya. Tapi benarkah Jokowi sedang butuh dukungan rakyat untuk keberhasilan pemerintahannya? Komposisi kabinet baru menunjukkan bahwa dukungan yang sebenarnya dirawat Jokowi bukanlah terutama dari rakyat, melainkan juga dari korporasi dan parpol. Nama-nama baru yang muncul dalam kabinet Jokowi didasari setidaknya oleh tiga hal: kinerja pejabat lama, kepentingan korporasi, dan perubahan pola koalisi pemerintahan. Hanya hal pertama yang benar-benar terkait dengan kepentingan rakyat.
Pada saat Anda membaca tulisan ini, pasti sudah banyak pengamat yang menganalisis secara sangat detail tentang para menteri baru dan prospek kinerja kabinet. Saya tak ingin membahas terlalu detail lagi tentang para menteri, kecuali beberapa hal yang perlu disoroti khusus. Pertama, sejumlah nama baru nampaknya memang masuk dengan tujuan untuk mengoreksi kinerja kurang baik dari pejabat sebelumnya. Kementerian perhubungan, kementerian pendidikan dan kebudayaan, dan kementerian ekonomi, adalah contoh kementerian yang memperoleh darah segar dan membawa harapan pada kinerja lebih baik. Pergantian menteri di tempat-tempat itu bersifat teknokratis. Namun di kementerian lain, pergantian yang didasarkan pada pertimbangan kinerja pun masih memperhitungkan kekuatan politik, seperti yang terjadi di kementerian PAN dan RB serta Kemendesa PDT. Pergantian menteri karena persoalan kinerja ini tentu tak berlaku umum. Publik bisa melihat bahwa seperti apapun kinerja Puan Maharani, Jokowi dan JK tak akan berani menyentuhnya.
Kedua, sangat sulit untuk membantah bahwa penataan kabinet ini betujuan untuk mengakomodir partai-partai politik baru yang berhasil masuk (atau berhasil dimasukkan) ke dalam lingkaran koalisi. PAN dan Golkar yang dalam Pilpres lalu jelas-jelas tak mendukung Jokowi, kini bergabung dalam koalisi pemerintahan dan turut memperoleh jabatan menteri. Kita bisa memperdebatkan: ini keuntungan bagi Golkar dan PAN, ataukah ini keuntungan bagi Jokowi. Atau kita bisa menyebutnya sebuah langkah kompromi politik yang sangat cerdik antara semua pihak yang terkait. Yang jelas, Golkar sudah mendeklarasikan sikap bahwa dukungan mereka kepada Jokowi akan bersifat permanen hingga 2019. Golkar aman, Jokowi juga aman. Semua bahagia. Tapi aktivis HAM tentu tak bahagia dengan Wiranto. Masuknya pimpinan Partai HANURA ini mengingatkan kita pada catatan Aspinall (2014) bahwa kabinet Jokowi tak lulus tes, karena beberapa menterinya adalah bagian dari kekuatan non-reformis.
Ketiga, sangat jelas terlihat adanya kekuatan di sektor sumberdaya alam dan industri ekstraktif yang secara persisten mempertahankan posisi dan kepentingannya di pemerintahan Jokowi. Kekuatan ini nampaknya kian berhasil mengukuhkan pegangannya di kabinet. Reshuffle demi reshuffle semakin memapankan kekuatan ini. Yuddy Chrisnandi, salah satu menteri yang tersingkir, pernah mengatakan bahwa reshuffle kabinet itu “ibarat sopir bajaj di jalan. Sopir bajaj itu kalau lagi jalan, yang tahu belok ke kiri siapa? Dia dan Tuhan.” Tapi Yuddy mungkin salah raba. Reshuffle nampaknya diketahui tak hanya oleh Jokowi dan Tuhan. Sangat boleh jadi, Luhut Pandjaitan, seorang pelaku penting dalam industri ekstraktif Indonesia sejak lama, mengetahui lebih banyak dari apa yang diduga Yuddy. Sementara itu, masuknya Sri Mulyani disambut dengan ragu-ragu oleh sejumlah pihak terkait implikasi apa yang akan dibawa olehnya terhadap ekonomi ekstraktif. Masuknya Arcandra Tahar sebagai menteri ESDM malah disambut dengan pesimis oleh sejumlah aktivis dan pengamat industri ekstraktif di Indonesia.
Kelima, reshuffle kali ini menunjukkan sekali lagi bahwa Jokowi adalah seeorang politisi biasa yang pada akhirnya harus berkompromi dengan kekuatan politik di sekitarnya. Dia nampak sangat populis dan menjanjikan kesejahteraan rakyat dalam masa pemilu. Namun politik elektoral adalah satu hal, sementara politik pemerintahan adalah hal lain. Dalam politik elektoral, kita para pemilih adalah subjek penting. Karenanya politisi seperti Jokowi, Prabowo, atau siapapun, akan sangat berusaha menyenangkan hati kita saat pemilu. Namun dalam politik pemerintahan, ada kekuatan elit sesungguhnya yang harus disenangkan hatinya. Pemilih kalah penting dibandingkan kekuatan elit tersebut. Ini adalah pelajaran sangat penting agar ke depan kita tak menghabiskan energi berlebihan hanya untuk politik elektoral. Dalam bahasa sosmed, “mari kita move on.”