Tanggal 30 September 2016 malam, saya mengisi sebuah acara diskusi yang dadakan oleh sebuah komunitas di kawasan selatan Yogyakarta. Tema diskusi yang bertepatan dengan “ulang tahun” peristiwa G-30-S itu adalah tentang rekonsiliasi nasional untuk merajut bangsa yang agak terbelah karena konflik ideologis.
Dalam diskusi ini saya menyampaikan pandangan pokok, bahwa terkait dengan peristiwa-peristiwa pasca G-30-S, konflik terbesar yang kita hadapi sebenarnya adalah konflik dengan akal sehat. Karena itu, rekonsiliasi utama yang harus kita lakukan adalah dengan akal sehat, bukan dengan yang lain-lain. Kita harus segera menghentikan permusuhan kita dengan akal sehat, ketika melihat peristiwa sejarah. Salah satu cara sekaligus hasil dari permusuhan kita dengan akal sehat ini adalah ketakutan akan hantu yang tak jelas bentuknya. Kita adalah bangsa penderita spectrophobia yang sengaja dibuat oleh penguasa.
Oleh pemenang sejarah, bangsa ini digiring tanpa henti untuk terus membenci komunis, tanpa diberi ruang untuk betul-betul mendapatkan informasi, mengapa kita harus membenci komunis. Andai ada ruang bebas untuk membaca fakta dengan utuh, saya yakin sebenarnya banyak juga yang akan mencibir pada ide komunisme, dan mengkritisi banyak langkah PKI di masa silam. Tapi tidak. Tak ada ruang bebas itu. Di masa Orde Baru, kita hanya boleh mendengar kabar tentang komunisme dan kiprah PKI di masa lalu itu dari ABRI (kini TNI), yang merupakan musuh PKI di masa lalu.
Salah satu alat untuk mengabarkan PKI dan kekejamannya adalah film berjudul “Pengkhianatan G30S/PKI” yang wajib ditonton oleh semua pelajar. Menurut film itu, PKI lah yang mendalangi penculikan dan pembunuhan keenam jenderal (dan satu letnan) Angkatan Darat pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari. Dalam film itu, digambarkan bahwa para penculik adalah serombongan tentara bersenjata lengkap, mendatangi rumah keenam jenderal (plus rumah Jend. AH Nasution) untuk menculik membawa mereka pergi, hidup atau mati. Yang diculik tentara, yang menculik tentara, yang mengeksekusi tentara, tapi yang mendalangi adalah PKI. Meski tak masuk akal bagi sebagian orang, tapi itulah yang harus dipaksakan untuk dipercaya oleh generasi muda 1980-an dan 1990-an.
Penjajahan logika itu tak berhenti meski Orde Baru sudah berakhir. Beberapa tahun setelah reformasi politik, film propaganda itu kembali diputar. Coba Anda cari di google dengan kata kunci judul film tersebut. Dengan mudah akan Anda temukan berita tentang nonton bersama (nobar) film ini yang diselenggarakan oleh ormas atau gabungan beberapa ormas. Kodam atau Kodim juga pernah menyelenggarakannya, termasuk di Kebumen, Sidrap dan Tuban. Tanggal 30 September 2016 malam, di Titik Nol Yogyakarta ada acara nobar film ini yang diadakan oleh gabungan beberapa ormas. Nobar ini, kata penyelenggara, dimaksudkan untuk mencegah “komunis bangkit kembali.”
Jelas sekali masih ada kalangan yang sibuk menuturkan kisah hantu komunisme pada kita. Jangan tanya pada orang-orang penyebar kisah hantu itu tentang apa komunisme. Mereka belum tentu paham tentang makna sebenarnya. Bagi mereka, yang penting ada hantu komunisme. Titik. Seperti apa bentuk hantu itu, sama sekali tak penting.
Tapi komunisme tak sendirian dijadikan objek cerita hantu oleh regime otoriter Orde Baru dan pewaris-pewarisnya. Era itu melahirkan dua saudara kembar pelaku kisah-kisah hantu yang dituturkan oleh penguasa. Kedua saudara kembar itu adalah Eka dan Eki (ekstrem kanan dan ekstrem kiri). Jika ekstrem kiri merujuk pada kelompok komunis, maka ekstrem kanan menunjuk pada kelompok Islam radikal.
Istilah Islam radikal sendiri kerap digunakan secara sangat longgar untuk merujuk juga pada Islam politik. Dengan istilah ini, penguasa bisa lebih leluasa untuk melancarkan tekanan pada kekuatan politik Islam, baik parpol maupun non-parpol. Penguasa militer Orde Baru melakukan tindakan sangat cepat untuk melumpuhkan kelompok Eki. Nmaun mereka menggunakan cara yang lebih hati-hati untk menekan kelompok Eka. Tekanan pada kelompok Islam radikal atau politik itu dilakukan terutama dengan membatasi ruang gerak mereka. Di satu sisi, penguasa mengandangkan partai-partai Islam dalam PPP (hasil dari kebijakan fusi yang juga melahirkan PDI). Di sisi lain, penguasa juga memanfaatkan, memelihara atau bahkan menciptakan kecenderungan kekerasan di kalangan ummat Islam untuk menjaga pasokan bahan kisah hantu radikalisme. Ada kisah “Komando Jihad”, misalnya, yang nama dan gayanya sangat militeristik. Ada kisah pembajakan pesawat di masa lalu yang oleh penguasa Orde Baru dinisbahkan pada kelompok teroris Islam, jauh sebelum dunia berbagi phobia pada “terorisme Islam”.
Tentu saja radikalisme itu tak dapat dipungkiri keberadaannya. Namun penguasa mengelola radikalisme itu bukan terutama untuk meredamnya, melainkan untuk memastikan bahwa rakyat tetap bisa ditakut-takuti. Rakyat dibutuhkan untuk tetap takut agar negara bisa melanjukan peran ala petugas ronda malam. Sama seperti komunisme, Islam radikal juga dijadikan bahan penting untuk menciptakan spectrophobia yang paripurna di masyarakat.
Kondisi seperti ini turut dimungkinkan oleh satu hal: ketidak-tahuan orang tentang apa sesungguhnya yang terjadi, dan ketidak-mampuan mereka mencari tahu tentang para hantu yang dikisahkan oleh penguasa itu. Itu sebabnya, bagi saya konflik terbesar bangsa Indonesia bukanlah dengan komunisme maupun dengan Islam radikal, melainkan dengan nalar dan akal sehat.
Dalam rangka untuk melakukan rekonsiliasi dengan nalar dan akal sehat itulah, buku seperti yang ditulis oleh Hendra Juansyah ini menjadi begitu penting. Buku ini bisa membantu kita untuk membangun pemahaman yang lebih utuh tentang Abu Bakar Ba’asyir, sosok yang selama hampir dua dekade terakhir menjadi salah satu tokoh utama dalam lakon kisah hantu di Indonesia – kali ini berjalan senada dengan kisah hantu pada skala global. Jika Anda bukan penyuka ABB sejak semula, buku ini tak akan otomatis mengubah Anda menjadi penyuka. Makna penting buku ini adalah kapasitasnya untuk mencegah kita terjebak dalam ketidak-jelasan kisah hantu itu.
Hendra telah melakukan riset yang sangat mendalam semenjak dia menyusun naskah skripsi S1 di Jurusan Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada. Saya telah membaca versi sangat dini dari buku ini, ketika turut menguji skripsi Hendra. Kelebihan Hendra adalah minatnya yang sangat tinggi terhadap tema ABB ini, yang disertai oleh kapasitas metodologis untuk menganalisisnya secara lebih objektif. Minat riset terhadap ABB tak berhenti ketika Hendra telah menyelesaikan studinya di UGM. Saya mengikuti perkembangan dan pendalaman riset dia tentang isu ini selama menyelesaikan draft buku yang kini telah sampai ke tangan Anda, pembaca. Hendra menjaga kontak dengan banyak pihak di sekitar ABB untuk memperoleh gambaran paling utuh tentang tokoh ini. Pengalaman riset yang hasilnya kemudian dibagi lewat buku ini sungguh sangat menarik.
Sekali lagi, tak penting apakah Anda akan menjadi suka atau tidak suka kepada ABB setelah membaca buku ini. Yang terpenting ialah: Anda tak membiarkan diri menjadi korban kisah-kisah hantu ala Eka dan Eki.
Selamat membaca!
————————
*Kata pengantar untuk buku karya Hendra Juansyah