Dalam beberapa bulan terakhir ini kita disuguhi berita bahwa bangsa kita ternyata belum siap betul untuk berdemokrasi. Kita masih terpuruk, baik di ranah demokrasi elektoral, maupun di ranah demokrasi substantif. Karena itu, jika kita hendak merayakan Hari Kebangkitan nasional, rayakanlah dengan membangkitkan demokrasi.
Mari kita lihat apa saja masalahnya, dan hal apa saja yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya.
Pertama, kita ternyata tak cukup ikhlas mengelola demokrasi elektoral dan segala konsekuensinya. Kita belum mampu berpemilu dan berpilkada dengan sebaik-baiknya. Performa kita dalam mengelola konflik kepentingan politik cenderung acak-acakan dan agak memalukan. Dari Jakarta, ibukota negeri, kita dengar kabar buruk itu: mekanisme pilgub ternyata tak sanggup menyelesaikan konflik politik dengan suara. Para pelaku politik di semua level masih terus melanjutkan peperangan dengan berbagai macam cara untuk menunjukkan keburukan pihak lain dan kehebatan pihaknya sendiri.
Pemilu sejatinya adalah cara manusia modern mengelola konflik kepentingan agar tak perlu berebutan, saling melukai dan bunuh-bunuhan untuk memperoleh keuntungan politik. Karena posisi politiknya terbatas, lumrah kalau manusia berebutan. Daripada berebutan dengan menggunakan peluru (bullet), manusia kini memutuskan untuk menggunakan suara (ballot). Harusnya semua pertikaian bisa selesai ketika ballot itu sudah menunjukkan hasil yang jelas. Tapi Jakarta justru memberi kita contoh yang buruk. Keributan tak kunjung surut meski hasil pilgub telah jelas. Di kawasan-kawasan pinggiran memang pernah terjadi sejumlah konflik kekerasan menyusul sebuah acara pemilu. Tapi suasana “peperangannya” tak pernah semasif konflik pasca pilgub DKI.
Jakarta memang ibukota negeri, namun untuk hal ini kita semua tak usah meniru-niru kelakuan buruk yang meruap dari sana.
Kedua, kita juga menunjukkan ketidaksanggupan untuk mengelola perbedaan di dalam masyarakat. Salah satu essensi terpenting demokrasi adalah kemampuan untuk mengelola keragaman secara sehat dan produktif. Dalam demokrasi, kita boleh tak setuju dengan pendapat orang lain, namun kita harus mampu menjamin hak orang lain itu untuk mengekspresikan pendapatnya dengan cara-cara yang dibenarkan oleh hukum. Demokrasi menjamin hak individual untuk berpikir dan berpendapat, bahkan meski pendapat itu anti-demokrasi sekalipun. Menurut Anda ini dilemmatis? Memang. Itulah kenapa penerapan demokrasi memerlukan kedewasaan berpikir yang paripurna.
Masalahnya, kita masih belum mampu membuktikan kemampuan untuk berpikir secara dewasa. Apa yang dilakukan oleh sebagian kita saat menghadapi perbedaan? Ada yang mensikapi perbedaan dengan menolaknya. Jangankan bercengkerama dengan orang yang berbeda, mengakui hak keberadaan mereka saja kita kerap kesulitan.
Kampus-kampus sekarang kerap menjadi tempat mahasiswa mempelajari kebodohan demokrasi. Sering kita dengar ada penolakan ini dan itu oleh mahasiswa dan dosen di kampus. Gus Dur pernah ditolak masuk kampus. Irshad Manji pernah ditolak masuk kampus. JIL ditolak. HTI ditolak. Saya tidak paham mengapa dosen dan mahasiswa itu menunggu sampai mereka mengenyam pendidikan tinggi untuk kehilangan akal sehat.
Terakhir kita dengar, pemerintah mengumumkan rencana untuk secara hukum membubarkan HTI karena dianggap membahayakan NKRI. Indonesia sedang mengambil nomor antrian untuk serupa dengan negara-negara otoriter di Timur Tengah, dan menjauh dari karakter negara demokratis seperti Inggris dan Australia dimana Hizbuttahrir bisa hidup leluasa.
Apa yang harus kita lakukan untuk membangkitkan demokrasi? Kita bisa mulai dengan mengoreksi dua kesalahan di atas. Pertama, kita harus belajar untuk menghentikan konflik elektoral, segera setelah suara selesai dihitung. Jangan lagi kita cari-cari alasan untuk menyambung pertikaian dan menolak rekonsiliasi. Kedua, kita harus menghentikan kebiasaan menolak pihak lain yang berbeda dari kita. Setiap pihak harus mampu melakukan rekognisi terhadap pihak lain, dan bersedia untuk hidup saling mendekat dengan pihak-pihak yang berbeda.
Demokrasi memang tidak mudah. Banyak pemikir sudah mengingatkan bahwa demokrasi bisa menjadi dilemma terhadap birokrasi, bisa menjadi dilemma terhadap teknokratisme, bisa menjadi dilemma terhadap pemerataan ekonomi, bahkan bisa menjadi dilemma terhadap agama. Tapi kita tak boleh membiarkan demokrasi terpuruk. Demokrasi harus terus kita bangkitkan.