Categories
Agama

‘Batu Jadi Tanaman’

[Catatan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat]

Sebuah nyanyian lama pernah menggambarkan Indonesia sebagai tanah subur di mana ‘tongkat kayu dan batu jadi tanaman’. Benarkah? Sebagian lahan di negeri ini mungkin tak lagi sesubur itu, namun karakter sosial masyarakat Indonesia, khususnya kalangan Islam, masih tetap lahan subur bagi berkembangnya paham keagamaan. Maka tak perlu kita terlalu heran bahwa ketika perkembangan religio-politik global membawa tema terorisme ke meja diskusi, masyarakat Indonesia tak terlepas dari kaitan dengan hal itu. Hingga kinipun isu terorisme dan kaitannya dengan komunitas Islam di Indonesia tetap hangat dan aktual.

Mengapa komunitas Islam Indonesia demikian subur bagi perkembangan paham keagamaan baru termasuk radikalisme sekalipun? Pertumbuhan suatu paham dalam sebuah komunitas selalu bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, sebuah paham bisa diadopsi dari luar komunitas itu, alias diimpor dari luar. Paham itu muncul di luar sana dalam konteks yang berbeda dari keadaan komunitas itu, lalu didatangkan dan disebarkan ke dalam. Kedua, suatu paham bisa pula tumbuh secara organik di lahan milik komunitas itu sendiri, sepenuhnya berdasarkan watak lahan dan cuaca sosial yang ada di situ.

Keadaan di Indonesia nampaknya merupakan perpaduan dari kedua pola tersebut. Yang paling kasat mata adalah fakta demografis. Dengan hampir 160 juta orang penduduk mengaku dirinya Islam, Indonesia adalah negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia. Indonesia adalah target pasar paling menggiurkan bagi paham keagamaan yang tumbuh di dunia Islam secara global. Apapun yang berkembang pada skala internasional, gaungnya tak lama lagi akan sampai ke negeri ini.

Tahun 1990-an, Islam sebagai ideologi yang tadinya memperoleh capaian politik yang sangat kuat di negara-negara seperti Mesir, Algeria dan Afghanistan mulai merosot. Mereka harus berhadapan dengan arus kuat negara yang menolak penerapan Islam sebagai ideologi. Sebagai respons terhadap hal itu, sebagian memilih untuk berakomodasi dengan negara. Kalangan yang lain memilih untuk mengalihkan perwujudan cita-cita ideologi Islam pada konteks supra-nasional (atau transnasional). Sejak itulah gagasan-gagasan transnasionalistik dalam Islam menguat.

Memang kebanyakan ide transnasionalistik ini bersifat nir-kekerasan (ide Khilafah misalnya). Namun sayangnya ada pula yang memang memiliki visi kekerasan di dalamnya, di mana Islam dianggap sedang dalam keadaan perang dengan komunitas non-Islam secara global. Lagi-lagi, untuk tujuan ‘perang global’ itu Indonesia termasuk sumber pasukan paling potensial secara demografis.

Terlebih lagi, Islam di Indonesia hingga saat ini masih mencari bentuk. Antropolog Robert Hefner pernah menggambarkan bahwa Jawa dan Nusantara masih tetap dalam proses Islamisasi sejak abad 13 atau 14. Islam di sini belum final. Pencarian bentuk dan jati diri Islam Indonesia ini pun memberi kontribusi pada begitu mudah terserapnya paham keagamaan baru di sini, baik yang nir-kekerasan maupun yang menghalalkan kekerasan.

Konflik komunal di tanah air yang manifestasi kekerasannya sangat terasa sejak 1998 juga memiliki kontribusi terhadap penyebaran paham keagamaan bernuansa kekerasan itu. Konflik komunal ini telah mendorong pencarian identitas keagamaan baru, di mana cara pandang lama tak lagi bisa memuaskan. Identitas keagamaan baru ini lalu banyak ditemukan di konteks ‘perang global’ itu.


Semua fenomena itu tak bisa terhindarkan. Yang bisa dilakukan kini adalah membuat penyeimbangan, dengan terus menguatkan gagasan Islam moderat. Dengan kata lain, kalau lahannya memang subur untuk tumbuhnya semua tanaman termasuk ilalang liar, maka tumbuhan besar harus diperbanyak dan rajin dirawat. Seorang kolega pernah berkata pada saya: “Umat Islam Indonesia akan terus kecolongan kalau banyak penjaganya sering keluyuran di ‘luar rumah’. Kalau orang-orang NU terlalu sibuk berpolitik dan orang-orang Muhammadiyah terlalu asyik berbisnis, ya jangan marah jika umatnya salah asuhan di tangan orang lain”.