Dulu sekali, di awal-awal berdirinya Jamaah Shalahuddin UGM tahun 1980an, konon banyak kisah menarik tentang aktivisnya. Waktu itu hampir tak ada mahasiswi yang berjilbab. Juga tak ada aktivis yang berusaha tampil dan beraksen Arab. Semua biasa-biasa saja. Namun mereka bersemangat untuk merintis kegiatan yang lebih agamis bagi mahasiswa.
Salah satu kegiatan yang mulai dilakukan adalah shalat Jumat di Gelanggang Mahasiswa. Belakangan dirintis juga rangkaian acara untuk mengisi bulan puasa, yang diberi nama Ramadhan in Campus. Acara utamanya adalah shalat tarawih dan subuh berjamaah.
Dalam acara shalat jumat di masa-masa awal, para aktivis Jamaah Shalahuddin pun berbagi tugas dengan cara yang unik. Ada seksi perlengkapan yang tugasnya menyiapkan hall utama gelanggang yang biasanya dipakai sebagai lapangan basket itu untuk menjadi tempat shalat. Mereka menggelar tikar panjang dan menyiapkan mimbar. Ada seksi acara yang bertugas mencari khatib dan imam. Ada juga seksi sound system yang bertugas untuk memastikan mikrofon, amplifier dan spaeaker-nya berfungsi dengan baik.
Agar fokus melaksanakan tugas, awal-awalnya seksi sound system justru tak ikut shalat jumat berjamaah. Mereka duduk di depan peralatan, memastikan bahwa suara imam dan khatib terdengar jelas tanpa masalah apapun. Keseimbangan bass dan treble mereka jaga dengan sangat hati-hati. Shalatnya gimana? Shalat itu nomer dua. Nomer satu syahadat.
🙂 🙂
Saat mendengar cerita ini dari beberapa pendiri Jamaah Shalahuddin, saya tertawa geli. Tapi ada alasan kuat mengapa ada yang tak ikut shalat demi sound system. Sederhana saja, kalau mereka turut shalat berjamaah, siapa yang akan menjaga sound systemnya? Siapa yang akan mengambil tindakan kalau tiba-tiba speaker-nya berdengung keras di tengah shalat?
Selain itu, ada aktivis awal JS yang memang belum shalat, bahkan tak tahu cara shalat dan wudlu. Mereka hanya berbekal semangat untuk menjadi lebih baik. Jadi daripada sok tahu ikut-ikut shalat, mending menabung kebajikan dengan memastikan bahwa perangkat untuk shalat Jumat bisa berfungsi dengan baik.
Begitu logikanya.
Saya selalu mengingat cerita itu, ketika gundah melihat pengurus masjid/mushalla jaman sekarang, yang kadang agak-agak sok tahu dengan ilmu agama. Ada yang nekad mengimami shalat dengan bacaan yang berantakan. Ada yang nekad ceramah dengan pengetahuan yang masih terbatas. Kalamallah diucapkan dengan sembarangan. Keindahan Al Quran kerap sirna karenanya.
Betapa memprihatikan. Betapa beda dengan sikap tawaddu’ para aktivis awal JS dulu: jika memang belum tahu, jangan sok tahu, apalagi berlagak jadi imam dan ustadz.
Mending urus sound system dulu…