[Kedaulatan Rakyat, 23/01/2009]
Fungsi utama partai politik adalah menjadi wahana mediasi antara negara dan masyarakatnya, antara pemerintah dan warganya. Dalam peran mediasi itu, rekrutmen pada posisi jabatan publik adalah salah satu substantinya. Substansi lain yang sebenarnya lebih penting adalah fungsi representasi, terlebih lagi kaitannya dengan artikulasi kepentingan.
Di Indonesia, sayangnya, fungsi representasi ini masih kalah jauh dibandingkan aktivitas rekrutmen. Dalam masa menjelang pemilu seperti saat-saat ini, kita dapat lihat betapa gigihnya partai politik dan caleg berlomba-lomba berjualan tampang lewat spanduk dan iklan di media massa, serta lewat berbagai cara pendekatan lain yang sangat serius kepada target konstituennya. Betapa hebatnya upaya mereka untuk mensukseskan proses rekrutmen dan memperoleh kemenangan dalam kontestasi politik. Masalahnya, kerap kali relasi para caleg dan parpol di belakang mereka ini cuma sebatas pemilu dan jual tampang saat kampanye. Sangat jarang di antara mereka yang terus bersungguh-sungguh menjaga komunikasi dengan konstituen yang diwakilinya di luar konteks kampanye dan pemilu.
Karena itu, penting bagi masyarakat dan pemilih untuk nanti mampu mengingatkan para caleg dan parpol mereka: ‘berhentilah berpose untuk spanduk-spanduk kampanye, dan mulailah belajar mendengarkan kepentingan kami dengan sebaik-baiknya’.
Mengapa hal itu penting? Alasan yang terutama, tujuan paling akhir seluruh prosedur dan metode demokrasi adalah pada terwujudnya pemerintahan yang mampu menyerap kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya. Proses demokratisasi kerapkali memang mensyaratkan perubahan sistem kepartaian dan pemilu, serta dipercepatnya sirkulasi elit. Namun prasyarat perubahan itu tak bisa cuma berhenti di sana. Perubahan sistem tersebut harus segera mampu membuktikan diri untuk memuluskan salah satu sendi terpenting kegiatan bernegara modern, yakni representasi kepentingan rakyat dengan efektif dan optimal. Keseluruhan dinamika berpartai, berpemilu dan berparlemen sesungguhnya berpangkal pada tujuan dasar terbangunnya representasi tersebut.
Representasi itu sendiri tak cukup hanya berdasarkan pada identitas sosial masyarakat, sebagaimana yang kebanyakan terjadi di Indonesia. Yang lebih penting lagi, representasi itu seyogyanya didasarkan pada pemetaan kepentingan masyarakat. Peta kepentingan dalam masyarakat itu haruslah menjadi dasar bersikap dan bertindak para wakil wakyat di lembaga perwakilan, dan menjadi pijakan kebijakan yang paling utama.
Karena itu, sangat penting bagi kita untuk menjadikan pemilu tak hanya sebagai ruang berpose bagi para calon wakil rakyat, namun yang lebih penting lagi menjadikannya sebagai ajang seleksi bagi wakil rakyat yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk mendengar kepentingan rakyat setiap saat. Kita patut khawatir bahwa kemampuan mendengarkan ini sulit diharapkan dari politisi yang dalam proses pencalegan hanya bisa jual tampang serta berdagang jargon kosong tanpa secercah isyarat program sedikitpun.
Untuk mengoreksi hal itu, dipelukan sinergi semua pihak. Dari pihak negara dan penyelenggara pemilu, antara lain diperlukan panduan serta kendali yang lebih kuat tentang substansi yang harus dipenuhi dalam kampanye setiap parpol dan calef. Selama ini penyelenggara pemilu baru sebatas mengelola waktu dan rambu-rambu permukaan kampanye bukan memberikan kisi-kisi substansi yang harus dipenuhi dalam kampanye itu. Selain itu, penting pula bagi negara dan penyelenggara pemilu untuk menyediakan ruang pengawasan secara terlembaga bagi masyarakat atas representasi mereka, semacam posko bersama yang dekat dengan konstituen (misalnya berbasis dapil).
Dari parpol dan para caleg/aleg, diperlukan adanya penegasan program saat kampanye dan sepanjang masa jabatannya. Selama ini parpol dan caleg lebih banyak menonjolkan isu-isu jargonis (semisal merujuk diri sebagai caleg yang “beriman, jujur dan dapat dipercaya”) beserta klaim atas basis sosial/ideologis tertentu. Penting pula bagi parpol dan para anggota legislatif untuk menyediakan saluran komunikasi reguler dengan pemilih (tak hanya berhenti saat pemilu, dan tak hanya searah dan simbolik saat reses), dan menjadikan komunikasi dengan pemilih itu sebagai basis pembuatan keputusan substantif.
Dan yang terakhir bagi para konstituen, penting untuk dalam pemilu nanti menentukan pilihan berdasarkan kejelasan program para caleh, tak sekadar orientasi sosial/ideologis mereka. Yang juga sangat penting, masyarakat pemilih harus mampu menjaga sikap kritis terhadap wakil yang telah dipilihnya. Namun itu saja tidak cukup. Kritisme terhadap para wakil rakyat itu mesti pula dikelola secara terorganisir dan sistematis, dan tidak sendiri-sendiri.
Wallahu a’lam bissawab.
Note: Picture was taken from here.