Representasi adalah salah satu aspek penting dalam praktek politik di masa kapanpun dan di belahan bumi manapun. Ide dasarnya sederhana: tak semua orang bisa dan dapat turut dalam praktek penyelenggaraan negara dan pembuatan keputusan, sehingga warga negara memerlukan sejumlah orang untuk mewakili mereka, menyuarakan kepentingan mereka, dan berbicara atasnama mereka. Institusi-institusi dan mekanisme-mekanisme utama dalam politik modern, seperti partai politik, pemilihan umum, parlemen, dst, bermuara antara lain pada persoalan representasi itu.
Bahkan dalam sistem politik non-demokratis sekalipun, para pimpinan dan lembaga inti politik juga merupakan representasi dari sesuatu: bisa representasi dari kekuasaan elite militer, bisa representasi dari aristokrasi, bisa pula (dalam sistem teokrasi) pimpinan meng-klaim diri sebagai representasi (atau inkarnasi?) Tuhan. Pendek kata, tema representasi ini omnipresent.
Dalam sistem demokrasi, tentu saja, representasi rakyat (demos) dalam struktur pemerintahan adalah tema utama. Setiap posisi politik dalam demorasi adalah refleksi dari peta politik dan sebaran kepentingan dalam masyarakat.
Itu idealnya. Namun pada praktek dan kenyataannya, posisi politik dalam sistem demokratis pun tak selalu merupakan representasi rakyat sepenuhnya. Ia bisa pula (atau bahkan lebih) merepresentasikan kepentingan elitis dalam institusi politik. Parpol misalnya, yang semestinya sekadar ‘wasilah’ pencapaian tujuan politik masyarakat, tak jarang bergeser menjadi sentra kepentingan, di mana politisi berperan semata-mata sebagai representasi partai politiknya.
Lalu bagaimanakah kita bisa ‘mendeteksi’ kepentingan mana yang direpresentasikan oleh politisi? Tentu banyak cara. Namun di antara banyak cara itu kita bisa melihat jejalur komunikasi politik seorang politisi untuk melacak apa atau siapa yang sebenarnya ia representasikan. Kita bisa amati, dengan siapa seorang politisi paling banyak melakukan kontak. Dengan jajaran pimpinan partai politik-nya? Berarti secara riil ia adalah representasi parpolnya. Dengan tokoh agamawan (‘Kiai Langitan’ untuk menyebut contoh)? Berarti ia memposisikan diri sebagai representasi riil tokoh agamawan itu. Dengan rakyat atau konstituennya? Berarti ia memang berusaha memposisikan diri sebagai representasi konstituennya. Tentu satu politisi memiliki banyak jalur komunikasi, namun kita bisa lihat yang mana yang merupakan jalur komunikasi utamanya untuk mengetahui apa atau siapa yang terutama ia representasikan.
Kehadiran fisik dan upaya pencitraan diri yang dilakukan oleh politisi juga bisa dijadikan cara untuk mendeteksi ia sebenarnya merepresentasikan siapa dan/atau kepentingan apa. Kita amati saja setiap politisi, di mana mereka kebanyakan berada, isu apa yang mereka banyak respons di media, dan bagaimana cara mereka merespons sesuatu isu; semua akan membawa kita pada petunjuk tentang pijakan representasi riil politisi itu.
Di negara yang menerapkan sistem sistem distrik (seperti Australia), setiap politisi di parlemen dipilih berdasar distrik tertentu. Sistem ini cenderung mendorong politisi untuk menjadikan pemilih dan daerah pemilihannya sebagai sentra kiprah politik. Tanpa komunikasi dan kehadiran yang intensif di daerah pemilihannya, popularitas politisi ini bisa merosot dan ia dapat terpental dalam pemilu berikutnya.
Sistem proporsional tak terlalu memaksa politisi untuk lekat dengan pemilihnya. Barangkali itu sebabnya di Indonesia kita tak melihat terlalu banyak politisi yang sangat intensif menjalin komunikasi dengan masyarakat (kecuali dalam masa kampanye pemilu).
***
Saya tak banyak melihat bagaimana konkritnya pola komunikasi politik di Indonesia beberapa tahun belakangan ini (tentu saya mengikuti berita tentang Indonesia dari media, tapi sudah pasti tak banyak pemahaman yang bisa didapat dibandingkan jika kita melihat langsung). Sejauh yang saya pahami, politisi kita cenderung menjadikan Jakarta sebagai sentra segala kiprah politik. Ini terjadi tak hanya pada anggota DPR dan DPD (yang memang berpusat di Jakarta), namun juga banyak kepala daerah seperti bupati, walikota dan gubernur.
Barangkali tak terlalu mengherankan kalau anggota DPR lebih berorientasi ke Jakarta, sebab mereka memang lebih merupakan representasi partai, dan partai itu berpusat di Jakarta. Tapi kita sering lihat para bupati, gubernur, walikota (yakni eksekutif yg dipercaya utk memimpin daerah) malah lebih banyak di Jakarta, ketimbang berada di daerahnya untuk secara penuh menjaga komunikasi politik dengan masyarakat. Entah apa saja yang mereka urus di sana…
Sejauh yg saya amati secara langsung, anggota DPR Jeffrey Massie termasuk yg menjadikan daerah pemilihannya sebagai sentra komunikasi dan pencitraan politik. Ketika melakukan penelitian di Manado, saya banyak memanfaatkan database yang dimiliki media massa lokal, termasuk Harian Komentar.
Kantor redaksi harian ini di kawasan pertokoan Megamas Manado sekaligus dijadikan kantor dan pusat penyaluran aspirasi oleh Jeffrey Massie yang juga adalah presiden komisaris Harian Komentar. Tak banyak saya tahu bagaimana efektifitas komunikasi politik Massie di kantor ini. Tapi paling tidak ia telah menunjukkan upaya menarik untuk menjaga komunikasi dengan konstituennya secara terus menerus, termasuk melalui iklan di halaman depan Harian Komentar.
Di Australia, khususnya di Perth, saya melihat dua anggota parlemen memang bekantor tepat di pusat daerah pemilihanya, dan membangun komunikasi intensif dengan masyarakat di daerah itu. Dua anggota parlemen itu adalah Kim Wilkie dan Ben Wyatt.
Kim Wilkie adalah anggota parlemen federal dari Partai Buruh (yakni partai oposisi di tingkat nasional, dimana Partai Liberal berkuasa). Ia mewakili Swan, yakni salah satu distrik pemilihan (disebut electoral division) yang terdapat di Western Australia. Kantor parlemen federal berada di Canberra. Namun sebagai wakil dari Swan, Wilkie memiliki kantor di East Victoria Park tak jauh dari rumah saya. Di sana selalu ada staf yang bekerja penuh-waktu. Wilkie sendiri kerap terlihat berada di sana. Secara teratur ia tampil di publik baik secara langsung di kantornya maupun melalui media massa. Ia juga menerbitkan Swan Bulletin secara bulanan untuk menjaga komunikasi dengan konstituennya.
Politisi kedua, Ben Wyatt adalah anggota parlemen negara bagian (State) Western Australia, berasal dari Partai Buruh yang berkuasa di negara bagian ini, dan mewakili distrik Victoria Park tempat saya tinggal. Sama seperti Wilkie, ia juga memiliki kantor yang menjadi titik komunikasi utama antara Wyatt dengan masyarakat pemilihnya. Kantor ini berada di area bisnis Town of Victoria Park di Albany Highway. Wyatt, mantan lawyer berusia muda ini, kerap pula di media lokal untuk merespons isu-isu terkini yang berkembang di masyarakat. Baik pada tingkat pencitraan maupun kehadiran fisik, ia terus berusaha menampilkan diri sebagai representasi masyarakat Victoria Park yang mudah diakses.
***
Itulah dua contoh politisi di Australia, yang oleh sistem didorong untuk berada sedekat mungkin dengan pemilih yang merupakan basis representasinya. Mungkin dari sini kita bisa andaikan, bahwa kalau kita ingin mengetahui seorang politisi merepresentasikan siapa, tengok saja dimana ia berkantor. Jika kebetulan Anda sendiri adalah politisi, ijinkan saya bertanya: di manakah Anda berkantor?