[Bernas Jogja, 6/5/2009]
Perempuan dan politik, barangkali sama seperti perempuan dan mesin. Citra dunia politik dan mesin yang keras, kasar dan kotor selalu dianggap tak cocok dengan idealisasi perempuan yang mesti halus dan bersih.
Padahal keadaannya tak selalu demikian. Politik bukanlah dunia yang kasar dan kotor. Sebagai salah satu bagian dari kehidupan manusia, politik tak mungkin bisa bersih atau kotor sebagai dirinya. Politik bisa bersih atau kotor tergantung bagaimana manusia menggunakannya. Politik adalah seperti pisau, yang bisa digunakan untuk melakukan kebajikan, namun juga bisa digunakan untuk melakukan kejahatan. Kalaupun ada sifat yang nampaknya keras dalam politik, itu karena politik selama ini hanya dimunculkan lebih banyak pada sisi negatifnya, semisal penyingkiran lawan, kecurangan, money politics, dan pengkhianatan kawan hanya untuk mencapai kepentingan jangka pendek.
Namun tentu saja politik tak hanya memiliki wajah muram seperti itu. Politik memiliki sisi baik yang jauh lebih banyak daripada sisi buruknya. Dengan politiklah sebuah masyarakat mengelola kepentingan bersama secara lebih baik. Dengan politik jugalah setiap manusia bisa memiliki peluang untuk tak hanya dikuasai namun juga menguasai.
Dalam pengertian inilah, maka politik sama sekali tak memiliki jenis kelamin. Politik boleh digeluti oleh laki-laki dan perempuan secara imbang dan adil. Untuk itu, tak sedikit orang dan kelompok orang yang belakangan secara gigih mendukung tindakan afirmatif agar semakin banyak perempuan terjun ke dunia politik. Kendati sempat terganggu oleh aturan suara terbanyak yang menggantikan aturan nomer urut dalam pemilu legislatif lalu, upaya untuk mendorong agar sepertiga politisi di parlemen kita adalah perempuan juga tak pernah surut.
Akan tetapi, langkah afirmatif semacam ini saja tidak cukup. Ada langkah politik lain yang juga sangat penting untuk diambil agar peluang peran perempuan dalam politik bisa seimbang dengan peran yang dilakukan laki-laki. Langkah politik ini terkait dengan upaya untuk menumbuhkan kesadaran politik di kalangan perempuan (khususnya di daerah pedesaan). Kesadaran politik ini sangat dibutuhkan agar para perempuan mampu dan mau menggunakan hak politik mereka dengan sebaik-baiknya. Hal ini diperlukan sebagai upaya pendukung terhadap tindakan afirmatif agar calon politisi perempuan memperoleh peluang terpilih. Sebab, diharapkan pemilih para politisi perempuan adalah terutama para perempuan sendiri.
Dalam hal ini terdapat minimal dua prasyarat. Pertama, preferensi politik perempuan harus didasarkan pada pertimbangan yang mandiri, tidak semata-mata keputusan ikutan dari suami dan/atau ayahnya. Kedua, sebagai konsekuensi dari prasyarat pertama, para pemilih perempuan di semua lini harus memiliki akses terhadap informasi politik, minimal sepadan dengan akses yang dimiliki para laki-laki. Informasi politik ini diperlukan oleh para perempuan agar dapat menentukan pilihan politik secara cerdas.
Dalam kedua aspek inilah terdapat persoalan mendasar yang perlu diperbaiki di kalangan pemilih perempuan, khususnya di pedesaan di Jawa. Preferensi politik perempuan tak jarang hanyalah salinan dari preferensi politik suaminya. Tentu saja keseragaman preferensi politik suami-istri tak bisa disalahkan. Namun preferensi politik itu seyogyanya diputuskan secara paralel dan mandiri oleh keduanya, sebab demokrasi prosedural modern memang menempatkan keputusan individual sebagai faktor penting. Artinya, seorang istri seyogyanya bisa memutuskan sendiri pilihan politiknya, tanpa harus mengekor pilihan politik sang suami. Jika kebetulan sama, tentu tidak masalah.
Persoalan mendasar lain, akses informasi politik bagi perempuan di daerah pedesaan sangat terbatas. Selain media massa cetak (yang juga tak terlalu luas jangkauannya) dan media elektronik, forum warga adalah salah satu saluran informasi politik yang sangat penting di daerah pedesaan. Sayangnya, forum warga yang bisa didayagunakan sebagai saluran informasi politik kebanyakan sangatlah didominasi oleh laki-laki. Forum yang didominasi oleh perempuan adalah Posyandu dan arisan-arisan, dan umumnya sangat jarang digunakan sebagai sarana penyampaian informasi politik.
Oleh karena itu, upaya pendampingan yang terus-menerus terhadap pemilih perempuan di pedesaan sangatlah penting. Hal ini akan menambal kesenjangan informasi dan peluang politik perempuan di tingkat yang paling mendasar, yakni hak untuk memahami dan mampu menggunakan hak pilihnya secara baik. Jika setiap pemilih perempuan memahami hak politik ini, maka langkah afirmatif untuk mendorong munculnya lebih banyak politisi perempuan benar-benar akan berjalan secara efektif.
Dengan cara pikir inilah, maka program KKN-PPM Pendidikan Pemilih dan Pemantauan Pemilu (KKN-PPM P4) UGM 2009 menetapkan pemilih perempuan sebagai salah satu kelompok sasaran. Semenjak gelombang pertama dalam masa pra pemilu legislatif, hingga nanti gelombang ketiga di masa pilpres, pendampingan pemilih perempuan adalah strategi andalan program ini. Target jangka pendeknya adalah meningkatnya kesadaran politik perempuan, sebagai bagian dari upaya kontributif untuk dalam jangka panjang menyetarakan peran politik laki-laki dan perempuan.
Tentu saja KKN-PPM P4 tak sendirian dalam mengusung semangat ini, sebab banyak juga program lain yang juga melakukannya. Yang diperlukan ke depan adalah sinergi seluruh aktifitas pendampingan pemilih perempuan ini, agar berjalan jauh lebih efektif dan mampu mencapai sasarannya dalam waktu lebih cepat. Semoga!