Hari-hari belakangan, lagi-lagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memamerkan keluh kesah dan curhat pada publik. Dia mengeluhkan tekanan publik yang demikian besar, yang menurut SBY bisa menjerumuskan dirinya pada keputusan yang tak prosedural. “Saya jangan dipaksa”, demikian kata sang Presiden kira-kira, menanggapi tuntutan publik untuk segera menindak-lanjuti rekomendasi dari Tim 8 tentang penuntasan kasus Bibit – Candra dan Polri.
Tentu kita sudah sangat lazim mendengar sang Presiden curhat di depan publik, mengeluhkan tekanan yang harus dia hadapi dalam posisi itu. Kita tak akan lupa bagaimana dia menjadikan isu terorisme sebagai cara untuk meminta perhatian pada publik, dengan mengatakan bahwa dirinya tengah dijadikan target serangan. Refleks SBY saat ada tekanan besar adalah curhat di hadapan rakyatnya, dan bukan menyediakan diri sebagai pengayom agung. Kita tak heran dengan karakter ini. Namun kini, saya kira SBY bukan sekadar asal curhat sebagaimana sebelum-sebelum ini. Saya yakin, dia menyadari hadirnya tekanan yang cukup besar terhadap posisinya kini. Tekanan besar ini muncul karena SBY sesungguhnya kini tengah sendirian. Barangkali, curhat publik yang seharusnya ia sampaikan adalah: “kini kusendiri…”
SBY memperoleh tekanan yang amat besar dalam kasus Bank Century, perseteruan Polri – KPK, rekaman pembicaraan para cukong yang menyebut-nyebut namanya, dan yang terpenting: tudingan publik bahwa ia tak sungguh-sungguh mermiliki komitmen untuk memberantas korupsi, plus kecurigaan bahwa seluruh selingkuh kekuasaan para elit yang melibatkan uang dalam jumlah besar ini terkait dengan sebagian pembiayaan politik para kontestan utama dalam pemilu baru lalu. Rekomendasi Tim 8 menurut saya merupakan kulminasi atas seluruh tekanan itu. Tim yang dibentuknya sendiri kini memberinya buah simalakama.
Di titik ini, tampaknya SBY hanya punya satu pilihan paling logis: melaksanakan rekomendasi Tim 8 untuk menjaga popularitasnya di hadapan rakyat. Tapi tentu saja, tak mudah bagi SBY untuk mengambil keputusan itu, baik karena karakter personalnya yang memang peragu, maupun karena realitas network politiknya memang tak memungkinkan dia mengambil langkah terlalu mendasar dalam kasus ini.
Di titik ini, sangat jelas bahwa SBY perlu segera merubah langgam sikap politiknya, sekaligus membenahi pola komunikasi politik yang dimainkannya. Kita semua paham bahwa SBY sangat mahir berpenampilan menarik di depan publik. Selama ini, ia mengandalkan sikap yang berwibawa dan bahasa yang santun di atas podium dan di depan kamera dalam rangka menegakkan citra diri di depan publik. Tapi perlu diingat bahwa citra pemerintahan di periode lalu terjaga bukan semata-mata karena aksi panggung SBY yang memukau, melainkan karena back up penting berupa langkah dan keputusan tegas yang diambil oleh Wapres Jusuf Kalla (JK). Saat SBY asyik mematut diri dalam retorika, JK biasanya mengambil inisiatif bertindak cepat. Dengan cara itu popularitas pemerintahan relatif stabil.
Tapi kini, SBY tentu saja tak lagi bisa mengandalkan podium, karena dia tak lagi didampingi wapres yang bisa bertindak cepat. Wapres yang mendampinginya kini berwatak sama dengan SBY, bahkan lebih parah: beretorika pun tak mahir. Kalau SBY mensikapi rekomendasi Tim 8 hanya dengan mengandalkan pidato berbunga-bunga, popularitas pemerintahan dan popularitas personalnya niscaya akan cepet anjlok.
Cara yang harus ia tempuh adalah bertindak cepat menentukan sikap dalam permasalahan yang sudah sangat berlarut-larut ini. Jika ia harus ambil jurus menggunting dalam menguraikan benang kusut ini, SBY sebaiknya lakukan. Ia bisa mulai, misalnya, dengan memotong ranting-ranting kering: turunkan pejabat yang menghambat komitmen pemberantasan korupsi, dan ganti dengan orang yang loyal pada semangat tersebut. Sanggupkah SBY dalam kesendiriannya kini?
————–
Catatan: gambar diambil dari http://mejakotak.files.wordpress.com/2008/02/sby.jpg