Categories
Politik

Mentari Kembar

Negeri ini memang jago menyajikan berita politik yang intriknya menegangkan seperti sinetron dan opera sabun. Pun, logika ‘jeda iklan’ diterapkan sangat ciamik seperti biasanya di stasiun-stasiun TV besar yang banyak dimiliki politisi-pengusaha penting negeri ini. Nyaris bersamaan dengan berita tentang Sri Mulyani Indrawati yang ditendang keluar secara elegan dengan jabatan di World Bank, publik diberi hidangan berita tentang diangkatnya Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian Sekretariat Bersama  Koalisi. Saat publik masih tertegun dengan langkah politik yang oleh sejumlah orang dituding sebagai praktek penyimpangan presidensialisme itu, tiba-tiba muncul berita yang cukup mengalihkan perhatian: sejumlah teroris di berbagai titik ditangkap oleh Densus 88.

Di tengah pemberitaan yang tetap mengundang minat tentang konflik di tubuh Polri, marilah kita tetap tak lupa bahwa pengangkatan Ical sebagai Ketua Harian Sekber Koalisi ini bukanlah sebuah langkah politik biasa-biasa saja. Kejadian ini memiliki kontroversi faktual dan akademik yang cukup besar.

Secara faktual, posisi Ketua Harian ini lumrah jika mengundang kontroversi. Penunjukan Ical pada posisi penting ini menunjukkan adanya deal politik yang sulit disangkal kaitannya dengan ‘pembuangan’ SMI. Reaksi pihak lain dalam koalisi pendukung SBY kian menunjukkan bahwa penunjukan itu adalah buah dari kesepakatan politik terbatas yang tidak melibatkan seluruh elemen koalisi. PKS sejak dini sudah pasang sungut: jabatan Ketua Harian Sekber Koalisi itu harus digilir di antara parpol peserta koalisi.

Hadirnya jabatan baru yang rada nyleneh ini tak ayal memberi gambaran yang kian tegas bagi publik bahwa koalisi pendukung SBY ini bukanlah koalisi yang mudah dikendalikan oleh sang Presiden. Lagi-lagi kita melihat bukti bahwa kelompok pendukung SBY ini adalah sebuah koalisi polisentris — koalisi dengan lebih dari satu sentra kekuasaan, dan tiap sentra akan terus meminta peran lebih. Kita patut kuatir bahwa SBY dalam masa jabatan kedua ini akan kian sibuk dengan urusan meladeni tuntutan dari dalam koalisi polisentris-nya sendiri.

Sebagai seorang Presiden dengan mandat langsung dari rakyat, SBY secara teoritik seyogyanya bisa jauh lebih otonom terhadap konstelasi politik parlemen dibandingkan saat ini. Akan tetapi justru di titik inilah kita bisa menandai sejumlah debat akademik tentang sistem pemerintahan, dan Indonesia secara sangat menarik telah menyajikan salah satu ilustrasi terbaik untuk itu.

Salah satu perdebatan di antara para ilmuwan politik adalah tentang mana yang lebih baik bagi stabilitas demokrasi: pemerintahan presidensiil ataukah pemerintahan parlementer? pemerintahan dengan mandat terpisah untuk eksekutif dan legislatif, ataukah pemerintahan dengan mandat tungggal untuk parlemen yang selanjutnya akan membentuk eksekutif? Kebanyakan ilmuwan menjawab bahwa sistem parlementer jauh lebih berpeluang untuk menguatkan demokrasi, sebab sistem presidensiil memiliki sejumlah kelemahan-kelemahan intrinsik, termasuk kekakuan dalam masa jabatan (Linz, 1994; Mainwaring, 1993; Mainwaring and Shugart, 1993). Bahkan Mainwaring (1993) secara tegas mengingatkan bahwa presidensialisme sulit bersanding dengan sistem multipartai. Hanya pemerintahan presidensiil dengan sistem dua atau tiga partai efektiflah yang sanggup memikul beban demokrasi, seperti ditunjukkan oleh preforma negara Amerika Serikat.

Ilmuwan lain seperti Cheibub (2007) menolak tudingan bahwa sistem presidensiil tak sekondusif sistem parlementer bagi demokrasi. Kendati mengakui kenyataan bahwa usia harapan hidup demokrasi dengan sistem parlementer jauh lebih panjang daripada demokrasi dengan sistem presidensiil, Chebub mengingatkan bahwa penyebabnya bukan terletak di dalam sistem presidensiil itu sendiri. Cheibub menegaskan bahwa sejumlah sistem presidensiil dibangun di negara yang memiliki sejarah kediktatoran militer. Penyebab lemahnya demokrasi di negara-negara itu adalah kediktatoran militer tersebut, bukan presidensialisme.

Dua kubu berseberangan tentang kaitan antara presidensialisme dan demokrasi ini pada dasarnya juga berseberangan pendapat tentang pemerintahan koalisi dan presidensialisme. Dalam pemahaman sejumlah ilmuwan politik, koalisi adalah mekanisme yang tak dibutuhkan dalam sistem presidensial. Koalisi adalah mekanisme yang lebih mungkin berjalan dalam sistem parlementer. Jika koalisi ada dalam sistem presidensiil, maka terdapat dua penilaian yang berbeda dari para ilmuwan. Penilaian pertama, yang sejalan dengan gagasan tentang kelemahan intrinsik dalam sistem presidensiil di atas, menganggap bahwa koalisi adalah kelemahan bagi sistem presidensiil. Koalisi akan menyebabkan sebuah pemerintahan presidensial rapuh. Pendapat ini mengatakan bahwa kalaupun ada koalisi dalam sistem presidensiil, maka koalisi itu tak akan cukup berhasil memberi dukungan pada presiden. Mandat yang terpisah yang dimiliki presiden meletakkannya pada ruang kontestasi politik yang (seharusnya) terpisah dari ruang kontestasi politik parpol.

Tapi cara pandang lain mengatakan pada kita bahwa koalisi adalah mekanisme yang wajar saja dalam presidensialisme. Cheibub (2007) mengatakan bahwa secara empirik, koalisi ditemukan dalam pemerintahan presidensial, sepadan dengan yang ditemukan dalam pemerintahan parlementer. Tentu saja sulit dibantah bahwa ketika presidensialisme berada di ruang-waktu yang sama dengan sistem multi partai, biasanya kebutuhan akan pemerintahan koalisi menjadi sangat tinggi. Dalam sistem presidensial dengan multi partai, koalisi dibentuk untuk memudahkan jaminan dukungan parlemen terhadap kebijakan yang digariskan pimpinan eksekutif. Hanya dengan cara itulah seorang presiden bisa menjamin efektifitas pengambilan keputusan dalam pemerintahannya.

Namun demikian, terlepas dari perdebatan tentang layak atau tidaknya pemerintahan koalisi dalam sebuah sistem presidensiil, satu hal yang sangat jelas adalah: tak seorang ilmuwan pun yang mengatakan bahwa sebuah pemerintahan dan sistem demokratik akan sanggup berjalan efektif dalam praktek koalisi dengan banyak sentra kekuasaan. Suatu pemerintahan koalisi seyogyanya tetap monosentris untuk menjamin pemerintahan yang efektif. Sebuah pemerintahan koalisi polisentris bisa sangat berbahaya bagi efektifitas pemerintahan, dan bagi proses demokrasi itu sendiri.

Oleh karena itu, kendati tak bisa menghindarkan diri dari ketergantungan terhadap koalisi, namun SBY seyogyanya tak membuka ruang negosiasi berlebihan. Jika ia menghendaki kebijakan yang lebih efektif, SBY tentu perlu memberikan konsesi politik tertentu bagi mitra koalisinya. Namun ia juga memastikan bahwa tak ada sentra kuasa lain dalam pemerintahannya. Sebuah koalisi polisentris adalah langit dengan lebih dari satu mentari. SBY pasti tak kan lupa pada nasehat politik Jawa: “ora ana srengenge kembar (tak ada mentari kembar)”.

(Liputan 6, 14 Mei 2010)

Picture is taken from: http://astronomy.swin.edu.au/sao/astronomynews/2007S1/TwinSuns.jpg