Categories
Politik Sosial

Korupsi: Haram atau Wajib?

Kalau bicara pada tataran normatif, tentu saja korupsi haram. Korupsi adalah perbuatan yang bisa menimbulkan ke-mudlarat-an sosial luar biasa. Ia adalah dosa sosial yang tak mudah terampuni. Kalau menurut kaidah agama, selama masih ada orang yang menderita karena perbuatan korupsi, selama itu pulalah dosa sang koruptor terus tumbuh. Korupsi adalah dosa yang tak bisa dihapus dengan istighfar.

Tapi dalam dunia politik, barangkali ada kala dimana korupsi sudah tak terasa haram lagi, dan alih-alih malah menjadi suatu kewajiban. Kadang dalam dunia politik, korupsi menjadi aksesori yang tak terhindarkan.

***

Suatu ketika, seorang multiplier, Imam Isnaini, memposting sebuah kisah menarik tentang kejujuran beberapa orang korban lumpur di Sidoarjo. Berikut ini saya kutip cerita lengkapnya:

Tadi pagi saya kagum sekaligus terharu pada warga korban lumpur di Sidoarjo karena bersedia mengembalikan kelebihan pembayaran ganti rugi lahan miliknya. Di saat-saat yang sulit ternyata mereka masih mempunyai hati nurani, tidak menggunakan yang bukan hak mereka.

Saya mencoba mencari-cari berita tentang pengembalian ini. Ternyata, sebelumnya sudah ada beberapa warga yang melakukan hal serupa. Salah satunya adalah Waras, warga Desa Siring. Uang yang dikembalikan terbilang besar Rp 429,4 juta.

Setelah Waras kemudian menyusul Lestari dan Yayuk, keduanya warga Perum TAS. Lestari mengembalikan Rp 32 juta, sedangkan Yayuk sebesar Rp 25,2 juta.

Sikap yang ditunjukkan korban lumpur Sidoarjo seolah membuktikan gurauan yang sering saya dengar, sebenarnya korupsi itu dilakukan bukan oleh orang-orang yang kekurangan, tetapi oleh orang-orang yang bergelimang harta.

Imam benar, bahwa korupsi adalah tindak pencurian yang hanya mungkin dilakukan oleh orang yang kaya dan punya kuasa. Korupsi tak mungkin dilakukan oleh mereka yang miskin dan tak punya kuasa. Orang miskin hanya bisa mencopet, merampok, dan semacamnya. Korupsi? Noway! Kita perlu modal bernama kuasa untuk bisa korupsi.

Untuk bisa melakukan korupsi, kita harus memiliki akses terhadap alokasi keuangan secara otoritatif. Akses terhadap alokasi keuangan ini bisa bersifat langsung (dalam arti kita memegang pengelolaan keuangan) bisa pula bersifat tak langsung (dalam arti kita mengendalikan proses kebijakan atau politik yang memiliki implikasi keuangan). Tentu kita pernah mendengar ucapan seorang sejarawan Inggris di awal abad ke-20, Lord Acton, bahwa “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely“. Ucapan ini secara tepat menggambarkan watak kekuasaan yang cederung untuk ‘rusak’ atau ‘merusak’ (yakni makna asli kata ‘corrupt‘ yang merupakan akar kata corruption atau korupsi itu). Dalam sebuah struktur kekuasaan yang tidak imbang dan tak ada pengawasan efektif, korupsi hampir bisa dipastikan terjadi.

Yang perlu dicatat, korupsi nyaris tak ada hubungannya dengan moral individual. Artinya kita bisa saja sebenarnya orang baik secara individual, namun jika kita masuk dalam sebuah struktur kuasa, maka kita sangat rentan terhadap sedotan arus-putar korupsi.

Politik, pada intinya, adalah sebuah bisnis berbiaya tinggi. Kita pasti pernah dengar bahwa biaya untuk pencalonan seseorang menjadi bupati atau gubernur bisa sampai trilyunan rupiah. Mungkinkan seorang kandidat memiliki uang pribadi untuk membiayai semua itu? Tentu tidak. Yang mereka lakukan biasanya mengumpulkan dana dari berbagai pihak, yang nantinya akan dikembalikan jika si kandidat terpilih sebagai pejabat politik. Pengembaliannya tak harus berupa uang tunai; kebanyakan justru berupa kebijakan dan alokasi anggaran yang akan menguntungkan si pemberi biaya politik saat pencalonan. Ini adalah salah satu bentuk korupsi.

Kalau anda punya bapak/ibu, atau kakak, atau suami/istri yang politisi atau pejabat (atau barangkali anda sendiri seorang politisi atau pejabat?), cobalah anda tanyakan apakah mereka pernah terlibat atau minimal pernah melihat tindak korupsi. Kalau mereka jujur, saya yakin jawaban mereka adalah: pernah; minimal pernah melihat, tapi tak bisa berbuat terlalu banyak.

Dalam praktek korupsi, biasanya sangat banyak pihak dan kepentingan yang dilibatkan. Karenanya urusan penanganan korupsi bukanlah barang mudah. Jangan heran kita jika ada kasus korupsi yang jumlahnya sangat fantastik namun hukum tak berdaya menyentuhnya.

Modus operandi seorang koruptor tulen adalah: kita ambil uang 100, kita pakai sendiri 10, lalu kita bagi-bagikan lagi yang 90 kepada banyak pihak dalam struktur kuasa dimana kita berada. Semakin banyak jejalur koneksi yang bisa kita buat dengan yang 90 itu, semakin amanlah kita. Hanya koruptor kacangan yang akan mencuri 10 dan memakan semua hasil curiannya sendiri.

Kalau ada pejabat politik yang terjaring oleh proses hukum karena tindak pindana korupsi, dan angka korupsinya tersimak ‘janggal’ dan ‘tanggung’, kita patut menduga bahwa pejabat politik itu tak cukup menerapkan metode curi-dan-bagi seperti di atas. Atau kemungkinan lain, pejabat dimaksud sedang akan disingkirkan dari posisi dan karier politiknya. Jerat tuduhan korupsi adalah cara paling mudah untuk menyingkirkan saingan politik. Dengan kata lain, seorang pejabat atau politisi yang terkena jaring anti korupsi kemungkinan besar sudah tak lagi memiliki cantolan politik kuat akibat ia tak bisa merawatnya dengan baik. Selama ia masih memiliki cantolan politik kuat, tuduhan korupsi biasanya mudah ditepis.

Dengan logika yang sama, bisa pula dikatakan bahwa seringkali korupsi adalah kunci terhadap kemampuan kita untuk bertahan secara politik atau bertahan dalam jabatan dan pekerjaan yang dipunyai. Jika kita berada dalam sebuah sistem yang korup, jangankan melawan, kadangkala jika tak ikut berlaku korup kita akan tersingkir dengan segera. Karena itu, menindak koruptor tanpa membongkar keseluruhan sistem yang korup itu adalah sia-sia.

Saya pernah melakukan penelitian tentang aparat keamanan di sebuah kota di Jawa Timur. Di sana, sudah bukan rahasia lagi bahwa kepolisian membekingi peredaran narkoba dan perjudian gelap. Para penjudi dan pengedar narkoba memberikan setoran secara rutin (=’berkoordinasi’ kata mereka) dengan petugas kepolisian mulai tingkat polsek hingga polwil. Setiap polisi yang bertugas di kota ini tahu betul bahwa mereka harus terkoneksi dengan sistem korup seperti itu. Melawan? Tak seorangpun berani. Jangankan melawan, jika kita anggota kepolisian di sana dan mencoba mengisolasi diri dari praktek korup itu, tak lama kemudian kita pasti akan dimutasi ke tempat lain. Istilah seorang polisi di sana, “di-P***t*n-kan” (merujuk pada nama sebuah kota kecil tak jauh dari kota yang saya maksud ini; artinya kita akan dibuang ke kota kecil itu).

Dalam hal ini, korupsi sudah menjadi kewajiban. Kalau anda seorang politisi atau pejabat pemerintah, anda akan paham apa yang saya maksud. Kalau anda bukan politisi atau pejabat, anda akan paham bahwa inilah akar ungkapan ‘politik itu kotor’.

Tapi benarkah bahwa politik itu kotor? Kita akan diskusikan di tulisan lainnya nanti.