Gayus HP Tambunan. Itulah nama yang kini menjadi buah bibir, terutama sejak erupsi Merapi dan kunjungan Obama tak lagi teramat sexy di media. Anak muda 30an tahun, PNS bergolongan biasa-biasa saja ini membetot perhatian kita habis-habisan. Uang ratusan milyar rupiah, melenggang-kangkung ke Bali saat ia seharusnya mendekam di penjara Brimob, adalah tamparan yang diberikannya ke wajah publik kita.
Dan kita geram. Saya pun tak tahan memendam gemas tiap kali membaca berita tentang pokal orang ini. Jujur, beberapa kali rasanya saya sangat ingin secara personal ‘mengeksekusi’ Gayus. Pikiran yang gawat, bukan?
Tapi setelah semua geram itu mengendap, setelah kepala kembali dingin, tidakkah kita sebenarnya malu? Kasus Gayus ini bukanlah persoalan baru. Kita tak seharusnya terkejut akan hal itu. Gayus mungkin cuma melakukan apa yang banyak orang akan lakukan secara terpaksa atau sukarela. Kita juga, mungkin pernah dan akan lakukan itu. Bedanya, ulah Gayus melibatkan angka rupiah yang bagi kebanyakan kita sangat fantastis. Itu saja.
Siapapun tahu, sistem hukum, fiskal dan birokrasi kita masih sangat transaksional. Dalam sistem itu terdapat metode pengelolaan yang disjointed antara satu hal dengan hal lain yang (seharusnya) merupakan sub-sub sistem dari sistem besar. Di sana terdapat pola rekrutmen jabatan yang ‘berbayar’. Faktor-faktor ini membuat siapapun berpeluang untuk, dan mungkin telah, berperilaku ala Gayus dengan lingkup beragam. Faktor itu pula yang membuat setiap pejabat kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan (juga lembaga-lembaga lain) berpeluang atau bahkan harus berperilaku seperti Kompol Iwan Siswanto, Karutan Brimob yang menerima uang suap ratusan juta rupiah dari Gayus.
Mari kita lihat faktor-faktor itu sekilas.
Pertama, sistem hukum, fiskal dan birokrasi kita memiliki banyak aspek yang disjointed, tak terkoneksi satu sama lain. Misalnya, sistem penggajian pegawai di negeri ini tak terkoneksi secara penuh ke dalam sistem perpajakan. Sistem pengelolaan serta pengawasan keuangan lembaga dan dan perusahaan juga tak terkoneksi ke dalam sistem perpajakan. Akibatnya, penghitungan pajak cenderung dilakukan terpisah, tak terkait dengan hal-hal lain.
Bandingkan dengan di negara maju seperti Australia. Di sana, sistem penggajian orang terkoneksi langsung dengan sistem pajak melalui TFN (Tax File Number). Sistem keuangan perusahaan juga terkoneksi ke sistem pajak melalui ABN (Australian Business Number). Australian Taxation Office (ATO), karenanya, tak harus menghitung pajak setiap orang atau perusahaan secara terpisah.
Di Indonesia, diskoneksi sistem pajak dari sistem lain-lainnya inilah yang menyebabkan pajak harus dihitung terpisah, tak terkait dengan apapun. Di sini penyimpangan seperti yang ditunjukkan dalam kongkalikong antara Gayus dan perusahaan milik Aburizal Bakrie bisa terjadi. Tak ada mekanisme apapun yang bisa mencegah (minimal mengawasi) terjadinya penyimpangan penghitungan pajak seperti itu. Kerjasama mutualistik-transaksional yang memberi Gayus guyuran uang puluhan milyar sekali transaksi, sangat dimungkinkan terjadi. Ada seribu peluang, ada seribu Gayus.
Kedua, pola rekrutmen jabatan birokrasi (baik sipil maupun militer) kita adalah berbayar. Banyak sekali jabatan birokrasi yang sangat mirip dengan kesertaan di sebuah club: ada joining fee dan ada regular fee. Artinya, untuk menduduki sebuah jabatan, seseorang mesti membayar sejumlah tertentu. Semakin strategis dan basah sebuah jabatan, semakin mahal harganya. Pun, saat seseorang itu sudah berada dalam jabatan tersebut, ia harus secara berkala memberikan ‘setoran’ pada atasannya. Darimana uang setoran itu berasal? Tentu saja dari ‘basahan’ yang ia dapat di jabatan itu.
Saat media massa meributkan munculnya sosok mirip Gayus di Bali, dan pengakuan Kompol Iwan (via pengacaranya) bahwa ia menerima suap ratusan juta dari Gayus, saya segera menghubungi seorang teman yang perwira menengah Polri. Darinya saya mendapatkan konfirmasi cerita yang sudah cukup sering didengar publik. Di Kepolisian, seorang anggota harus mengeluarkan biaya tertentu untuk dapat menduduki jabatan. Jika jabatan itu sangat basah, maka tarifnya juga tinggi. Urusan good-cop dan bad-cop seringkali tak ada hubungannya dengan kelancaran karier seorang perwira, sebab karier mereka lebih ditentukan oleh kemampuan untuk memenuhi kewajiban setoran rutin pada atasan.
Jabatan Karutan Brimob sangat boleh jadi adalah posisi yang bertarif tinggi. Demikian pula setoran rutin yang diharapkan dari sana, pastilah cukup tinggi. Maka siapapun yang ada di sana akan selalu didorong oleh prosedur setoran itu, dan menjadikan tahanan di rutan itu sebagai tambang uang. Iwan dan Gayus ‘kebetulan’ saja tengah berada dalam pola hubungan yang semacam ini. Di dalam prosedur itu, ‘kesalahan’ mereka satu-satunya adalah mereka terekspose pada publik. Namun Iwan secara prosedural telah mencoba berlaku ‘benar’: lewat pengacaranya ia menekankan bahwa uang yang diterima dari Gayus digunakannya semata-mata untuk kebutuhan pengobatan sang istri. Tak sepeserpun, begitu pengakuannya, yang ia setorkan pada petinggi Polri. Good boy. The boss will love your good behaviour.
Apa arti itu semua? Artinya sesiapapun yang berada dalam posisi Iwan dan Gayus kemungkinan sangat besar akan melakukan hal yang sama. Ini serupa dengan banyak orang (mungkin kita sendiri?) yang lebih memilih membayar denda damai pada polisi ketimbang mengikuti prosedur tilang yang berbelit, saat kita tertangkap berkendara tanpa SIM misalnya.
Hukum terhadap keduanya tentu saja harus ditegakkan, namun menindak kedua pelaku bukanlah obat paling mujarab bagi persoalan ini. Menghukum keduanya, seberat-beratnya, memang akan memberi efek jera, sekaligus rasa puas bagi kegeraman publik. Namun jika tindakan yang diambil cuma berhenti disana (plus pembenahan terbatas dalam pengelolaan Rutan Brimob), maka kita boleh berharap bahwa dalam beberapa waktu ke depan kita akan memperoleh kejutan serupa, lagi dan lagi…
Biar tidak bertele-tele, marilah saya tegaskan jalan berpikir saya: yang diperlukan negeri ini adalah upaya perubahan mendasar, agar sistem hukum dan birokrasi kita tak lagi transaksional. Perombakan watak transaksional ini memerlukan kemauan sungguh-sungguh dari semua kalangan, tentu saja dengan komando yang tegas dari pimpinan nasional (bagaimana, Pak Beye?). Jika watak transaksional ini tak dirombak, maka negeri ini akan sanggup menampilkan lakon Iwan-Gayus tanpa pernah henti. Stok kita banyak. Percayalah…