Salah satu hal yang bagi saya paling menyenangkan adalah ketika menerima email dari teman di jurusan atau fakultas, atau mantan mahasiswa saya, yang mengabarkan mereka akan melanjutkan studi pascasarjana, atau meminta saya menulis surat rekomendasi untuk aplikasi studi pascasarjana ke luar negeri. Dunia yang saya kenali sejauh ini ‘hanyalah’ dunia sekolahan dan penelitian, dan kabar semacam itu rasanya seperti segelas air putih yang saya minum setelah seharian berpuasa. Segar dan mak nyusss…
Itu sebabnya, setiap kali ada email terkait dengan rencana teman atau mantan mahasiswa saya untuk studi lanjut, saya segera luangkan waktu untuk membaca dan membalasnya. Jika email itu berisi permintaan surat rekomendasi dari mantan mahasiswa, saya segera kumpulkan informasi tentang yang bersangkutan, dan segera mulai menulis surat dimaksud. Jika email itu berisi permintaan saran tentang kiat untuk mengajukan aplikasi beasiswa, atau kiat untuk mengikuti wawancara jika sudah ada panggilan untuk seleksi lebih lanjut, saya segera tulis email jawaban berisi saran-saran sesuai dengan apa yang saya alami selama mencari dan mengikuti seleksi beasiswa.
Tentang cara untuk mencari beasiswa, tak banyak yang perlu disampaikan. Kalau saya lihat, akses terhadap informasi peluang beasiswa beberapa tahun belakangan ini jauh lebih banyak ketimbang akhir tahun 1990-an ketika pertama kali saya berupaya mencari beasiswa. Dulu saya sangat tergantung kepada informasi cetak, baik surat kabar, majalah, maupun leaflet yang dikirim ke jurusan saya. Pilihan-pilihan beasiswa seringkali juga terbatas.
Seiring dengan meluasnya penggunaan internet, informasi beasiswa ini bisa diperoleh secara sangat mudah dalam tempo yang sangat cepat. Informasi beasiswa itu kini benar-benar real-time: detik ini dipublikasikan di internet, detik itu juga informasi itu menyebar ke seluruh dunia. Pencari beasiswa kini bisa memperoleh informasi apapun yang mereka butuhkan. Mesin pencari google adalah sarana yang paling mudah digunakan untuk itu. Selain itu weblog pribadi banyak juga yang menyediakan kompilasi informasi beasiswa yang sangat handy. Saya kira ini adalah salah satu efek positif dari komersialisasi blog dengan iklan-iklan seperti adsense atau adbrite, yang memaksa si pemiliki untuk memastikan agar banyak orang berkunjung ke blognya dan meng-klik iklan yang ada di situ. Dalam iklim weblog komersial seperti itu, klik adalah uang, dan info beasiswa adalah salah satu umpan paling mujarab untuk mendatangkan pengunjung. 🙂
Karena info beasiswa sudah jauh lebih mudah didapat kini, saya lebih cenderung memberikan saran tentang proses seleksinya. Kepada mereka saya biasanya sampaikan beberapa saran pokok. Terkait dengan aplikasi beasiswa, saya selalu sampaikan bahwa formulir aplikasi anda adalah satu-satunya media bagi pihak penyedia beasiswa untuk mengetahui siapa anda (kecuali, tentu saja, jika anda adalah publik figur yang sudah sangat dikenal). Oleh karenanya, formulir itu harus bisa menjadi sarana untuk meyakinkan pihak yang melakukan seleksi awal bahwa anda adalah orang yang sungguh-sungguh memenuhi kualifikasi yang dikehendaki.
Yang paling penting untuk ditekankan dalam aplikasi beasiswa itu adalah catatan akademis yang pernah anda capai, dan rencana pengembangan diri secara akademik serta profesional di masa depan. List publikasi adalah lampiran yang sangat penting untuk disertakan dalam aplikasi beasiswa itu, beserta rencana penelitian (jika aplikasi itu terkait dengan research study), dan komunikasi dengan calon supervisor/profesor di lembaga pendidikan yang akan dituju. Yang paling penting untuk dilampirkan dalam aplikasi itu adalah CV yang meyakinkan. Dalam hal ini, saran saya kepada teman-teman selalu: be assertive.
Saran serupa juga berguna jika aplikasi itu lolos, dan anda dipanggil untuk mengikuti wawancara. Be assertive! Sikap merendah (apalagi berlebihan) mungkin berguna di hadapan calon mertua 🙂 tapi bukan di hadapan tim pewawancara. Namun juga jangan kelihatan terlalu pede. Assertive adalah sikap yakin diri secara tepat dan proporsional. Tunjukkan bahwa anda tahu betul apa yang anda ketahui.
Para pewawancara biasanya adalah tim gabungan yang memiliki beragam latar belakang bidang ilmu. Jika salah seorang atau beberapa dari anggota tim itu memiliki latar belakang bidang ilmu yang sama dengan anda, tunjukkan bahwa anda menguasai asumsi-asumsi pokok dalam bidang ilmu tersebut, dan bahwa anda memiliki spesialisasi tertentu yang bisa memberikan kontribusi keilmuan jika dikembangkan lebih jauh dengan studi pascasarjana. Jika anggota tim itu tak seorangpun yang memiliki latar belakang bidang ilmu seperti yang anda punya, beri mereka ‘panduan’ untuk menilai seberapa jauh anda menguasai bidang ilmu tersebut.
Yang terpenting, semua itu harus genuine dan tidak dibuat-buat. Tak perlu anda berlagak tahu tentang sesuatu yang sebenarnya anda tidak tahu. Jika ini dilakukan, anda bisa terlihat sangat ‘belepotan’ saat wawancara, dan akibatnya bisa fatal.
Jika tahap-tahap seleksi ini sudah terlampaui, dan beasiswa yang diincar bisa didapat, sering saya sampaikan juga kepada teman-teman bahwa studi pascasarjana di luar negeri memerlukan kesungguhan yang sangat besar. Dalam hal ini, saya tak berbicara terutama tentang kesungguhan belajar. Saya percaya siapapun yang lolos seleksi beasiswa adalah mereka yang memang senantiasa sungguh-sungguh belajar. Yang saya maksudkan di sini adalah kesungguhan psikologis, dan kemampuan untuk menetapkan prioritas.
Bagi yang sudah bekerja (sebagian besar yang berangkat studi dengan beasiswa adalah mereka yang sudah bekerja), kembali menjadi mahasiswa artinya kembali ke jaman melarat. 🙂 Kembali mengikuti pendidikan berarti terpotongnya akses finansial. Jika selama bekerja anda bisa memperoleh penghasilan berkala yang cukup besar, maka dengan dana beasiswa anda harus siap untuk hidup dengan penghasilan yang lebih terbatas. Memang bisa saja kita kuliah sambil melakukan kerja sambilan. Namun jika tidak hati-hati, pekerjaan sambilan itu bisa menyita waktu yang seharusnya dialokasikan untuk belajar. Jika alokasi waktu untuk belajar ini terganggu, studi bisa gagal, atau kalaupun tidak gagal, hasilnya bisa tidak optimal.
Selain resiko kehilangan (sebagian) akses finansial, barangkali perlu juga anda persiapkan kemungkinan resiko lain seperti yang baru saja saya alami, yakni terkena backpain dan neckpain yang lumayan mengganggu.
Keluhan ini mulai saya rasakan beberapa minggu lalu. Setiap bangun tidur saya merasakan pegal di leher, yang terkadang terasa di kepala saya. Rasa ini akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa menit setelah saya bangun. Lama kelamaan rasa pegal itu mulai terasa pula di pundak dan punggung atas. Kadang rasanya begitu berat. Karena itu saya pergi ke dokter untuk mengkonsultasikan keluhan itu.
Saya diperiksa secara menyeluruh oleh dokter. Ia juga menanyakan berapa hal, termasuk berapa jam saya tidur dalam sehari, berapa jam duduk dalam sehari, apa saja yang terutama dikerjakan, merokok apa tidak, dst. Saya jelaskan bahwa saya tidur kira-kira 6-7 jam semalam, dan bahwa sehari-hari saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan laptop saya untuk mengerjakan thesis PhD, dan bahwa saya tidak merokok.
Dokter lalu mengatakan bahwa nampaknya otot leher dan punggung atas saya mengalami ketegangan akibat duduk dalam posisi yang tidak ergonomis. Ia menjelaskan bahwa bekerja di depan kompuer (apalagi laptop) sebenarnya memaksa kita untuk duduk dalam posisi salah. Karena itu jika sedang bekerja di depan komputer, paling tidak setiap satu jam kita harus berhenti sejenak, melakukan peregangan dan merilekskan otot-otot leher, pundak dan lengan, dan juga mata. Untuk mengatasi ketegangan otot punggung, leher dan pundak yang saya alami itu, kata dokter saya memerlukan fisioterapi.
Jadi, jika nanti ada teman atau mantan mahasiswa saya yang meminta saran tentang rencana mereka untuk melanjutkan studi pascasarjana, mungkin saya akan beri saran tambahan: jangan lama-lama bekerja di depan komputer. 🙂