Categories
Politik

Bercerai Kita Runtuh

Sungguh terbayang betapa lelahnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat saya mulai menulis artikel ini, dia sedang “diserang” oleh sebuah berita di harian The Age, Australia. Mengutip WikiLeaks, harian yang terbit di Melbourne, negara bagian Victoria, ini mengatakan bahwa SBY dan sejumlah tokoh penting lain (termasuk ibu negara Ani Yudhoyono) telah melakukan serangkaian penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.

Padahal sepanjang beberapa minggu sebelumnya, ia jelas dibikin puyeng oleh kebut-kebutan politik di Senayan yang menyebabkan bangunan pemerintahan koalisi-nya gaduh dan setengah berantakan. Lalu berembus spekulasi politik tentang kemungkinan reshuffle kabinet. Gerindra dan PDIP bersiap untuk menerima sampur, dan seluruh menteri PKS diisukan harus berkemas untuk meninggalkan kabinet.

sumber: vivanews.com

Namun kini semuanya menjadi jelas: tak ada reshuffle; tak ada menteri yang harus pergi; tak ada pula peserta baru dalam kabinet SBY.

Bagaimana kita memahami ini semua? Semuanya kini kian jelas: SBY tetap membutuhkan semua parpol yang kini berjejalan dalam kabinet koalisinya. Di saat yang sama, parpol-parpol itu juga membutuhkan SBY, sebab hanya dengan mencantolkan diri padanya mereka bisa turut ambil bagian dalam distribusi kekuasaan efektif.

***

Sejak awal, saya termasuk yang tak yakin bahwa SBY akan melakukan reshuffle, apalagi reshuffle penuh. Jika terkait dengan evaluasi kinerja menteri secara perseorangan, bisa saja SBY melakukan reshuffle terbatas, yakni mengganti menteri tersebut dengan orang lain dari parpol yang sama. Namun reshuffle penuh dengan menggeser seluruh menteri dari parpol tertentu untuk digantikan oleh orang dari parpol(-parpol) lain, pastilah terlalu berisiko bagi SBY.

Sang Presiden masih membutuhkan seluruh parpol koalisi itu, untuk memastikan pemerintahannya tetap efektif hingga berakhir. Kendati sejak 2004 Presiden RI dipilih langsung oleh rakyat, namun sistem ketata-negaraan kita (baik yang tertulis maupun yang dijalankan secara faktual) masih menyisakan ruang mekanisme yang sangat parlementer.

Di atas kertas, dengan mandat langsung dari rakyat, Presiden RI bisa membangun kabinetnya secara independen tanpa memperhitungkan komposisi politik di DPR. Tapi praktiknya, Presiden RI masih sangat bergantung pada DPR yang mengembangkan kekuasaan kontrol yang jauh melampaui mekanisme yang diperkenankan dalam sistem presidensiil.

Tata hubungan kelembagaan dalam UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, misalnya, jelas sekali menujukkan karakter pemerintahan yang sangat parlementer. DPR bahkan memiliki peluang untuk turut campur dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Dalam sistem ini, konstelasi politik di DPR adalah variabel penting terhadap politik di ranah eksekutif. Kapabilitas Presiden RI untuk beradaptasi dengan konstelasi politik di DPR itu akan sangat menentukan kemampuannya untuk melaksanakan amanat pemerintahan secara efektif.

sumber: msn.com

Itulah sebabnya, ia pasti tak ingin main-main dengan parpol yang memperoleh kursi di DPR. Sejak semula ia amat membutuhkan sebuah kabinet koalisi, meski ia menang mutlak dalam pilpres. Tanpa dukungan parpol-parpol dalam koalisi ini, ia akan menghadapi rongrongan tiada henti dari DPR. Siapapun presiden yang sedang menjabat, dia harus berdamai dengan kenyataan ini.

***

Sebaliknya, tak ada satu pun parpol dalam gerbong koalisi SBY yang betul-betul punya nyali untuk bersifat tak-kompromis di hadapan sang presiden. Tak satupun parpol di Indonesia saat ini yang punya kemampuan untuk berdiri sendiri dan mengembangkan kekuatan efektif. Semuanya perlu berada dalam sebuah kompromi dan koalisi politik. Bahkan Gerindra yang tak turut dalam koalisi, serta PDIP yang secara salah kaprah menyebut diri sebagai “oposisi”, tak luput dari kecenderungan ini. Mereka tampak ngiler juga ketika berhadapan dengan kemungkinan masuk ke dalam kabinet andai SBY jadi melakukan reshuffle.

Hasil pemilu legislatif tahun 2009 menunjukkan bahwa panggung politik Indonesia adalah kerumunan partai dengan suara yang serba terbatas. PD yang berada di peringkat pertama memperoleh tak sampai 21% suara. Di bawahnya ada Golkar dan PDIP yang sepadan dengan sekitar 14% suara. Parpol-parpol berikutnya memperoleh suara di bawah 10% atau malah di bawah 5%.

Parpol-parpol itu tak mampu membuktikan kekuatan diri dalam kontestasi formal pemilu. Mekanisme alamiah dalam sistem multi partai (apalagi dalam sistem parlementer) cenderung akan membawa partai-partai kecil untuk merapat ke partai besar. Di saat yang sama, partai terbesar kedua cenderung akan memilih posisi berseberangan, yang dalam sistem parlementer akan memberinya fungsi oposisi. Penting diingat, parpol-parpol itu memiliki sebaran ideologi dan program yang tak cukup jelas. Bagi partai-partai kecil seperti ini, berdiri “sendirian” di parlemen tanpa identitas politik tambahan yang terkait dengan sebuah partai besar adalah pilihan melelahkan.

***

Kalaupun dalam beberapa minggu ini kita melihat Golkar dan PKS tampak “menantang” PD dan SBY, kita mungkin perlu membacanya sekadar sebagai “kerewelan” kecil. Golkar dan PKS merasa bahwa pembagian peran dalam koalisi tak lagi cukup adil. Mereka lalu mendorong SBY untuk melakukan pembahasan ulang terhadap kesepakatan koalisi. Isu perpajakan memberi amunisi bagi Golkar dan PKS untuk mendesakkan kesepakatan baru itu. Namun jelas-jelas mereka tak ada niat untuk bercerasi dari koalisi.

Bagi SBY dan PD — juga bagi Golkar, PKS, PAN dan PKB — tetap dalam koalisi dan membahas ulang kesepakatan antara mereka, adalah pilihan paling rasional saat ini. Meski ada cekcok, tak mungkin mereka bercerai. Buat mereka, pepatah “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” itu berlaku. Publik tak usah lagi terkecoh oleh sandiwara mereka.

[Liputan6, 12/3/2011]