Lagi-lagi soal reshuffle kabinet. Pembaca yang berbahagia, selama SBY menjadi Presiden Indonesia, berapa seringkah Anda mendengar isu reshuffle berhembus? Cukup sering bukan?
Rasanya baru kemarin sore kita mendengar kabar burung bahwa Presiden akan melakukan reshuffle kabinet untuk mengganti menteri yang tak cakap menjalankan tugas. Kabar itu ternyata tak terbukti kebenarannya. Kini kembali kita mendengar kabar serupa. Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) melansir penilaian bahwa lebih dari separuh kementerian tidak menjalankan instruksi presiden. Penilaian ini tak ayal segera mengundang munculnya kabar burung bahwa Presiden akan melakukan reshuffle untuk mengganti menteri yang tak menjalankan instruksi presiden itu.
Tak salah kalau banyak menteri yang merasa gerah, dan media massa mulai “menggoreng” isu reshuffle ini dengan bumbu komentar para menteri dan pengamat. Jika ditanya apakah benar akan ada reshuffle, saya termasuk yang tak percaya bahwa hal itu akan benar-benar terjadi. Saya memandang bahwa kecil kemungkinan SBY akan berani melakukan reshuffle. SBY tak akan berani mengambil resiko peningkatan suhu politik jika dia melakukan reshuffle saat ini, justru ketika Partai Demokrat sedang diterpa persoalan korupsi dan moralitas petinggi-petingginya.
Tapi saya mulai kian curiga bahwa meskipun dia tak akan benar-benar melakukannya, namun SBY setidaknya mengambil manfaat dari isu reshuffle ini. Saya bahkan tak ragu untuk mulai menduga: jangan-jangan SBY sendiri (minimal orang-orang terdekatnya dengan restu SBY sendiri) yang sebenarnya memunculkan dan/atau membesarkan isu reshuffle itu.
Mengapa saya menduga demikian? Ada setidaknya dua penjelasan. Pertama, penjelasan paling sederhana dan paling mudah dicerna adalah: SBY butuh pengalih perhatian publik. Ini tak sulit dijabarkan. Belakangan ini media massa gencar sekali memberitakan borok-borok persoalan di seputar SBY dan Partai Demokrat. Siapa yang tak terbelalak matanya melihat angka-angka fulus yang fantastis, yang mengapung di seputaran nama Muhammad Nazaruddin yang kini minggat entah ke mana? Siapa pula yang tak garuk-garuk kepala melihat di layar kaca betapa petinggi Partai Demokrat saling tuding dan gertak? Dan wajah cantik Andi Nurpatti itu, jelas lah amat mengejutkan bagi banyak orang karena di baliknya mungkin tersimpan dusta amat besar. Belakangan Ruhut Sitompul muncul dengan rumor skandal perkawinannya.
Meski semua persoalan itu masih harus betul-betul dibuktikan, namun jelas ini adalah masa sulit bagi Partai Demokrat dan sang Ketua Dewan Pembina. Mereka butuh sesuatu untuk diumpan pada media, agar perhatian orang bergeser. Isu reshuffle adalah yang paling mudah mengundang polemik dan komentar.
Kedua, dan ini yang lebih mendasar, SBY membutuhkan isu reshuffle sebagai cara untuk menakar kesetiaan menteri-menterinya, sekaligus mengingatkan mereka: “I’m the boss!”
Koalisi yang dipimpin SBY adalah koalisi yang saling membutuhkan, sekaligus saling membenci. Rasa benci dan saling butuh antar elemen koalisi ini seimbang. Energi sentrifugal dan energi sentripetal dalam koalisi ini sama kuatnya. SBY memang pemimpin koalisi ini. Sebagai Presiden RI, dia di atas kertas adalah satu-satunya kiblat kesetiaan para menteri. Tapi kenyataannya tidak demikian.
Hanya sedikit kementrian yang dipimpin oleh profesional non-partai. Dari yang sedikit itu, Kemdiknas, Kemen PU, dan Kemenlu adalah sebagian di antaranya. Sebagian besar adalah kementrian yang dijatah untuk para peserta koalisi, sebagai manifestasi semangat bagi-bagi kue politik. Para menteri dari parpol ini pada dasarnya tak memiliki kesetiaan pada SBY (kecuali mungkin menteri-menteri dari Partai Demokrat). Kesetiaan sebagian besar mereka lebih tertuju pada partai masing-masing. SBY pada praktiknya tak memiliki kekuatan yang sungguh-sungguh efektif untuk memastikan kesetiaan para menterinya.
Dalam kondisi seperti ini, maka SBY memerlukan sesuatu yang lebih besar ketimbang wewenang formalnya, untuk “menegur” menteri yang tak loyal. SBY akan banyak meminjam tangan publik untuk melakukan teguran itu. Rendahnya kepatuhan dan buruknya kinerja sejumlah menteri yang diberitakan belakangan itu mungkin benar, mungkin saja tidak. Yang jelas benar adalah, kini SBY tak perlu capek-capek menegur menterinya. Publik telah melakukan hal itu untuk Sang Presiden. Lewat teguran publik inilah ia menakar kesetiaan para menteri. Bukankah SBY layak berterima kasih pada kita?