Dalam perjalanan pulang dari Medan minggu lalu, ada kejadian menarik yang membuat saya sedikit merenung. Kejadian ini berlangsung di pesawat yang membawa saya ke Yogyakarta usai transit selama 2 jam di Bandara Sukarno-Hatta.
Saya duduk di saf nomer 17, di jendela sisi kiri. Berjarak satu kursi di sebelah kanan saya (di isle seat), duduk seorang mantan menteri yang juga akan pergi ke Yogya. Saya sudah duduk dan memasang sabuk pengaman, ketika si mantan menteri ini datang dengan wajah bersungut-sungut. Ia diikuti oleh seorang staf pesawat (bukan cabin crew), yang mempersilakannya duduk di kursi itu. Sesaat sebelum duduk, saya dengar ia berbicara galak pada si staf: “saya tunggu permintaan maaf Anda!”.
“Iya pak, saya minta maaf”, jawab si staf sambil sedikit nyengir.
Sang mantan menteri tampak tak puas. “Anda minta maaf hanya setelah saya marah-marah!” omelnya dengan keras.
Si staf, dengan sedikit salting, memilih diam tak menjawab dan segera berlalu dengan rada gontai.
Pak mantan menteri ini kemudian menghempaskan diri di tempat duduknya dengan menggerutu, “dasar orang-orang gila semua; Garuda ini makin payah.”
Seorang ibu yang duduk di antara saya dan pak mantan bertanya penasaran, “ada apa pak?”
“Nomer tempat duduk saya ke-dobel,” jawab pak mantan. “Sebenarnya ini hal biasa. Tapi mereka berbelit-belit, dan sama sekali tak mau mengucapkan permintaan maaf. Kata ‘maaf’ dari mereka tidak saya dengar. Keterlaluan.”
“Kok bisa kedobel ya pak,” timpal si ibu.
“Bisa saja kedobel. Ini masalah komputer. Tapi kalau mereka minta maaf, kan selesai. Ini tidak.” Pak mantan menjawab dengan bersungut-sungut.
“Iya pak ya, benar-benar mahal kata ‘maaf’ itu. Cuma empat huruf, tapi mahalnya minta ampun.” Si ibu berbicara dengan nada bijak.
Dalam hati, saya mengiyakan kata-kata si ibu itu. Sementara pak mantan tetap tenggelam dalam cemberutnya…
***
Kejadian itu membuat saya merenung cukup lama dalam pesawat siang itu. Ada dua hal yang mewarnai benak saya saat itu.
Pertama, betapa sulitnya kita untuk berpikir dan berbuat adil ketika amarah sedang menguasai hati. Lihatlah si pak mantan itu. Siapapun dalam posisi dirugikan oleh nomer tempat duduk yang dobel itu pasti akan marah. Itu jelas. Jika saya dalam posisi dia pun, saya akan marah (barangkali lebih galak?). Tapi mumpung saya tak dalam posisi dia, ada baiknya kita coba menimbang persoalan dengan adil.
Staf yang menjadi tumpuan marah pak mantan (atau tumpuan marah kita, andai kita dalam posisi si pak mantan) bukanlah sumber utama kesalahan yang terjadi. Dia hanyalah orang yang kebetulan berada di lokasi ketika efek kesalahan itu terasa. Sepantasnya dia atasnama perusahaan meminta maaf, agar masalah segera selesai. Tapi dia cuma seorang pegawai kecil bergaji kecil yang mungkin tak terdorong untuk memiliki etos merasa turut memiliki perusahaan. Kesalahan yang bukan perbuatan dia tentu sulit untuk dia mintakan maaf. Buat dia, yang salah adalah staf di counter yang membuat nomer ganda. Atau bahkan, buat dia kesalahan mungkin ada di komputer yang bisa menyelipkan nomer ganda itu. Itulah sebabnya ia tak merasa perlu untuk secara refleks minta maaf.
Maka, alih-alih memaksa dia minta maaf, bukankah lebih baik kita yang ‘memaksa’ diri agar bisa menimbang persoalan secara adil, kendati sedang marah?
Kedua, seperti kata si ibu tadi, betapa pentingnya bagi kita untuk tak membuat mahal kata ‘maaf’. Kerap kita berada dalam persoalan pelik, yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan mudah hanya dengan permintaan maaf. Tapi jujur, betapa seringnya kita merasa kata maaf begitu berat terasa di lidah. Bukankah kita seringkali merasa amat gengsi untuk meminta maaf? Padahal kata maaf adalah kunci kemenangan kita dalam komunikasi dengan orang. Tak ada orang yang menganggap rendah kita hanya karena mengucap permintaan maaf.
Namun keberanian untuk meminta maaf (dalam rangka menjadi ‘pemenang’ dalam setiap persoalan yang pelik) memang bukanlah sekadar kognisi. Ia adalah keterampilan yang perlu diasah. Dalam perjalanan pulang ke Yogya itu, saya tiba-tiba menyadari manfaat lain dari istighfar. Rasulullah (shalawatullah ‘alaih) mengucap istighfar hingga ratusan kali dalam sehari. Itulah salah satu teladan penting yang diberikannya. Dalam istighfar kita memohonkan ampun bagi diri kita kepada Allah. Essensinya adalah maaf. Dengan pengulangan istighfar secara intens ini, kita pun akan terbiasa untuk mengucap dan meminta maaf apabila kita memang perlu melakukannya.
Jadi, kita bisa berlatih untuk menjadi orang yang berani meminta maaf — berlatih dengan memperbanyak istighfar.
Bagaimana?