Categories
Multikulturalisme Politik Renungan Sejarah Sosok

Indonesia yang Arab?

4 Oktober 1934, sejumlah pemuda keturunan Arab di kawasan yang kini Indonesia mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab. Isi sumpah itu adalah: (1) Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia, (2) Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan mengisolasi diri, dan (3) Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.

Sumpah pemuda keturunan Arab ini terjadi dalam sebuah kongres di Semarang, dilontarkan berselang enam tahun sejak Sumpah Pemuda 1928 yang merupakan tonggak penting dalam nasionalisme Indonesia itu. Dari segi isi, tak ada yang terlalu hebat dari sumpah itu. Tapi dengan sumpah itulah para pemuda keturunan Arab di Indonesia itu menegaskan kesertaan mereka dalam impian nasionalisme yang berkembang kian pesat di tanah jajahan ini. Tokoh utama dibalik lahirnya sumpah itu adalah seorang pemuda keturunan Arab kelahiran Surabaya bernama Abdul Rahman (AR) Baswedan. Dialah yang gigih mengajak seluruh warga keturunan Arab di kepulauan nusantara untuk mengubah orientasi dan identitas kebangsaan mereka, dari ‘Arabia’ menjadi ‘Indonesia’.

Jika sebelumnya banyak keturunan Arab di kepulauan ini menganggap diri sebagai perantau dengan tanah air di Arab, maka sumpah tahun 1934 ini adalah titik balik transformasi cara pandang mereka, yang menempatkan kepulauan nusantara sebagai tanah air. Sebelum tahun 1934, nasionalitas bagi warga keturunan Arab di kepulauan Nusantara itu barangkali bersifat singular. Pergerakan nasional yang menguat sejak awal abad ke-20 membawa pergeseran terhadap Nusantara dari semata-mata gagasan sosial dan geografis menjadi gagasan politik tentang kebangsaan Indonesia. Kelompok masyarakat yang secara fisik membawa karakter kebangsaan ‘Arab’ ini menerima secara politik sebuah karakter kebangsaan baru bernama ‘Indonesia’. Jaman meminta mereka untuk memilih, dan mereka memilih untuk menumbuhkan karakter plurinasional (meminjam istilah Michael Keating, 2001) dengan tidak menolak munculnya identitas kebangsaan baru itu. Mereka bahkan menempatkannya pada posisi lebih penting daripada identitas kebangsaan genetis yang mereka punya. Keberanian pemuda keturunan Arab untuk menempatkan nasionalisme Indonesia sebagai inti identitas mereka sungguh sangat kontributif terhadap kelanjutan sejarah bangsa kita kemudian hari.

Momen sejarah dimana keturunan Arab meng-Indonesia-kan diri ini amat penting untuk kita renungkan sekarang, karena dalam beberapa dekade terakhir ini justru terasa sebuah gelombang kebalikan: orang Indonesia yang gemar meng-Arab-kan diri. Tentu saja sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia pastilah menyerap banyak sekali budaya dan bahasa Arab. Tapi yang kita lihat belakangan ini lebih dari sekadar serapan lingua-kultura seperti itu, melainkan orientasi politik dan identitas yang meletakkan Arab dan Timur Tengah sebagai centrum.

Kecenderungan ini tentu tak lepas dari pergeseran besar dalam konstelasi politik Internasional, yang disebabkan oleh banyak faktor termasuk menguatnya gerakan pembaharuan Islam di Timur Tengah, redupnya isu komunis usai perang dingin, munculnya isu terorisme global, dan belakangan proses demokratisasi di sejumlah negara-negara Arab. Faktor-faktor ini bahkan membuat Islam memperoleh perhatian lebih dalam di jagad ilmu politik. Dalam dua dekade terakhir, kian besar dana riset tentang Islam dialokasikan di negara-negara Barat, dan kian banyak textbook ilmu politik yang memasukkan Islam sebagai bahasan khusus. Ilmu politik pasca perang dingin ditandai oleh bergantinya fokus perhatian dari persaingan negara-negara superpower menjadi bahasan tentang ekologi, teknologi modern, Islam, terorisme, feminisme dan peran Dunia Ketiga dalam politik global (Tansey & Jackson, 2004).

Kecenderungan di atas juga sangat terkait dengan kekangan politik semasa Orde Baru, yang justru membuat gerakan-gerakan Islam trans-nasional menyemaikan diri secara tertutup. Liberalisasi politik pasca Soeharto membuat kelompok-kelompok ini bisa muncul dengan sedikit mengejutkan bagi publik awam. Hilangnya kekangan politik yang membatasi gerak juga memudahkan kelompok-kelompok ini untuk mengkomunikasikan ide secara terbuka (misalnya tentang khilafah atau tentang sistem pemerintahan Indonesia yang tak sesuai dengan syariah Islam) serta untuk melakukan perluasan lingkup sebaran ide dan tindakan ke ranah politik seperti yang dilakukan oleh gerakan Tarbiyah.

Yang tampak dalam pandangan publik akibat kecenderungan ini adalah kian banyaknya orang Indonesia yang sangat berperilaku dan berpikir ‘Arab’. Kecenderungan ini amat terasa mulai dari kadar ringan dan simbolik (seperti busana dan idiom) hingga ke orientasi politik, ideologi dan cara perjuangannya. Dalam orientasi semacam itu, ke-Indonesia-an menjadi amat peripheral dan salah — minimal menjadi target koreksi terus-menerus. Atau jika tidak, ke-Indonesia-an baru dipandang benar kalau hal itu berkontribusi terhadap tegaknya gagasan luhur yang berpusat di negara-negara Arab. Hebatnya silang wacana di Indonesia terkait dengan konflik politik di Mesir antara militer dan Ikhwanul Muslimin adalah salah satu manifestasi dari hal itu.

Semua ini bisa menjadi masalah serius, sebab kebangsaan Indonesia sedang berusaha ditundukkan di bawah perspektif kebangsaan sebuah kawasan lain. Islam amat berisiko menjadi alat penundukan tersebut. Atasnama Islam yang kaffah, ke-Indonesia-an bisa saja tercongkel untuk digantikan oleh orientasi ke-Arab-an yang berlebihan. Hal ini sangat berkebalikan dengan apa yang dilakukan oleh para keturunan Arab di tanggal 4 Oktober 1934, yang menjadikan nasionalisme Indonesia sebagai esensi berpikir politik. Yang kita butuhkan sekarang adalah penguatan kembali semangat Sumpah Pemuda Keturunan Arab itu. Kita perlu berupaya keras untuk memastikan bahwa ke-Indonesia-an menjadi centrum berpikir setiap orang Indonesia baik secara individual maupun kelompok. Hanya dengan cara itulah cita-cita kebangsaan Indonesia akan tetap langgeng.