Beberapa waktu yang lalu di sebuah toko buku di Perth Airport saya membeli buku berjudul God is not great: How religion poisons everything. Buku yang diterbitkan oleh Allen & Unwin tahun 2007 ini ditulis oleh Christopher Hitchens, seorang penulis kelahiran Inggris yang kini tinggal di Amerika Serikat. Saya pernah melihat buku ini sebelumnya di Angus&Robertson. Tapi waktu itu saya tak terlalu tertarik karena judulnya yang terlalu bombastis. Saya selalu berprasangka bahwa buku dengan judul bombastis isinya tak akan menarik. Apalagi, jelek-jelek begini saya masih merasa cukup religius 🙂 sehingga buku dengan judul yang melecehkan Tuhan agak malas saya sentuh. Namun saat berada di Airport itu saya masuk ke sebuah toko buku kecil, dan tak melihat cukup banyak buku menarik. Karenanya buku yang semula saya acuhkan itu pun saya sentuh, dan saya buka halaman demi halaman.
Category: Agama
Bulan Desember 1942, 32 orang Kiai diundang ke Istana Gambir yang megah dan asri di Jakarta untuk beraudiensi dengan Gunseikan, Gubernur Militer Jepang yang merupakan pimpinan tertinggi pemerintahan pendudukan saat itu.
Pertemuan ini difasilitasi oleh Kolonel Horie Choso, ketua Shumubu yang merupakan embrio Depag dan jaringan KUA saat ini. Tak pernah sebelumnya tokoh agama Islam, apalagi sebanyak itu, mendapat kehormatan untuk masuk ke gedung bekas kediaman Gubernur Jenderal Belanda tersebut. Sejarah sedang dituliskan.
Suatu pagi di surga, seorang tokoh NU duduk di teras rumahnya yang asri. Dalam ketenangan pagi, ia khusyuk membolak-balik halaman kitab kuning seperti kebiasaannya di dunia dulu. Di meja sebelah, sepiring kacang rebus dan secangkir kopi susu mengepulkan asap hangat. Sesekali tokoh NU ini menjumput sebutir kacang rebus, membuka kulitnya, dan mengunyahnya pelan-pelan sambil matanya tak beranjak dari halaman buku yang tengah ia pegang.
Ini surga. Pagi di surga pastilah terasa sangat damai.
Di bawah ini adalah tulisan lama Kang Jalal. Saya terkesan akan tulisan ini sejak pertama kali membacanya, dan selalu terkesan tiap kali membacanya lagi hingga kini. Saya pernah mengirimkan tulisan Kang Jalal ini ke sebuah milis pengajian, dan memunculkan diskusi yang cukup menarik (baik tentang ide kesetaraan gender dalam tulisan ini; maupun tentang penulisnya –Prof. Jalaluddin Rakhmat– dan labeling aliran keagamaan yang terlekat padanya). Potongan judul tulisan Kang Jalal ini pernah saya pinjam untuk sebuah tulisan di website ini. Mungkin bagi yang belum pernah membacanya, tulisan ini berguna pula saya kutip selengkapnya di sini.
Razia Puasa
Tidak terlalu mengagetkan sebenarnya, kalau FPI main razia-raziaan, sweeping-sweepingan, dan merusak tempat-tempat milik orang karena tuduhan maksiat.
Yang barangkali kita bisa renungkan, mungkin kita-kita sendiri pun sebenarnya memiliki cara pikir seperti itu. Dulu saya ingat ada sebuah dialog Ramadlan di salah satu radio di Jogja, dengan narasumber Prof Damarjati Supajar kalau saya tidak salah ingat. Ada pendengar yang menanyakan: “kok warung-warung di Jogja banyak yang buka di bulan Ramadlan?”
Tadi siang saya menerima kiriman sebuah buku yang kira-kira seminggu yang lalu saya beli di ebay, dari seller di Amerika. Buku ini berjudul ‘The Woman with the Alabaster Jar: Mary Magdalen and the Holy Grail‘ karya Margaret Starbird. Ini buku cetakan lama, tahun 1993, dan sudah lumayan lama saya cari. Saya tak menemukannya di beberapa toko buku di Australia (ada yang bisa menyediakan dengan pesan terlebih dahulu). Tapi beberapa toko virtual menyediakannya. Di situs Amazon, misalnya, buku ini ditawarkan baik dalam kondisi baru atau bekas. Harga termurah saya dapat di Ebay, hanya US$1.03, ditambah biaya pengiriman sebesar US$9.99. Cukup murah, mengingat harga pasaran buku ini adalah US$20 an.
Perempuan pertama
Ditahannya airmata. Ia tak ingin hembusan debu menempel lebih tebal di pipinya yang sedari tadi sudah basah oleh airmata. Cukup sudah; tangis tak lagi berguna. Akhir seluruh kisah sudah membayang di pelupuk matanya.
Hatinya tersayat perih menatap penderitaan sang kekasih, sang guru, sang pemimpin, sang penyuluh jalan kebenaran dan keselamatan bagi dirinya dan bagi mereka yang mau mengerti.
Sejak semula ia tahu, tak akan mudah bagi sang kekasih untuk menyampaikan kabar kebenaran. Terlalu banyak yang harus terusik oleh kebenaran itu. Para pemuka kaumnya; para bangsawan dan pemimpin negara; para pencari kuasa; tak seorangpun dari mereka yang suka apabila zaman berubah dan tatanan bergeser–tak juga atasnama Sang Pencipta sekalipun.
Mencari Islam di Australia
[Catatan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat]
Semenjak Bom Bali yang menewaskan 80an orang Australia, kata terorisme menjadi sangat sensitif dan kadang menakutkan di negeri kanguru ini. Kita di Indonesia kerap merasa bahwa negeri kita adalah korban aksi-aksi teror yang dilakukan oleh extremis. Tapi media massa di Australia tak jarang melukiskan Indonesia sebagai negeri sarang teroris. Celakanya kalau mereka menyebut teroris, gambaran tipikal yang diberikan adalah sosok berjubah dan berjenggot ala Osama bin Laden. Kadang menjadi Muslim di Australia, apalagi jika ia berpenampilan seperti gambaran tipikal tersebut, tak selalu menyenangkan.
‘Batu Jadi Tanaman’
[Catatan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat]
Sebuah nyanyian lama pernah menggambarkan Indonesia sebagai tanah subur di mana ‘tongkat kayu dan batu jadi tanaman’. Benarkah? Sebagian lahan di negeri ini mungkin tak lagi sesubur itu, namun karakter sosial masyarakat Indonesia, khususnya kalangan Islam, masih tetap lahan subur bagi berkembangnya paham keagamaan. Maka tak perlu kita terlalu heran bahwa ketika perkembangan religio-politik global membawa tema terorisme ke meja diskusi, masyarakat Indonesia tak terlepas dari kaitan dengan hal itu. Hingga kinipun isu terorisme dan kaitannya dengan komunitas Islam di Indonesia tetap hangat dan aktual.