Salah satu persoalan bangsa kita saat ini adalah merosotnya kemampuan untuk hidup dalam keberamanan secara sehat. Penyatuan bangsa-bangsa di Nusantara ini bukanlah sebuah keniscayaan, melainkan hasil dari upaya aktif untuk membangun konsensus antara elemen-elemen yang ada di dalamnya. Sebagai sebuah bangsa yang disusun di atas penyatuan banyak bangsa, kita membutuhkan alat perekat berupa kemauan untuk menghargai perbedaan.
Category: Renungan
Dalam beberapa bulan terakhir ini kita disuguhi berita bahwa bangsa kita ternyata belum siap betul untuk berdemokrasi. Kita masih terpuruk, baik di ranah demokrasi elektoral, maupun di ranah demokrasi substantif. Karena itu, jika kita hendak merayakan Hari Kebangkitan nasional, rayakanlah dengan membangkitkan demokrasi.
Mari kita lihat apa saja masalahnya, dan hal apa saja yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya.
Ini kejadian tahun 1999, di Adelaide, South Australia. Usai menghadiri resepsi menyambut hari kemerdekaan RI di pusat kota, lewat tengah malam tanggal 16 Agustus aku pulang ke rumah di St. Marys. Ke arah rumah, kami mampir sebentar mengantar seorang teman ke rumahnya di sekitaran South Road, lalu lanjut pulang.
Dulu sekali, di awal-awal berdirinya Jamaah Shalahuddin UGM tahun 1980an, konon banyak kisah menarik tentang aktivisnya. Waktu itu hampir tak ada mahasiswi yang berjilbab. Juga tak ada aktivis yang berusaha tampil dan beraksen Arab. Semua biasa-biasa saja. Namun mereka bersemangat untuk merintis kegiatan yang lebih agamis bagi mahasiswa.
Madura kampung halaman saya adalah kawasan Muslim yang menyenangkan. Islam adalah mayoritas di sana. 90% penduduknya adalah Muslim. Yang 10%? Muhammadiyah. (Hehehe… Saya ngakak terpingkal-pingkal ketika mendengar guyonan ini pertama kali saat mengikuti ceramah Cak Nun di Universitas Airlangga).
Tahun lalu, Ramadlan saya agak membuat ngos-ngosan. Hari-hari pertama berpuasa saya berada di Michigan. Saat itu bumi bagian utara sedang memasuki musim panas, sehingga hari menjadi panjang. Sahur memang biasa-biasa saja, sekitar jam 2.30. Namun kita harus menunggu hingga jam 22 untuk berbuka puasa.
Suatu ketika saat masih SMP, saya dipanggil oleh Kepala Sekolah (Kepsek) karena membawa motor ke sekolah. Itu pelanggaran peraturan sekolah dan lalu-lintas karena usia saya yang baru 14 tahun. Pak Arief, Kepsek itu, menasehati saya dan beberapa teman secara panjang lebar tentang kesalahan yang telah kami lakukan. Beliau mengatakan bahwa para mahasiswa di Yogya amat sedikit yang bawa sepeda motor saat kuliah. Mereka pada naik sepeda, sehingga tak perlu keluar uang untuk bensin. Uangnya, kata Pak Arief yang alumnus Fakultas Pedagogik UGM, dipakai untuk membeli makanan bergizi sehingga mahasiswa di Yogya pintar-pintar.
Aku mengenalnya sebagai Pak Undan. Dia seorang tentara, kalau tidak salah berpangkat kopral kepala di sebuah Koramil, di kecamatan tempat Bapakku bertugas sebagai camat. Ini kecamatan yang agak-agak rawan, karena PPP sangat kuat di sini. Bapakku yang adik kandung Ketua DPD PPP malah membawa misi untuk memenangkan Golkar di sini.
Nah, Pak Undan ini tipe tentara yang agak berangasan dan sok tahu. Tapi tentu itu lumrah saja, sebab partai ABRI sedang berkuasa saat itu.
Kagetkah Anda ketika seorang Bupati ditangkap sedang dalam keadaan teler karena narkoba? Jika iya, ada dua kemungkinan.