Categories
Politik

Numpang Menang, Nyicil Rongrongan

Entah dengan cara apa akan kita nilai langkah-langkah SBY dan Partai Demokrat (PD) belakangan ini. Akankah kita nilai mereka sebagai pihak yang lamban dalam memutuskan mitra koalisi dan pasangan capres-cawapres, ataukah kita akan beri mereka predikat sebagai pihak yang cerdas dalam membaca medan, serta mengasapi ‘lubang ular’ agar keluarlah semua kepentingan?

Saya menilai bahwa kemungkinan kedua yang lebih bisa menjelaskan keadaan. SBY dan PD tampak jelas tengah mendulang keuntungan dari permainan tarik-ulur, dan menggali sebesar-besarnya pemahaman akan medan dari reaksi setiap partai politik di tengah kecemasan mereka akan waktu yang berlari cepat menuju pilpres Juli nanti. Manuver Golkar (‘lebih cepat lebih baik’, dengan keberanian mengambil resiko dalam koalisi dengan Wiranto), konflik internal dalam PAN usai pendekatan SBY pada Hatta Rajasa, serta serangkaian ekspresi ‘ancaman’ dan ketidak-puasan PKS terhadap langkah politik SBY dan PD, telah jelas-jelas memberi gambaran yang sangat utuh bagi mereka akan peluang dan resiko di bulan Juli nanti serta masa lima tahun berikutnya.

Dalam beberapa hari belakangan, kiranya telah sangat jelas bagi SBY dan PD, bahwa partai-partai politik Islam menyimpan ambisi besar dalam koalisi dengan PD. Koalisi dengan PD inilah salah satu jaminan besar bahwa parpol-parpol Islam ini bisa kembali turut dalam pemerintahan. Namun mestinya jelas juga bagi SBY dan PD bahwa parpol-parpol Islam ini mungkin tak akan bisa menjadi mitra yang mudah. ‘Ancaman’ setengah hati dari PKS untuk tak turut dalam koalisi jika PD menggandeng Golkar menunjukkan hal itu. Belakangan, ketidak puasan parpol-parpol Islam terhadap pencawapresan Boediono (yang disuarakan oleh PPP, PAN, PKB, dan diteriakkan secara lebih tegas oleh PKS) juga mengindikasikan hal yang sama.

Bagi saya, jelas sekali partai-partai politik Islam ini telah menunjukkan gelagat untuk numpang menang, namun telah nyicil rongrongan kepada SBY dan PD. Jika SBY tetap akan menggandeng mereka dalam koalisi, maka lima tahun ke depan hal seperti inilah yang kira-kira akan dihadapinya. Bila ia membagikan kursi kabinet pada partai-partai ini, sementara Boediono duduk di kursi RI-2, maka pembangkangan (halus maupun tegas) terhadap arah kebijakan ekonomi yang digariskan pimpinan pemerintahan kemungkinan akan datang dari sebagian menteri-menterinya sendiri.

Tentu saja, ini semua kalau SBY-Boed dan koalisinya berhasil memenangkan pilpres Juli nanti. Kalau JK-W yang menang, urusan tentu berbeda. Parlemen mungkin akan menjadi kerumunan gaduh partai-partai politik yang tak akan lelah mengkritisi kebijakan pemerintah.

Mutualisme

Sejak semula, PD telah menunjukkan gelagat untuk berkoalisi dengan partai-partai politik Islam yang masuk memenuhi syarat parliamentary threshold 2,5% suara (sebagaimana diindikasikan oleh serangkaian quick-count). Partai-partai Islam ini (yaitu PKS, PKB, PAN dan PPP) jelas tak ragu-ragu untuk menangkap peluang besar dalam koalisi bersama PD, kendati ada di antara mereka yang terus mencoba menjaga ban-serep dengan terus menggalang kontak dengan parpol besar lainnya.

Kebutuhan PD akan dukungan parpol yang lebih kecil namun memiliki platform dan basis sosial Islam sangat besar, baik dalam konteks pemenangan pilpres maupun –terutama–pengamanan posisi tawar di parlemen sepanjang lima tahun pemerintahannya nanti. Partai-partai Islam tersebut selama ini telah terbukti cukup berhasil menyeimbangkan ‘serangan’ kubu nasionalis radikal (PDI-P) di parlemen.

Di sisi lain, parpol-parpol Islam saat ini boleh dibilang ‘mungil’ secara politik. Kecuali PKS yang mencatatkan kenaikan suara, parpol Islam lainnya rata-rata gagal berprestasi dalam pilleg lalu. Secara total, suara parpol Islam seluruhnya kini tinggal 29% (dari semula sekitar 39% dalam pemilu 1955, 1999, dan 2004). Artinya, parpol Islam tak memiliki peluang berarti untuk mendominasi pemerintahan. Karenanya parpol Islam akan sangat berkepentingan akan mitra koalisi yang kuat dan bisa diandalkan. Maka tak heran kita jika parpol Islam sudah mengisyaratkan dukungan (baik bersyarat ataupun tidak) kepada PD dan SBY sejak hari H pilleg.

PD adalah pilihan paling rasional bagi parpol Islam dari segi ideologis. Koalisi dengan PDI-P mengandung hambatan psikologis yang cukup signifikan bagi parpol Islam. Karenanya, wajar jika parpol Islam sebenarnya berharap dapat ‘memonopoli’ PD tanpa direcoki oleh parpol lain. Dalam konteks inilah kita bisa memaklumi ‘ancaman’ PKS bulan lalu. Dengan cara yang sama pulalah kita bisa mengerti mengapa kini parpol-parpol Islam itu keberatan dengan cawapres yang secara ideologis maupun orientasi program dan network-nya tidak cukup ‘kompatibel’ dengan parpol Islam.

Bisakah SBY dan PD meyakinkan parpol Islam mitra koalisinya bahwa Boediono tak bakal jadi ganjalan ideologis dalam pemerintahan bersama nanti? Di sinilah kunci persoalannya.

Wallahu a’lam bissawab.

[Kedaulatan Rakyat, 14/5/2009]

Tulisan terkait: Koalisi Minim Platform.