Ia melangkah menuruni tangga. Seperti biasa langkahnya ringan melayang, setengah berjinjit. Wajahnya cerah, begitu pula kata-kata yang diucapkannya sambil melempar senyum pada kami yang menunggu di lantai satu.
“I’m done. The ulangan was easy…”
Itulah yang selalu saya ingat tentang Afkar, anak kedua saya, pada hari dia resmi mendaftarkan diri di sebuah sekolah dasar swasta di Yogyakarta. Kakaknya, Perdana, juga tengah mendaftar di sekolah yang sama. Mereka berdua sedang mengikuti assessment untuk menentukan apakah mereka telah melampaui kompetensi minimal yang diperlukan untuk masuk di kelas masing-masing.
Hari itu menandai salah satu upaya saya dan Miming untuk menemukan sekolah yang tepat bagi Perdana dan Afkar sepulang dari Perth, Western Australia. Namun hari itu juga sekaligus membuka pemahaman kami sebagai orang tua tentang bagaimana ragam dan liku pendidikan dasar dan menengah di Indonesia. Kami menjadi semakin paham betapa tak gampangnya menemukan sekolah yang bagus dan mudah di akses di negeri ini. Makin jelas bagi kami, betapa sekolah berkualitas adalah sebuah kemewahan di Indonesia. Yang saya maksudkan bukan cuma betapa mahalnya sekolah yang berkualitas di sini, namun juga betapa sulitnya akses ke sekolah semacam itu.
***
Saat mempersiapkan kepulangan dari Australia ke Indonesia, salah satu hal yang kami urus sejak jauh-jauh hari adalah sekolah buat Perdana dan Afkar. Di Perth, Perdana berada di Year 3/4, yakni kelas 3 namun bergabung bersama kelas 4 karena dia dinilai telah cukup melampaui kompetensi untuk kelas 3. Afkar saat itu baru masuk Year 1, mulai bulan Februari 2008 (tahun ajaran di Australia dimulai pada bulan Februari). Saat kami mulai mengurus kepindahan mereka ke Yogya, tahun ajaran baru di Indonesia sudah berjalan satu bulanan. Untuk proses transisi ini kami sudah mengontak sejumlah teman sejak di Perth. Dari bantuan salah seorang teman, Perdana dan Afkar dapat memperoleh tempat di sebuah SD Negeri di kawasan Kotabaru.
SD Negeri ini adalah salah satu SD terbaik di Yogya. Sekolah ini dikenal karena prestasi siswanya yang sangat baik. Lulusan SD ini biasanya jauh lebih mudah untuk memperoleh NEM tinggi dan karenanya bisa masuk ke SMP favorit di Yogya. Masuk SMP favorit artinya tiket untuk akses mudah ke SMU favorit. Di kota pendidikan ini, urusan sekolah favorit bukan main pentingnya. Pendidikan adalah the ultimate game in town, sehingga prestasi pendidikan adalah salah satu ruang kompetisi utama di sini. Singkat kata: masuk sekolah favorit adalah hal penting di kota ini — nyaris jadi hal yang paling penting bagi sejumlah orang.
Tentu saja, the price is always right. Ono rego ono rupo; ada kualitas, ada ‘harga’. Sekolah favorit tidaklah murah. Kendati sekolah negeri secara resmi berbiaya murah, namun dalam prakteknya ada sejumlah besar biaya tambahan yang harus dibayar. Kita tak harus melihatnya sebagai praktek manipulasi. Biaya tambahan itu diperlukan agar sekolah negeri ini bisa mengelola kegiatan-kegiatan dan proses pembelajaran lebih baik dari rata-rata sekolah negeri yang lain. Orang tua biasanya bersedia memberikan sumbangan tambahan bagi perbaikan fasilitas sekolah.
Jadi, dengan pilihan untuk memasukkan anak-anak ke sebuah SD Negeri favorit, ada konsekuensi anggaran yang kami sama-sekali tak berkeberatan untuk membayarnya. Demi pendidikan, ya nggak…?
Maka masuklah Perdana dan Afkar ke sekolah itu. Perdana kelas 3, Afkar kelas 1. Dalam beberapa hari sejak tiba di Yogya, mereka berdua sudah berseragam putih-merah yang gagah. Pagi-pagi mereka berangkat dari rumah di Rejodani, menuju sekolah di sisi lain kota ini. Namanya sekolah favorit, jalan depan sekolah ini penuh sesak dengan mobil-mobil pengantar. Mobilnya pun bagus-bagus.
Tapi mobil ini bukan lah hal yang membuat saya terkejut. Yang lebih membuat takjub sejak hari pertama adalah murid-murid yang hampir semua membawa handphone (HP).
“Glek! Ngapain anak-anak ini pada berkalung HP??” Saya bertanya-tanya dalam hati. HP itu bahkan mereka bawa masuk ke dalam kelas. Perdana dan Afkar nampak heran melihat teman-teman barunya pada sibuk main HP sebelum kelas mulai. Mereka tak pernah tahu seperti apa rasanya punya HP. Mungkin mereka akan kebingungan jika tahu bahwa hampir semua orang tua murid menenteng lebih dari satu HP, entah untuk apa. Saya dan Miming cuma bisa tersipu dan hati-hati menyembunyikan HP jadul kami di saku biar tidak kelihatan terlalu apes di hadapan orang tua murid lainnya.
Rupanya HP bukan satu-satunya kejutan di sekolah ini. Tak lama kemudian kami kembali dikejutkan oleh ketentuan bahwa semua siswa-siswi yang beragama Islam harus mengenakan busana Muslim selama bulan Ramadlan (September 2008). Yang dimaksud busana Muslim adalah baju panjang dengan kerudung untuk siswi, dan baju koko bercelana panjang untuk siswa. Dalam busana seperti itu, Perdana dan Afkar jadi nampak seperti pendekar Shaolin.
Bagaimana dengan siswa/siswi non-Muslim? Mereka tetap pakai baju seragam biasa. Saya geleng-geleng kepala. Bukankah ini aturan yang sangat berbahaya? Anak-anak mulai diajari untuk melihat perbedaan hingga ke ranah simbolik, sejak mereka masih berusia dini. Dalam masyarakat multikultur seperti Indonesia, ini bukan persoalan main-main.
Kejutan lain adalah beban kurikulum yang luar biasa. (Eh, mungkin ini bukan kejutan ya?). Di Australia, murid-murid primary school belajar dengan santai. Mereka memupuk kompetensi secara terfokus, dengan metode yang mendorong ‘penemuan’ oleh siswa, ketimbang ceramah satu arah oleh guru. Di SD baru mereka ini, Perdana dan Afkar harus menghadapi suasana berbeda. Guru bukan lagi partner diskusi yang menemani mereka ‘menemukan’ hal baru, melainkan pengawal kurikulum yang gigih menekankan hafalan dan kepatuhan pada naskah ajar. Pun, penting dicatat bahwa isi kurikulum di SD Indonesia sangatlah jauh lebih tinggi daripada primary school di Australia. Kita bisa bahas khusus tentang hal ini bila diperlukan.
Perdana dan Afkar selalu nampak kelelahan sepulang sekolah. Bahasa Indonesia mereka yang sangat minim menjadi beban tersendiri. Sekolah tak punya skema apapun untuk membantu meringankan beban bahasa ini, juga untuk meringankan beban mengejar kurikulum yang amat jauh melompat. Ketika kami bertanya pada Kepala Sekolah tentang hal ini, jawabannya sederhana: “Silakan ikut les saja.”
Itulah rupanya jawaban standar guru-guru SD Negeri kita. “Ikutkan les saja.” Sekolah nampaknya bukan edukator, melainkan assesor penguasaan beban kurikulum oleh siswa, yang dalam satu kelas berjumlah tak kurang dari 40 orang itu. Kalau ada siswa yang tertinggal, maka kelas reguler bukanlah tempat mencari solusi. Guru harus ngebut dengan target kurikulum, dan tak ada waktu untuk mengurus persoalan siswa satu per satu. Jadi ya, sana pada les saja.
Tentu saja saya jawab tidak. TIDAK. Saya tak akan membebani anak-anak dengan les ini itu di sore hari. Mereka butuh untuk berkembang wajar dan manusiawi, belajar tentang kehidupan dan bermain santai tanpa suntuk oleh urusan les.
Akibatnya, selama 3 bulan di SD ini, Perdana dan Afkar kian nampak tertinggal di kelas. Kemampuan mereka berbahasa Inggris tak membuat mereka bisa berperan di sekolah atau kelas. Guru Bahasa Inggris mereka pun tak punya bayangan bagaimana mengoptimalkan kemampuan bawaan ini.
Yang paling parah, hanya dalam 3 bulan itu mereka berdua mulai kehilangan kemampuan menjelaskan. Di Australia, murid-murid didorong untuk mengetahui dan mampu menjelaskan. Di SD baru ini, keadaan berbalik. Murid-murid didorong untuk menghafal. Akibatnya, setelah 3 bulan di sana, Perdana dan Afkar mulai bisa menggunakan kata ‘pokoknya’ dan malas menjelaskan apa yang mereka ketahui.
Dulu kalau mereka ditanya tentang kupu-kupu, misalnya, mereka akan menjelaskan proses metamorfosa dengan logis. Kalau ditanya mengapa ulat berubah menjadi kupu-kupu, mereka akan mengaitkan dengan konsep life cycle dengan runtut. Di SD baru ini, mereka mulai belajar untuk menutup argumen dengan ‘pokoknya.’ “Ya pokoknya kupu-kupu itu asalnya dari ulat.”
Kami pun panik. Sama sekali tak pernah terbayangkan bahwa si Perdana yang biasanya sangat micara dan resourceful itu kini gemar berwirid ‘pokoknya’. Kami terperangah melihat anak-anak kami, hanya dalam tempo 3 bulan, sudah begitu rupa menjadi korban kurikulum dan metode pendidikan dasar yang kurang senonoh di sekolah negeri. Tak perlu berpikir terlalu lama, maka kami sepakati bahwa sekolah baru ini bukan tempat terbaik buat Perdana dan Afkar.
Mereka harus keluar dari situ. Out. OUT. Ow Yu Ti…
Out kemana? Saya akan lanjutkan ceritanya di bagian kedua INI.