Categories
Politik

Ketoprakan Parpol

[Tulisan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat]

Ada episode yang (herannya) tak bosan diulang oleh politisi dan parpol di pentas politik negeri ini. Episode ini selalu berisi cerita lama: konflik internal parpol yang berujung penyingkiran orang atau perpecahan parpol tersebut.

Di PKB, suasana konflik (yang sejak tahun lalu tercium tajam) memuncak cepat ketika ketua umum partai ini, Muhaimin Iskandar, ‘dipecat’ berdasarkan komando langsung dari Gus Dur beberapa waktu lalu. Muhaimin masih mencoba melawan ‘pemecatan’ itu dengan menyebutnya sebagai pelanggaran AD/ART. Ia juga membantah semua tuduhan yang diarahkan padanya, seperti pembangkangan terhadap Gus Dur. Kita masih menunggu episode selanjutnya dalam cerita ini, termasuk apakah Muhaimin berhasil mempertahankan posisinya di hadapan ambisi politik Yeni Wahid dan beberapa orang di sekitarnya.

Sementara ekspose media atas konflik PKB ini sedikit mereda (akibat magnitude berita penangkapan Al Amin Nasution dan Burhanuddin Abdullah), kita bisa membincangkan pertanyaan penting: apa sajakah implikasi konflik ini terhadap PKB dan performanya dalam Pemilu 2009?

Kemerosotan PKB

Konflik ini memiliki kemungkinan implikasi utama yang sangat jelas: merosotnya kekuatan PKB dan perolehan suaranya dalam pemilu mendatang. Nampaknya sebagian besar pengamat berpegang pada asumsi ini.

Merosotnya kekuatan PKB akan menguntungkan bukan saja pesaing-pesaing lama partai ini, namun juga pesaing-pesaing barunya. Di jajaran pesaing lama, PKS saya kira akan mudah menuai simpati di tengah carut-marut konflik parpol Islam lainnya. Target 20% yang dicanangkan PKS bukan mustahil akan tercapai sebagian. Tapi ini tentu tidak gampang. Agar mudah mendulang suara, PKS masih harus bekerja ekstra keras untuk menetralisir kesan over-eksploitasi atas aktivitas dakwah (yang selama ini melekat pada partai tersebut).

Di jajaran pesaing baru, PKNU jelas-jelas sangat diuntungkan oleh konflik dalam PKB. Partai yang juga lahir dari konflik internal PKB ini akan sangat mudah untuk ‘mencuri di tikungan’, dan menuai suara-suara pemilih yang tak berhasil dijaga oleh PKB. Jika PKNU berhasil mengelola isu dengan cermat, partai baru ini akan mudah memperoleh suara yang signifikan dari konstituen PKB. Namun PKNU harus berhati-hati di sini. Ada baiknya partai ini tak cuma melakukan ‘cloning’ atas jargon PKB sebagai ‘partainya kiai’ atau yang semacam ini. Jargon semacam ini terbukti rapuh.

Kemungkinan lain

Namun ada cadangan kemungkinan lain. Memang pemilih kita telah kian rasional. Tapi kejenuhan atas proses politik (yang melahirkan politisi yang kian lama kian korup) sangat boleh jadi telah kian meninggi dalam dua kali pemilu pasca reformasi ini. Tentu ini baru sebatas asumsi. Namun jika ini benar, bukan mustahil publik akan kembali memperlakukan pemilu sebagai ‘pesta demokrasi’ semata, ketimbang repot-repot berpikir tentang proses politik itu sendiri. Dalam pesta demokrasi ini, kemeriahan politik lebih penting dibandingkan pilihan-pilihan yang rasional. Dalam pesta demokrasi, partai yang paling ‘menghibur’ adalah partai yang paling akan dilihat oleh para pemilih.

Yang sulit kita duga pada tahap ini adalah apakah Gus Dur mengkalkulasi dengan cermat kemungkinan ini, ketika memainkan one man show-nya di PKB dengan memecat Muhaimin. Sementara ini saya lebih suka menilainya sebagai ‘kekalapan’ seorang patriarch, yang tak lagi mudah mempercayai orang-orang sekitarnya, sekaligus diombang-ambing oleh kepentingan yang saling-bersilang di antara orang-orang dekatnya (sebagaimana pernah saya tulis dalam rubrik Analisis ini). Tapi kita tunggu saja di Pemilu 2009 nanti: akankah jurus ketoprakan semacam ini membuat PKB hancur, ataukah malah mendatangkan penonton dan pemilih buat partai ini.

Wallahu a’lam bissawab.