Catatan tentang kota Katanning ini sebenarnya sudah saya draft sejak lama, segera setelah saya mengunjungi kota ini beberapa hari lepas Idul Fitri akhir 2007 lalu. Tapi entah kenapa, draft ini terbengkalai di folder komputer, lupa saya rapikan dan saya publish. Tak sengaja saya tadi temukan kembali, kiranya sayang sekali jika catatan tentang Katanning ini cuma tersimpan di sudut harddisk.
***
Katanning adalah sebuah kota kecil yang terletak 300-an km ke arah selatan Perth. Di sini terdapat komunitas Muslim Melayu yang cukup solid. Sebagian besar dari mereka berasal dari dari Cocos Island alias Pulau Kelapa. Generasi pertama Melayu itu datang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di pemotongan kambing. Para jagal Muslim itu diperlukan untuk memproduksi daging domba halal. Kini, Muslim Melayu meliputi hampir 10 % dari 4000-an penduduk kota ini.
Di kota kecil ini ada sebuah masjid besar lengkap dengan madrasah. Itulah salah satu alasan penting saya datang ke kota ini beberapa bulan yang lalu, selain untuk mengerjakan sebuah penelitian tentang komunitas Muslim di Australia. Salah satu hal yang ingin saya lakukan di kota ini adalah salat Jumat di masjidnya. Ini keinginan yang sudah cukup lama saya simpan, semenjak pertama kali mendengar cerita bahwa suasana Jumatan di Katanning sangat mirip dengan suasana di kampung di Indonesia (tentu tergantung visi teologis masjid tempat Jumatan itu dilaksanakan).
Demi mencapai tujuan untuk Jumatan di Katanning itulah, kami sekeluarga berangkat dari Perth pada hari Kamis pagi — Kamis pertama setelah Idul Fitri saat itu. Dengan berangkat Kamis pagi, maka siang dan sorenya saya bisa segera mengitari dan mengenali sudut-sudut kota ini, sehingga esoknya saya bisa mulai melakukan aktifitas penelitian sepagi mungkin, dan memiliki cukup waktu untuk mengikuti salat Jumat.
Perth-Katanning bisa kita tempuh dalam waktu 3 jam. Sebagian besar jalan yang kita lalui antara kedua kota adalah freeway dengan kecepatan maksimal 110 km/jam, sehingga kita bisa mengembangkan kecepatan secara leluasa. Di jalanan yang cukup lapang dan sepi, mobil kadang saya genjot sampai 130 km/jam, meski kalau ingat dengan denda pelanggaran batas kecepatan (yang cukup tinggi) segera saya turunkan lagi sebatas yang diijinkan. Tak banyak pemandangan di kanan-kiri jalan antara Perth dan Katanning, kecuali beberapa peternakan domba yang hamparan padang rumputnya begitu indah berlatar belakang bebukitan kecil dan langit bersih. Dedaunan beberapa jenis pohon yang berwarna kemerahan membuat tingkahan warna yang indah bersama hijaunya padang rumput dan birunya langit. Para fotografer tentu tak akan mensia-siakan komposisi RGB (Red-Green-Blue) yang sempurna ini.
Siang, sedikit lepas dzhuhur, kami sampai di Katanning. Begitu membelok ke arah kiri dari Great Southern Hwy menuju pusat kota, mata saya menangkap sebuah spanduk berukuran sedang, yang tergantung di sebuah tiang di bunderan dekat lintasan kereta-api. Di spanduk itu terdapat gambar tiga buah ketupat, dan tulisan huruf latin yang kaligrafis. Tulisan itu berbahasa Melayu: “Selamat Hari Raya Aidil Fitri“. Setelah melintasi bunderan, terlihatlah pula bahwa spanduk itu memiliki dua muka, dan di sisi sebaliknya terdapat gambar bintang dan bulan sabit, serta tulisan latin dalam bahasa Arab: “Eid Mubarak“.
Dari bunderan dengan spanduk idul fitri ini, kami terus ke arah utara sedikit, dan berhenti sejenak di bagian yang nampaknya adalah pusat kota. Kami keluar dari mobil untuk melihat-lihat suasana sekitar, ketika tiba-tiba seorang pemuda berambut ikal sedikit gondrong mendekati kami. “Assalamu’alaikum,” ia menyapa sambil tangannya memberi isyarat ke arah Miming, istri saya: ia mengenali kami sebagai Muslim karena melihat seorang perempuan berkerudung. “Wa’alaikum salam”, kami menjawab sapaannya. Ia kemudian, dalam bahasa Melayu, memberitahukan pada kami tempat-tempat untuk membeli makanan halal, serta bahwa esok salat Jumat akan dimulai jam 1 siang.
Usai berbincang dengan pemuda tadi (keesokan harinya saya akan tahu bahwa pemuda ini adalah adalah seorang seniman bernama Shahran, dan bahwa ialah yang membuat spanduk idul fitri itu, atas permintaan Islamic Association of Katanning [IAK]), kami berputar-putar sejenak mengitari kota Katanning yang sama sekali tak memiliki traffic-light ini. Dari pusat kota kami pergi ke arah utara, dan kemudian berbelok ke kiri ke arah tempat di mana masjid Katanning berada.
Masjid Katanning berukuran cukup besar (lebih besar dari masjid yang ada di pusat kota Perth). Masjid ini diresmikan tahun 1981 oleh Tunku Abdurrahman Putra. Seperti saya ceritakan di atas, masyarakat Muslim di Katanning hampir semuanya (kecuali satu-dua orang Indonesia, Somalia atau Afghanistan) berasal dari Cocos Island. Kendati Cocos Island ini bagian dari Australia (masuk dalam wilayah negara bagian Western Australia), namun penduduk setempat lebih merasa diri sebagai orang Melayu. Di Katanning, mereka sangat menjaga identitas kemelayuan ini, termasuk bahasa Melayu yang masih dipakai hingga kini. Karena itu, tak heran ketika berhasil membangun masjid, PM Malaysia pulalah yang mereka daulat untuk meresmikan.
Masjid itu didirikan di atas tanah yang cukup luas, yang tahun 1970-an dibeli oleh komunitas Muslim Katanning seharga A$3,500. Nampaknya masjid ini telah mengalami renovasi semenjak didirikan (bandingkan dua gambar yang diambil 1981 ini, dan yang diambil beberapa bulan lalu di atas). Perbedaan terlihat jelas di bagian depan. Halaman masjid ini sekarang didesain untuk bisa menampung cukup banyak mobil. Saya lihat masyakarat Muslim yang bekerja di rumah pemotongan ternak di Katanning itu cukup menggemari mobil SUV tahun terbaru yang berukuran cukup besar. Saya lihat beberapa di antara mereka (termasuk Imam masjid serta seorang migran asal Medan yang telah tinggal di Katanning beberapa belas tahun) mengendarai Ford Territory model terbaru. Saat salat Jumat saya juga melihat sebuah truk besar diparkir di halaman depan masjid. Seorang Muslim asal Bosnia yang sopir truk pengangkut mobil mampir di sana untuk Jumatan.
Saat berada di dalam masjid Katanning ini, kita akan merasa berada di sebuah tempat di Malaysia atau Indonesia. Kecuali heater yang terdapat di beberapa bagian dinding masjid ini, tak ada satu barangpun yang membuat kita merasa berada di Australia. Semua hiasan dan perabot di dalam masjid ini sangat ‘Melayu’. Papan pengumuman berbahasa Melayu, dan hiasan kaligrafi di dinding diberi terjemahan bahasa Melayu. Di kanan-kiri mihrab terdapat kaligrafi berpigura, yang isinya lafal niat salat tahiyyat masjid, dan lafal niat iktikaf. Keduanya disertai terjemahan dalam bahasa Melayu.
Tatacara salat Jumat di masjid ini mirip sekali dengan yang saya temui di kampung saya di Madura — dan di lingkungan masyarakat nahdliyyin lainnya di Indonesia. Adzan diucapkan dua kali. Adzan pertama dikumandangkan sebagai penanda masuknya waktu dzhuhur. Ketika khutbah akan dimulai dan khatib akan dipersilakan naik mimbar, muadzdzin pun berdiri memegang tongkat, lalu membacakan hadits tentang keutamaan Jumat serta keharusan jamaah untuk diam saat khutbah sedang disampaikan. Setelah itu khatib berdiri, melangkah menuju mimbar sambil menerima tongkat dari muadzdzin yang sementara itu membaca doa dan salawat. Khatib menaiki tangga mimbar, berbalik menghadap jamaah, mengucapkan salam dan kemudian duduk. Saat inilah adzan kedua dikumandangkan. Usai adzan, khutbah pun disampaikan dalam bahasa Melayu.
Selebihnya sama seperti salat Jumat di masjid manapun. Yang kemudian juga mengingatkan saya pada suasana masjid di kampung halaman adalah saat Imam mulai memimpin salat. Jelas-jelas saya dengar ia mengucapkan kalimat “ushalli fardlal jumu’ati rak’atayni imaaman, lillaahi ta’ala” sebelum takbiratul ihram. Juga berbeda dari tatacara salat di banyak masjid di Australia, usai salat Jumat dua rakaat Imam pun memimpin dzikir bersama; membaca tasbih, hamdalah, dan takbir masing-masing 33 kali bersama-sama; kemudian ditutup dengan doa yang diaminkan seluruh jamaah. Kelak ketika hal ini saya ceritakan pada beberapa orang teman, komentar mereka rata-rata sama: “Katanning itu nahdliyyin banget ya…” 🙂
Ah, nahdliyyin atau bukan, itu tidak terlalu penting. Yang pasti buat saya, Jumatan di Katanning hari itu adalah Jumatan paling berkesan selama saya berada di Australia…