Categories
Politik

Bejana itu Mengecil?

Pemilu legislatif telah dilaksanakan kemarin (9/4). Hasil quick-count berbagai lembaga survey telah dapat diakses di media massa*, bersama-sama dengan hitungan sementara yang dilakukan KPU.** Dengan melihat dan membandingkan hasil quick-count yang rada beragam itu, publik dapat mulai menduga-duga arah hasil akhir prosentase perolehan suara antar parpol.

Kita dapat melihat, misalnya, menurut data QC per hari ini (10/4) hanya ada 9 parpol yang berhasil memenuhi threshold 2,5% untuk bisa turut berbagi kursi di DPR RI. Kita dapat juga melihat betapa menariknya kecenderungan suara Partai Demokrat yang menjulang tinggi meninggalkan Golkar dan PDI-P (apalagi Gerindra dan Hanura). Tapi bagi saya, yang sangat memancing perhatian adalah merosotnya jumlah total suara partai-partai politik dengan ideologi dan/atau basis massa Islam.

***

Bejana suara parpol Islam di Indonesia sebenarnya lumayan besar. Dalam Pemilu 1955, gabungan suara Masyumi dan NU saja mencapai 39% lebih. Angka ini jelas jauh mengungguli PNI, pemenang Pemilu 1955 yang memperoleh sekitar 22% suara. Namun karena Masyumi dan NU terpisah sejak 1952, keduanya harus berada di urutan kedua dan ketiga dalam perolehan suara.

Angka 39% itu menjadi kisaran total perolehan suara parpol Islam yang terus berulang dalam pemilu bebas dan multipartai di Indonesia. Pemilu-pemilu Orde Baru jelas tak perlu terlalu diperhitungkan, mengingat perolehan suara dalam pemilu-pemilu itu sangatlah jauh dari cerminan realitas politik di masyarakat (kecuali mungkin Pemilu 1971 dimana grip negara masih belum terlalu kuat, dan parpol yang ada masih belum ditundukkan dalam fusi 1973). Kisaran 39% itu muncul dalam Pemilu 1999 dan 2004. Dalam bejana 39% inilah parpol-parpol Islam berbagi dan berebutan suara. Ketika perolehan suara suatu partai naik, perolehan suara partai lain turun. Begitu adanya.

Namun angka di QC yang saya lihat menunjukkan bahwa total perolehan suara parpol Islam kini hanya menjadi sekitar 29% (bahkan mungkin 28%). Hampir semua partai Islam mengalami penurunan suara secara signifikan. QC itu mencatat bahwa PKB kini hanya memperoleh kira-kira separuh dari prosentase suara yang dicapainya tahun 2004. PPP dan PAN memang tidak separah itu, namun keduanya juga turun. Partai-partai politik Islam baru (termasuk PMB dan PKNU) gagal menunjukkan prestasi. PKS, kendati mencatatkan sedikit penaikan suara, jelas-jelas bakal gagal membuktikan kemampuannya untuk mencapai target 20% suara dalam pemilu ini.

Parpol Islam keok. Itu faktanya. Bejana itu telah mengecil. Begitulah nampaknya.

Lalu apakah kira-kira penyebab semua ini? Faktor terpenting tentu saja adalah kemampuan partai nasionalis-sekuler-moderat untuk menyedot pemilih secara sangat signifikan. Lejitan Partai Demokrat ke peringkat pertama sangat boleh jadi dimungkinkan karena partai ini berhasil menarik pemilih-pemilih pinggiran (dalam arti bukan pemilih sosiologis apalagi ideologis) dari partai-partai Islam yang ada. Prestasi PD ini jelas-jelas mengejutkan semua pihak, termasuk saingan terdekatnya sesama partai nasionalis, baik yang moderat (Golkar) maupun yang radikal (PDI-P).

Selain itu, ada beberapa faktor internal parpol-parpol Islam yang turut mengumbang pengecilan bejana ini. Yang paling kasat mata adalah absennya kohesifitas antara parpol-parpol Islam. Mereka terbelah secara sangat efektif menurut garis-garis rivalitas teologis. Hal ini telah turut menyebabkan parpol-parpol Islam ini sulit untuk mengelola isu politik secara efektif dan produktif. Tidak banyak konsern gabungan yang bisa digotong bersama-sama oleh parpol Islam yang ada. Mereka bukan saja memisah, namun juga sulit disatukan dalam koalisi atau bahkan sekadar aliansi strategis yang cukup permanen.

Kebanyakan parpol Islam juga sangat tergantung pada figur, dan cenderung gagal melakukan institusionalisasi agar partai bisa mengembangkan mesin politik yang kuat dan efektif. Ketergantungan pada figur ini juga telah menyebabkan banyak parpopl Islam yang sangat rentan pada konflik internal yang sangat serius. Munculnya parpol Islam baru belakangan ini adalah buah konflik itu. Parpol Islam sempalan ini jelas menimbulkan efek penggembosan di partai induknya, sementara saat yang sama mereka gagal membuktikan kemampuan untuk mengembangkan diri (seperti PMB dan PKNU yang nampaknya alamat gagal memenuhi syarat threshold 2,5%).

Faktor lain kiranya adalah image parpol Islam yang tak begitu mulus dalam lima tahun belakangan. Deraan berita korupsi yang dilakukan oleh anggota DPR RI (juga DPRD) dari beberapa partai Islam (termasuk PPP, PKB, PBR dll) sangatlah mengganggu citra kalangan ini. Pengembalian uang suap yang diterima oleh anggota F-PKS di DPR RI tak bisa dengan mudah menjaga partai ini dalam citra bersihnya. Pertanyaan beberapa kalangan ialah: mengapa dikembalikan? bukankah sebagai partai Islam seharusnya semua menolak uang suap itu dalam bentuk apapun?

Dan akhirnya, pola komunikasi politik yang ‘excluding‘ telah jelas-jelas menyumbang kemerosotan energi parpol Islam itu. Ini yang telah terjadi pada PKS. Tahun 1999, PK bisa menuai simpati dengan cepat, lalu PKS dalam pemilu berikutnya menaikkan suara secara sangat signifikan, antara lain karena pencitraan diri sebagai partai yang perduli, bersedia mendengar, santun dan rendah hati. Tapi dua tahun belakangan, PKS lebih nampak sibuk dengan pameran ‘kebersihan’, dan berbangga diri dengan kekuatan serta klaim kemenangan politik (termasuk dalam banyak pilkada). Tanpa sadar, pimpinan PKS kerap membuat sikap yang seolah-olah tak lagi membutuhkan dukungan simpatisan di luar kelompoknya, pada saat mereka berancang-ancang untuk membawa partainya catch-all. “Saya telah kuat”, itulah kesan yang sadar atau tidak telah dibangun oleh PKS. Ini telah ‘mengusir’ simpatisan dan calon simpatisan untuk menjauh; dan kini akibatnya cukup fatal.

***

Keempat faktor utama di atas harus segera dikoreksi, jika para eksponen parpol Islam tak ingin bejana mereka kian lama kian mengecil lagi. Langkah-langkah korektif untuk menanggulangi keempat masalah itu harus segera diambil secara simultan.

Atau, jangan-jangan kemerosotan ini memang kita perlukan sebagai bagian dari proses alamiah ke arah penyederhanaan partai?

Wallahu a’lam bissawab.

[Ditulis untuk Jakartabeat]
——–

* Lihat misalnya: http://pemilu.detiknews.com/quickcount

** http://tnp.kpu.go.id/tab2009/