Categories
Politik

Para Pandega

Salah satu faktor yang nampak sangat kuat mengemuka dalam kisruh RUUK DIY dan pernyataan SBY yang direspons oleh gelombang protes sebagian kalangan di Yogya adalah kepemimpinan. Kita melihat dengan jelas ada masalah dalam kepemimpinan, baik di lingkup nasional maupun di lingkup Yogya. Dengan kata lain, terlihat ada persoalan dalam kepemimpinan SBY maupun kepemimpinan Sultan HB X.

Di sisi SBY, saya selalu tak habis pikir dengan keterbelengguannya dalam deal politik elit. Ini sangat melelahkan, terlebih lagi mengingat ia sebenarnya sangat legitimate secara formal: lebih dari 60% suara rakyat ia kantongi. Kenyataannya, dengan suara sebesar itu SBY tak berdaya melepaskan diri dari kungkungan politik elit. Ia tak akan mungkin berbuat banyak jika bertentangan dengan kepentingan Aburizal Bakrie dan Golkar. Di saat yang sama ia harus selalu memperhitungkan silang politik dengan Surya Paloh dan Nasional Demokrat-nya. Sudah barang tentu, posisi politik PDI-P di bawah komando Megawati adalah potensi ganjalan yang terus menghantui SBY.

Ketergantungan SBY pada deal politik elit itulah yang menyebabkan penyelesaian RUUK DIY sangat bertele-tele. Lemahnya kepemimpinan menyebabkan elit politik di pusat selalu punya peluang untuk saling menyandera. Para elit saling memegang kartu masing-masing untuk menjatuhkan atau minimal melemahkan lawan politiknya. RUUK DIY ini hanyalah tema yang kebetulan terpegang, ketika para elit ini memerlukan amunisi politik. Tak ada elit politik di level nasional yang tampaknya memiliki keperdulian yang sejati tentang keistimewaan DIY. Apapun keputusannya, penetapan dan pemilihan Gubernur DIY, hal itu akan sangat rentan terhadap ‘serangan’ elit politik. SBY yang sangat tergantung pada deal politik elit akan selalu berada dalam keadaan diserang, apapun posisinya dalam isu keistimewaan DIY ini. SBY yang peragu akan kian ragu-ragu untuk memutuskan.

Selain itu, saya melihat ada tendensi untuk menganggap faktor penentuan pimpinan DIY sebagai bagian pinggiran saja dari gagasan keistimewaan provinsi ini. Selalu dikesankan oleh pemerintah pusat di bawah kepemimpinan SBY bahwa rumusan keistimewaan DIY sudah jelas untuk semua aspek, kecuali soal tatacara penentuan jabatan Gubernur. Mungkin ketidak-mampuan SBY, mungkin pula keengganannya, untuk memahami esensi persoalan bahwa kepemimpinan sebuah wilayah sangat lumrah menjadi dasar kekhasan pemerintahan wilayah tersebut. Karenanya, keistimewaan DIY pun sangat lumrah jika memang bersentra pada karakter kepemimpinannya. Menganggap enteng persoalan ini hanya akan membuat urusan kian rumit.

Di sisi Sultan HB X, saya merasakan melemahnya legitimasi politik. Sangat boleh jadi, ini disadari betul oleh beliau. Ini terlihat dari sikapnya yang terus menerus ‘menguji’ dukungan politik rakyat dan elit DIY. Kita bisa membaca pisowanan ageng dengan kacamata ini. Kita juga bisa menjelaskan beberapa kali pernyataan untuk mundur dari jabatan Gubernur DIY sebagai cara Sultan untuk menguji dukungan publik. Keterlibatan dalam politik pilpres, kepartaian dan pemilukada juga tak urung bisa kita lihat sebagai upaya Sultan untuk mencari cara memperkuat legitimasi politiknya. Sayangnya, semua itu kerap justru berefek sebaliknya.

Selain itu, terlihat juga kurang tepatnya respons terhadap perubahan sosial. Ada kecenderungan Sultan HB X memanfaatkan liberalisasi politik untuk mengejar target politik spesifik, atau kadang malah ‘meladeni’ petualangan politik sejumlah kelompok. Inilah beda beliau dengan sejumlah Raja terdahulu yang bisa ‘menunggangi gelombang’. Kita mengetahui sejarah HB VII dan caranya mensikapi reformasi keagamaan di Kauman. Kita juga memahami kehebatan HB IX dengan tindakan cepatnya dalam perubahan ketatanegaraan di tahun 1945. Kita semua berharap bahwa Sultan HB X lebih menunjukkan kapasitas untuk juga ‘menunggangi perubahan’ dan tak sekadar bereaksi terhadapnya.

***

Setelah menyoroti beberapa hal tentang kedua Pandega ini, lalu apa yang bisa kita harapkan? Kita berharap beliau berdua bisa meyakinkan masyarakat bahwa kelemahan-kelemahan dalam kepemimpinan di atas tak akan membuat persoalan ini terus berlarut-larut. Cara termudah untuk meyakinkan masyarakat adalah dengan mengadakan pertemuan khusus pada level beliau berdua, tanpa SBY dipuyengkan oleh tarik-menarik elit di Jakarta, dan tanpa Sultan dibelenggu oleh persolana legitimasi internal. Kita tunggu beliau berdua berbincang empat mata saja. Lalu kita tunggu titah untuk kita taati.

(Kedaulatan Rakyat, 11 Desember 2010)

Gambar diambil dari: http://images.detik.com/content/2010/12/06/159/SBY-Sultan-Dalam.jpg