Dua tahun lagi Pilpres. Kita semua tahu itu. Siapa saja calon-calon presiden yang akan memeriahkan pesta 2014 itu? Jika orang ditanya tentang hal ini, mungkin banyak yang bisa menjawab mudah: Ada Prabowo Subianto, ada Wiranto, ada Aburizal Bakrie, mungkin juga ada Jusuf Kalla, Megawati barangkali, atau bisa Ani Yudhoyono. Kira-kira begitu.
Lalu orang mungkin akan mulai tertegun: lho kok isinya pinisepuh semua; kok calonnya seperti tak berubah sejak 10 tahun yang lalu? Kok itu-itu lagi. Kok orang-orang tua lagi. Mereka kini sudah berusia 60an lanjut. Di usia itu Bung Karno sudah dijatuhkan dari kursi kepresidenan oleh kongkalikong CIA dan Soeharto, bukan sedang ribet mencalonkan diri.
Pertanyaan yang selalu relevan diajukan oleh banyak pihak adalah: kemana para tokoh muda? Mengapa kita hanya ditawari calon presiden berusia cukup lanjut? Terakhir kali kita melihat tokoh muda menduduki kursi kepresidenan adalah Februari 1967, ketika Jenderal Soeharto dilantik oleh MPRS menjadi pejabat presiden dalam usia 45 tahun. Setelah itu, kita melihat para orang tua bergantian memimpin negeri ini: Gus Dur, Megawati, lalu SBY. Jadi: kemana para pemuda?
Sejarah biasanya mencatatkan perubahan besar yang dimotori kaum muda. Itu sebabnya, kata ‘muda’ senantiasa digunakan untuk menyimbolkan perubahan. ‘Soempah Pemoeda’ di tahun 1928 merupakan titik penting dalam nasionalisme Indonesia, sehingga dikenallah Angkatan ’28 dalam sejarah kita. Dicatat oleh Ben Anderson, revolusi kemerdekaan di Jawa pernah pula disebut sebagai ‘Revolusi Pemoeda’. Revolusi ini dimotori oleh Angkatan ’45, yakni kaum muda revolusioner yang pernah berbeda pendapat dengan Bung Karno dan Bung Hatta dalam menyikapi perubahan politik internasional di bulan Agustus 1945. Pemuda pula yang menyebabkan buku sejarah kita mencantumkan istilah Angkatan ’66, Angkatan ’78, dan seterusnya. Tapi faktanya, peran apapun yang dilakukan oleh para pemuda pasca 1966 tak pernah lagi melahirkan pemimpin muda yang masih punya mimpi panjang.
Mengapa itu terjadi? Bagaimanakah kondisi yang ada ketika kaum muda itu efektif mendorongkan perubahan, lalu membidani lahirnya pemimpin muda? Jawabannya terletak pada kehadiran tema besar yang diusung. Sirkulasi kepemimpinan ideal seharusnya didasari pada tema, tak hanya ketokohan.
Kemudaan semata-mata (sama seperti ketuaan semata-mata) bukan variabel signifikan bagi kepemimpinan yang kapabel. Nama-nama tokoh muda yang pernah memimpin negeri kita (seperti BK dan Soeharto yang telah disebutkan di atas, juga para tokoh lain seperti Sjahrir, Soedirman, atau Nasution) tak hanya mengandalkan usia muda. Mereka adalah personifikasi tema besar dalam sejarah. Itulah legitimasi utama kepemimpinan mereka. Mereka maju ke panggung kepemimpinan bukan karena ‘muda’, melainkan karena mereka memang berada di titik tengah dalam ketokohan sosial dalam masyarakat. Mereka maju memimpin karena visi dan gagasan, bukan karena usia.
Masalahnya kini, tak ada tema besar yang menjadi pijakan untuk menggagaskan kepemimpinan kaum muda. Ini gejala unum, bukan hanya gejala kepemimpinan kaum muda. Dalam proses regenerasi kepemimpinan Indonesia belakangan tak dapat dideteksi tema yang jelas dan tegas. Inti persoalan mendasar dalam sirkulasi kepemimpinan Indonesia saat ini adalah: figure-centred, sebagai kebalikan dari issue-oriented atau program-oriented. Sangat boleh jadi, ini terkait dengan kepolitikan Indonesia yang secara umum masih belum advanced. Dalam politik seperti ini, pencitraan figur jauh lebih efektif ketimbang kejelasan visi dan program. Itu sebabnya, kaum muda tak gampang berkibar di sini. Banyak tokoh dan calon tokoh yang muncul tanpa melalui proses politik yang terpola dan berakar. Yang hadir adalah keflamboyanan tokoh (yang belum-belum sudah terselingkuh dengan pendulangan uang haram di sana-sini).
Masalah lain adalah politik kita yang kian mahal. Tanya saja pada para bupati, walikota, dan gubernur: berapa biaya politik yang harus mereka keluarkan untuk sampai ke posisi itu? Tiket pencalonan dari parpol pun sangat mahal harganya. Jalur independen memang sudah dibuka, namun, dan ongkos pencalonan oleh parpol tak perlu jadi beban. Namun, biaya kampannye tetap saja tak murah. Politik yang mahal ini hanya sanggup dijalani oleh mereka yang punya pundi-pundi gendut. Itu sebabnya di level nasional, yang sanggup membiayai kontestasi politik adalah orang-orang tua yang sudah sangat tebal koceknya. Kalaupun ada orang muda yang sanggup pasang nama di sana, mereka umumnya adalah orang muda yang tahu cara mem-by pass proses, dan berani berspekulasi politik. Kita tahu betapa riskannya spekulasi politik mereka ini.
Jadi kalau kita kembali pada pertanyaan dasar di atas: Kemana para tokoh muda? Kapan mereka akan memimpin Indonesia? Jawabannya terletak pada pembenahan politik negeri. Jika politik kita telah terbenahi, maka kontestasi politik akan banyak bertumpu pada kemampuan merumuskan visi dan program secara jelas dan konkret. Politik yang tertata akan memprasyaratkan kapabilitas (kemampuan bertindak) ketimbang afordabilitas (kemampuan membeli). Dalam fase inilah kita bisa memastikan peluang tokoh muda dengan visi dan program yang hebat, bukan orang-orang tua dengan uang dan parpol yang heboh.