Jumat malam hingga Sabtu dini hari (5-6/10/2012) kemarin, HP saya diramaikan oleh silang informasi. Teman-teman aktivis masyarakat sipil di Jakarta mengabarkan bahwa provos Polri (yang dimaksud adalah Profesi dan Pengamanan [Propam] Polri) menggerebek KPK, untuk menangkap seorang penyidik KPK, anggota Polri berpangkat Kompol. Sejumlah elemen masyarakat sipil sigap berkumpul di KPK, serta saling mengabarkan bahwa mereka akan bersama-sama menjaga KPK dari ‘serbuan’ Polri.
Di dunia maya, headshot bergambar seruan dukungan untuk KPK menghiasi akun media-sosial milik sejumlah aktivis dan akademisi. Beberapa di antaranya malah memplesetkan kepanjangan KPK menjadi “Kemana Presiden Kita?”
Apa yang bisa kita pelajari dari kejadian ini? Kita sangat perlu menyelamatkan KPK. Tapi ada hal lain yang lebih besar dari itu: kita perlu memastikan bahwa negara memiliki cukup kemauan politik untuk memberantas korupsi. Tanpa itu semua, omong kosong segala kisah pemberantasan korupsi. Persoalan terbesar pemberantasan korupsi di Indonesia adalah lemahnya greget anti-korupsi di ranah negara. Greget itu hanya kuat di ranah masyarakat sipil. Itu memang penting, namun sama sekali tidak cukup. Kita juga membutuhkan greget sekuat itu di ranah negara.
Lembaga pemberantasan korupsi hanya akan bisa berfungsi dengan sempurna jika diberi kekuatan sekaligus bekingan politik yang kuat. Yang paling diperlukan KPK adalah bekingan politik dari pemegang mandat politik rakyat. Memang KPK sudah memiliki basis kekuatan hukum, sumberdaya manusia dan dana yang memadai, namun tak terlihat adanya dukungan politik yang bisa membuatnya aman bekerja secara politis.
Dukungan politik itu penting, karena korupsi senantiasa terkait dengan kekuasaan. Korupsi adalah penyimpangan kekuasaan. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi harus dibekali dengan kekuasaan yang tidak lebih kecil dari kekuasaan para koruptor. Idealnya adalah, lembaga pemberantasan korupsi itu didukung oleh kekuasaan politik yang lebih besar daripada kekuasaan para koruptor. Masalahnya, kekuasaan politik yang lebih besar daripada para koruptor itu tidaklah dimiliki oleh masyarakat sipil. Kekuasaan itu dimiliki oleh negara. Yang mengembannya adalah dia yang memperoleh mandat dari rakyat untuk mengendalikan pemerintahan negara. Kekuasaan itu ada di Presiden. Tergantung Presiden, apakah ia akan memberikan bekingan politik besar pada KPK atau tidak.
Sejauh ini kita tak melihat bukti nyata bahwa pemegang mandat politik ini memberikan dukungan yang diperlukan KPK untuk menegakkan upaya pemberantasan korupsi. SBY tak cukup menjadi beking politik bagi upaya pemberantasan korupsi. Memang, KPK telah didukung oleh regulasi. Namun regulasi ini bisa terhenti menjadi naskah ompong, yang setiap saat bisa direvisi oleh kekuatan politik di DPR, yang dalam banyak hal ber-cross-cutting secara kuat dengan para koruptor.
Tanpa bekingan sungguh-sungguh dari pemegang mandat politik rakyat, apa yang terjadi? Yang terjadi adalah: koruptor kelas kakap selalu sanggup untuk menggerakkan piranti kekuasaan yang berada di tangannya. Seorang perwira tinggi yang tersangka pelaku korupsi masih sanggup untuk mengerahkan energi institusi milik rakyat dimana ia mengabdi, untuk membela posisi dan kepentingannya. Jelas-jelas ini sangat membahayakan keselamatan negara.
Jadi, apa yang kita perlukan? Yang kita perlukan adalah Presiden yang berani bertindak secara politik; yang tindakannya bisa menyampaikan pesan amat jelas: basmi korupsi! Di tengah semangat pemberantasan korupsi ini, kita layak mengajukan pertanyaan sederhana tapi mendasar: dimana gerangan Presiden kita berada? Bukan kata-katanya yang ingin rakyat dengar. Tindakan Sang Presiden lah yang lebih penting.
Allahu a’lam.
(Kedaulatan Rakyat, 7/10/2012)