Categories
Politik

Belajar (ke) Jakarta

Apapun yang dihasilkan oleh Pemilukada DKI Jakarta hari ini, mungkin tak ada efek langsungnya bagi warga DIY ataupun provinsi lainnya. Jokowi atau Foke, yang merasakan untung-ruginya secara langsung adalah warga Jakarta.

Namun Jakarta adalah ibukota negara. Apapun yang terjadi di ibukota negara pastilah membawa dampak secara tak langsung bagi Indonesia. Bahkan tak sedikit orang yang meyakini bahwa menang-kalah di Pemilukada DKI ini akan menentukan posisi setiap kekuatan politik di Pemilu dan Pilpres 2014. Jika Anda tak termasuk yang meyakini pendapat itu, tidak masalah. Kita tetap bisa menjadikan Pemilukada DKI ini sebagai tempat belajar.

Apa saja yang bisa kita pelajari? Yang paling jelas, kita melihat aroma primordialisme dalam pemilukada ini. Dari Jakarta kita mendapat berita bahwa primordialisme masih tetap (atau kian menguat) sebagai tema dalam perebutan konstituen. Baik Foke maupun Jokowi sebenarnya sama saja dalam hal ini. Bedanya terletak pada caranya saja. Foke mungkin lebih brutal dan nampak serudukan, sementara Jokowi melakukannya secara lebih samar dan tersirat. Jika diperhatikan baik-baik, keduanya sebenarnya mengungkit isu primordial dengan sangat cermat.

Foke adalah Betawi asli yang beragama Islam. Karena itu, latar-belakang inilah yang ia tonjolkan sebagai cara untuk mendulang dukungan. “Kelemahan” dalam latar belakang Ahok ia kemukakan secara terang-terangan, baik oleh dirinya sendiri, oleh calon wakilnya, maupun oleh jejaring pendukungnya. Ia meminta orang Betawi dan orang Islam memilih dirinya. Itu yang ia lakukan. Bahkan tak jarang, ia tak ragu untuk mengucapkan kalimat sedikit berbau SARA di depan publik.

Banyak orang menudingnya tengah panik sehingga tak terkontrol, namun saya ragu akan hal itu. Foke pasti telah menimbang secara matang seluruh efek politik dari ucapannya. Mungkin saja justru kontroversi adalah efek yang sengaja hendak diciptakan.

Jokowi? Nampaknya walikota Solo ini sadar betul bahwa lebih dari 30% penduduk DKI berlatar belakang etnik Jawa. Komposisi terbesar dalam pemilih DKI adalah orang Jawa — bukan orang Betawi. Dia juga pasti paham bahwa etnis Cina juga signifikan di DKI, setidaknya di kantong-kantong wilayah tertentu. Karena itu, Jokowi masuk di ruang ini.

Jokowi banyak bercerita tentang keberhasilannya dalam menjalankan program pemerintahan di Solo. Tentu saja ini adalah semacam janji untuk diwujudkan di DKI. Tapi secara psiko-politik, Jokowi sebenarnya tengah memainkan efek nostalgik pada warga Jawa di DKI. Ia tengah memposisikan diri sebagai ‘penyelamat dari Jawa’. Sangat boleh jadi, inilah faktor utama keberhasilannya memperoleh suara signifikan. Jika Foke meminta orang Betawi memilihnya, Jokowi meminta orang Jawa mendukungnya. Jadi, mereka memang setali tiga uang dalam hal primordialisme. Jokowi hanya bermain lebih cantik. Itu saja.

Masalahnya, primordialisme punya risiko berupa konflik dengan kekerasan jika tak dikelola dengan baik. Tapi kita lihat sejauh ini, tak ada konflik dengan kekerasan dalam Pemilukada DKI. Mungkin dari hal inilah kita juga bisa belajar bahwa prosedur demokrasi (seberapapun mahalnya) bisa menjadi ruang penyerapan konfllik, jika prasyarat-prasyaratnya terpenuhi. Prasyarat utama adalah lancarnya saluran aspirasi kepentingan. Prasyarat lain adalah transparansi dalam seluruh proses dan tahapan prosedur demokrasi itu.

Di banyak daerah, tak jarang kita temui pemilukada yang ditemani atau disusul oleh kerusuhan. Tapi DKI sejauh ini masih aman dari hal itu. Masyarakat DKI memiliki saluran aspirasi lebih baik dari rata-rata daerah lain. Pun, civil society berfungsi jauh lebih baik, sehingga mereka bisa mendesakkan transparansi.

Tentu saja kita bisa katakan bahwa energi politik warga dan elit Jakarta lebih banyak terserap oleh politik nasional ketimbang oleh politik lokal DKI. Hal ini bisa saja turut menyumbang pada rendahnya kerentanan Pemilukada DKI terhadap konflik dengan kekerasan.

Namun itu berarti kita memang tak perlu menghabiskan seluruh energi hanya untuk urusan pemilukada dan rekrutmen politik, apalagi hingga mengorbankan integrasi masyarakat. Bukankah kita tahu bahwa dalam politik pelanduk kerap bertarung, hanya untuk mempersembahkan kemenangan pada para gajah?

(Kedaulatan Rakyat, 20/9/2012)

Sumber gambar: http://valetourism.net