Categories
Politik

Politik Tanpa Teladan

Sejumlah pengurus yang dimotori Harry Tanoesoedibjo ramai-ramai mengundurkan diri dari Partai NasDem. Alasan utama pengunduran diri itu adalah karena Surya Paloh mengincar posisi Ketua Umum partai tanpa melalui mekanisme yang seharusnya. Harry Tanoe mengaku tak setuju dengan cara itu, sehingga dia tinggalkan Partai NasDem untuk dikendalikan penuh oleh Surya Paloh, pendiri Ormas NasDem yang segala halnya adalah kembar siam terhadap Partai NasDem.

Publik terkejut, terutama karena Harry Tanoe boleh dibilang energi penting di partai ini. Apakah Partai NasDem akan layu sebelum berkembang? Saya kira bukan itu yang penting untuk dibahas. Partai tanpa basis ideologi yang jelas seperti Partai NasDem ini tak akan memberi risiko negatif apapun pada demokrasi kita jika pun ia layu sebelum berkembang. Yang lebih penting untuk dibahas adalah bahwa kejadian di Partai NasDem menunjukkan adanya satu masalah besar dalam politik, yakni dusta publik yang tak ragu dilakukan oleh politisi. Publik tak diberi teladan yang baik, dan justru ‘diajari’ tentang jurus tipu muslihat dalam politik.

Pertama kali, NasDem didirikan sebagai ormas, dan Surya Paloh berjanji bahwa ormas ini tak akan jadi parpol. Lalu belakangan berdirilah Partai NasDem secara ‘terpisah’ dari ormas NasDem, namun Surya Paloh muncul di mana-mana dalam setiap acara partai NasDem. Pidatonya sebagai ‘Ketua Ormas NasDem’ dalam acara ‘Partai NasDem’ kerap ditayangkan secara panjang di stasiun TV miliknya.

Betapa publik diperlakukan seperti barisan orang bodoh. Memang janji untuk tak mengubah Ormas NasDem menjadi parpol tak dilanggar, namun publik tahu bahwa ini adalah langkah tipu-tipu yang terlalu kentara. Aksi tipu-tipu ini memang tak bisa secara formal disalahkan. Tapi ketidak-raguan pihak tertentu untuk melakukan langkah tipu-tipu yang lihai seperti itu menurut saya adalah cerminan dari iktikad politik yang bengkok. Padahal sebenarnya ada jalan tak bengkok dalam urusan ini.

Literatur ilmu politik modern menekankan bahwa antara kelompok kepentingan dan partai politik hanya ada batas perbedaan yang tipis. Parpol dan kelompok kepentingan sama-sama memiliki tujuan untuk mempengaruhi kebijakan. Bedanya, parpol mengejar jabatan publik, sedangkan kelompok kepentingan tidak. Dengan perbedaan yang tipis ini, maka lumrah saja jika kelompok kepentingan berubah menjadi parpol dan sebaliknya, tergantung kebutuhan aktualisasi lembaga. Tak ada yang haram dalam perubahan ini.

Tapi toh ada saja yang mengambil jalur tipu-tipu, ketimbang jalur legal. Ormas NasDem yang deklarasinya melibatkan tak kurang dari 45 nama penting ini sebenarnya boleh saja berubah jadi parpol. Namun jika ormas ini sejak awal dinyatakan secara terbuka untuk menjadi parpol di kemudian hari, tentu hanya sedikit nama besar yang mau hadir dalam deklarasinya. Kejujuran adalah benda berbahaya di sini. Hanya dengan keprigelan yang hebat saja maka ormas ini bisa berjalan, saat pada akhirnya berdiri juga Partai NasDem yang bahkan logonya cuma versi tengkurap dari logo Ormas NasDem.

Partai NasDem tumbuh makin pesat sejak taipan Harry Tanoe bergabung dan memberinya energi tambahan. Tapi kini, sang taipan harus mengalah pada gelagat asli sejak Ormas NasDem didirikan, yakni bahwa Surya Paloh butuh parpol untuk kendaraannya. Golkar bukan lagi wahana yang tepat baginya.

Tentu saja terserah para elit politik tentang apa yang akan dilakukannya di parpol masing-masing. Tapi kita, masyarakat banyak, kiranya perlu paham bahwa keteladanan politik amat kita butuhkan untuk menuntaskan transisi. Sudah hampir 4 pemilu, teladan politik yang kita dapat dari para politisi utama bukannya kian baik, malah kian parah. Jika seperti ini yang terus berjalan, publik perlu melihat bahwa inilah contoh yang tak boleh ditiru.

Namun dengan begitu banyaknya kader muda di Partai NasDem, saya amat kuatir bahwa perilaku semacam ini perlahan mereka anggap layak. Semoga bukan dengan jurus tipu-tipu pula mereka songsong pemilu kelima yang amat menentukan, di tahun 2019.

Allahumma amin.