Mundur?

Beberapa minggu lalu, saya berbincang dengan seorang teman dari World Bank. Saat itu media baru saja reda meributkan foto-foto pertemuan Fadli Zon dan Setya Novanto dengan konglomerat Donald Trump. Teman ini bertanya pada saya: “why clowns like them got elected and re-elected?” Kok bisa, kata dia, wong ndhagel seperti itu kok terpilih terus jadi anggota dewan.

Saya jelaskan padanya, bahwa politik elektoral di Indonesia seringkali tak terkait dengan elektabilitas. Kadang, urusannya adalah afordabilitas, alias kemampuan untuk membeli. “To afford what?“ tanya dia. Saya jawab: mampu membeli kekuasaan.

Ada beberapa cara yang dilakukan oleh politisi untuk membeli kekuasaan. Pertama, di ranah masyarakat, mereka bisa membeli kekuasaan dengan melakukan suap agar pemilih memberikan suara pada mereka. Kedua, agak ke tengah sedikit, mereka bisa menyuap penyelenggara pemilu untuk melakukan manipulasi suara demi keuntungan mereka. Konon, cara kedua ini memiliki unit cost yang lebih kecil dibandingkan cara pertama. Ketiga, di ranah lebih atas lagi, urusan membeli kekuasaan dilakukan antar sesama elit politik, dengan mutual exchange antara mereka. Di ranah ini, politik sangat mirip bazaar, dimana para elit saling mempertukarkan kekuatan yang mereka punya, sehingga masing-masing menjadi sama-sama kuat dan aman. Para elit saling memberi, saling menerima, lalu saling dukung dan saling menutupi aib masing-masing.

Jadi, interaksi dan pola ketergantungan antar elit itu jauh lebih menentukan stabilitas kekuasaan, ketimbang dukungan masyarakat terhadap elit. Seorang politisi bisa saja goyah dilihat dari dukungan publik, namun ia bisa tetap bertahan asal dukungan elit masih aman. Memang, mutual exchange ini butuh dana. Di sinilah mega-korupsi kerap terjadi. KPK mungkin bisa melabrak banyak koruptor. Namun, mega-korupsi yang terkait dengan mutual exchange antar elit politik ini biasanya susah disentuh.

Obrolan dengan teman dari World Bank ini jadi relevan untuk saya rujuk, guna memahami apa yang terjadi kemarin di Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dalam kasus Setya Novanto dan rekaman permintaan saham yang mencatut nama Presiden Jokowi.

Sejak awal, kasus ini jelas merupakan indikasi berlangsungnya negosiasi ulang antar aktor-aktor besar dalam elit politik, terkait dengan pertanyaan paling dasar dalam politik: siapa memperoleh apa. Sistem ketata-negaraan kita yang rancu menyebabkan pola pembagian sumberdaya politik sangat ditentukan oleh kesepakatan-kesepakatan jangka pendek antar elit. Karena jangka pendek, maka kesepakatan-kesepakatan itu kerap dinegosiasi ulang, hingga ketemu pola pembagian sumberdaya yang paling nyaman antar elit. Reshuffle kabinet bisa kita pahami dalam perspektif ini pula.

Disebut-sebutnya nama Setya Novanto, lalu disusul manuver Luhut Pandjaitan, dilanjutkan dengan memanasnya situasi MKD menjelang sidang putusan SN, menunjukkan bahwa kasus ini mungkin cuma bagian dari upaya para elit untuk saling menguji posisi, agar bandrol mereka dalam bazaar politik nasional menjadi lebih jelas. Ranah negara masih merupakan arena paling ‘basah’ di Indonesia. Jika Anda ingin kaya-raya, bermainlah di ranah ini. Karena banyak yang berminat serupa, maka pintar-pintarlah mengelola bagi hasil antar sesama pemain.

Dalam kasus SN, media massa banyak menyoroti persoalan etika politik. Tak sedikit kalangan yang meminta agar SN dicopot dari posisinya saat ini. Namun bagi para elit politik, opini publik ini hanya sekadar arah angin yang harus mereka gunakan secara cermat, untuk menciptakan tekanan yang tepat dalam medan perang di sidang MKD. Dicopot atau tidak dicopotnya SN bukan hal paling penting. Bagi para elit politik, yang terpenting adalah setiap pihak memperoleh bagian yang layak.

Karena itu, kabar bahwa SN mengundurkan diri di tengah memanasnya suhu politik DPR tak bisa kita sambut terlalu gembira. Persoalan korupsi dan pelanggaran etika di Senayan masih jauh dari selesai. Ruang bermain SN mungkin memang sudah berkurang. Namun, pola interaksi antar elit masih tetap akan berjalan seperti sediakala, dan Freeport masih tetap melenggang sebagaimana biasa. Negeri ini memerlukan perombakan agak menyeluruh agar politik bisa berjalan dengan lebih beradab. SN mundur, dicopot atau tetap berkuasa tak akan membuat politik kita terlalu berbeda.