Kagetkah Anda ketika seorang Bupati ditangkap sedang dalam keadaan teler karena narkoba? Jika iya, ada dua kemungkinan. Pertama, Anda punya standar moral yang tinggi, sehingga menurut Anda seorang pimpinan politik tak boleh terlibat malima. Lima dosa besar ini pantang dilakukan oleh orang baik: main (judi), madon, maling (korupsi), madat (narkoba), dan mabuk-mabukan. Pimpinan politik yang maling sudah sering kita dengar kabarnya. Yang madon juga tak sedikit. Kini ada yang madat tertangkap basah.
Kemungkinan kedua, Anda bisa saja tak cukup mengetahui bahwa politik elektoral di Indonesia memungkinkan masuknya orang-orang tak-baik ini ke ruang kepemimpinan politik. Total, terdapat hampir 500 pasang kepala daerah dan wakil kepala daerah di Indonesia. Berapa persen yang benar-benar punya bayangan tentang cara mensejahterakan rakyat? Tak banyak. Sebagian besar sibuk dengan hal-hal yang bersifat mercusuar, simbolik bahkan jargonis. Yang lain sibuk mengatur moralitas individual warga. Kepala-kepala daerah yang hebat (pernah) muncul secara random di Bandung, Banyuwangi, Bentaeng, DKI, Kebumen, Solo, Surabaya, Yogyakarta. Mereka bukan produk normal dari sistem politik dan kepartaian kita. Nah, sebagian lagi posisi kepala daerah memang diisi oleh orang-orang dengan kualitas individu buruk, namun memiliki modal kapital yang melimpah. Kalau Anda dalami kasus-kasus di sejumlah daerah, bakal terlihat sejumlah pimpinan politik yang tak punya kapasitas sebagai panutan, namun luar biasa kaya raya karena kendali atas sumberdaya alam, atau karena politik dinasti. Mereka-mereka ini diberi peluang oleh politik elektoral untuk memegang legitimasi menentukan hajat hidup orang banyak. Sebagian dari mereka bukan orang yang bersih dari malima.
Bukan berarti kita harus tak percaya lagi pada politik elektoral. Separuh dari urusan demokrasi sangat ditentukan oleh politik elektoral. Separuhnya lagi ditentukan oleh kapasitas partisipatif masyarakat. Kasus-kasus malima yang menimpa para politisi sebenarnya adalah indikator buruknya kinerja demokrasi di lingkup partisipatoris itu. Kalau kita melihat kepala-kepala daerah berguguran satu per satu karena kasus malima, kesalahannya bisa jadi juga terletak di tangan pemilih yang tak cukup cerdas menentukan pilihan. Lemahnya kapasitas partisipatif di kalangan pemilih adalah salah satu faktor yang turut menyebabkan politik elektoral kita malah menyodorkan legitimasi politik pada orang-orang kaya tapi tak layak menjadi panutan.
Kasus tertangkapnya nDara Bupati yang sedang madat itu adalah teguran keras justru kepada para pemilih untuk menguatkan kapasitas partisipatif. Kalau partisipasi masyarakat buruk, maka demokrasi elektoral tak akan sanggup melahirkan pimpinan politik yang mampu mengawal pemerintahan yang akuntabel. Sebaliknya, kapasitas partisipatif masyarakat-lah yang mampu memaksa pemerintahan untuk lebih akuntabel. Itulah yang antara lain menjelaskan kenapa Pemerintahan DIY menduduki ranking teratas dalam akuntabilitas pemerintahan, meski daerah ini memiliki “cacat” dari ukuran demokrasi elektoral.
DKI nyungsep di ranking 18 meski gubernurnya dipilih langsung dan dirayakan media, sebab kapasitas partisipatif masyarakat tak begitu bagus. Noisy, iya. Partisipatif, belum tentu. Apotheosis bahkan.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk tak lelah turut mengawasi pemerintahan. Masyarakat harus mau terlibat aktif dalam upaya mewujudkan akuntabilitas sosial dalam pemerintahan. Jika sedang berpartisipasi dalam pemilu, penting untuk tahu persis siapa yang akan kita pilih. Tentu catatan klise ini tetap penting: hindari money politics. Sebagian besar orang-orang berperilaku buruk di kursi pimpinan politik itu bisa menang pemilu karena membeli suara pemilih, bukan karena mereka memang menunjukkan kapasitas memimpin. Kita mungkin telah turut membuat pemilu menjadi urusan affordability, bukan electability. Itu sama artinya kita menyorongkan kursi pimpinan politik pada orang tak-baik, lalu kita tawarkan pada mereka: “malima, nDara?”*
———-
* Cara membacanya: molimo, ndoro?