Categories
Politik

Bukan Oknum, Pak Beye…

Wacana pengalihan kasus Gayus dari Polri ke KPK tak berlangsung lama. Agak tumben-tumbennya, Presiden SBY segera memberikan keputusan agak tegas dan tak ragu-ragu: ia mempercayakan pada Polri untuk menuntaskan kasus mafia pajak dengan terdakwa Gayus HP Tambunan. KPK, tegas sang Presiden melalui Jubirnya, bisa menangani kasus Gayus lainnya yang belum ditangani kepolisian. KPK nampaknya mengaminkan keputusan ini. Baiklah kita tunggu kelanjutannya.

Namun sementara menegaskan dukungannya pada Polri untuk melanjutkan penanganan kasus ini, SBY juga menyampaikan sesuatu yang sangat bisa kita kritisi. Lewat Jubir Kepresidenan pula, SBY menegaskan keyakinannya bahwa institusi Polri masih kredibel. Kasus kaburnya Gayus dari Rutan Brimob ke Bali, yang turut mengungkap praktik suap yang melibatkan Karutan Kompol Iwan Siswanto, semata-mata adalah karena ulah oknum polisi. Dengan kata lain, SBY menegaskan bahwa hal ini sama sekali bukan mekanisme institusi.

Benarkah demikian? Banyak fakta yang akan dengan senang hati membantah substansi pernyataan SBY tersebut. Banyak informasi yang bisa menjadi dasar bagi kita untuk mengatakan bahwa yang kita lihat dari ulah Gayus dan Iwan adalah sebagian kecil saja dari mekanisme yang sangat terlembaga di birokrasi kita.

Sistem hukum, fiskal dan birokrasi kita masih sangat transaksional. Di sana juga terdapat pola rekrutmen jabatan yang ‘berbayar’. Banyak sekali jabatan birokrasi yang sangat mirip dengan kesertaan di sebuah club: ada joining fee dan ada regular fee. Untuk menduduki sebuah jabatan, seseorang kerap harus membayar sejumlah tertentu. Semakin strategis dan basah sebuah jabatan, semakin mahal harganya. Pun, saat seseorang itu sudah berada dalam jabatan tersebut, ia harus secara berkala memberikan ‘setoran’ pada atasannya. Dari mana uang setoran itu berasal? Tentu saja dari ‘basahan’ yang ia dapat di jabatan itu.

Jabatan Karutan Brimob sangat boleh jadi adalah posisi yang bertarif tinggi. Demikian pula setoran rutin yang diharapkan dari sana, bukan mustahil cukup tinggi. Joining fee dan regular fee-nya besar. Maka siapapun yang ada di sana akan selalu didorong oleh prosedur setoran itu, dan akan menjadikan tahanan di rutan itu sebagai tambang uang. Iwan dan Gayus ‘kebetulan’ saja tengah berada dalam pola hubungan yang semacam ini. Di dalam mekanisme itu, ‘kesalahan’ mereka satu-satunya adalah: mereka terekspose pada publik.

Hukum terhadap keduanya tentu saja harus ditegakkan. Namun menindak kedua pelaku bukanlah obat paling mujarab bagi persoalan ini. Menghukum keduanya, seberat-beratnya, memang akan memberi efek jera, sekaligus rasa puas bagi kegeraman publik. Namun jika tindakan yang diambil cuma berhenti disana (plus pembenahan terbatas dalam pengelolaan Rutan Brimob), maka kita boleh berharap bahwa dalam beberapa waktu ke depan kita akan memperoleh kejutan serupa, terus-menerus.

Oleh karena itu, yang diperlukan negeri ini adalah upaya perubahan mendasar, agar sistem hukum dan birokrasi kita tak lagi transaksional. Perombakan watak transaksional ini memerlukan kemauan sungguh-sungguh dari semua kalangan, tentu saja dengan komando yang tegas dari pimpinan nasional. Jika watak transaksional ini tak dirombak, maka negeri ini akan sanggup menampilkan lakon Iwan-Gayus tanpa pernah henti. Stok kita banyak.

Adalah sangat mencengangkan bahwa Presiden RI justru menegaskan bahwa yang terjadi belakangan ini adalah ulah segelintir orang semata-mata, dan bukan persoalan institusional. Di saat kita semua justru memerlukan ‘komando’ yang tegas dari sang Presiden untuk memperbaiki persoalan sistemik ini, pernyataan semacam itu sangat membebani.

Padahal saya yakin, Pak Beye pasti tahu, ini bukan urusan oknum…

———-

(Kedaulatan Rakyat, 26 November 2010)

Sebagian dari tulisan ini adalah penggalan dari http://agkarim.staff.ugm.ac.id/2010/11/20/setelah-geram-reda/

Gambar diambil dari http://static.inilah.com/data/berita/foto/976272.jpg

Bukan Oknum, Pak Beye…