Tahun 1921, tokoh Sarekat Islam (SI) Bandung, Hadji Sanoesi, dikontak oleh pemimpinnya di Surabaya, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, untuk sebuah urusan pribadi. Saat itu, Kang Uci (panggilan Sanoesi) pastilah tak menyangka bahwa urusan ini bakalan berbuntut panjang.
Pak Tjok (panggilan Tjokroaminoto) meminta bantuan Kang Uci untuk menguruskan akomodasi seorang kader politiknya yang paling menonjol, yang akan kuliah di THS (Technische Hogeschool) di Bandung. Kang Uci kemudian menawarkan kader politik Pak Tjok ini untuk tinggal di rumahnya selama kuliah. Yang ditawari tak menolak. Kader politik ini lalu berangkat ke Bandung, ke rumah Kang Uci.
Siapakah kader politik andalan Pak Tjok ini? Ia tak lain adalah Soekarno.* Tak lama setelah mulai kuliah di Bandung, oleh Pak Tjok Soekarno dinikahkan dengan Oetari, putri pertama Ketua SI ini. Keduanya tinggal di Bandung di rumah Kang Uci selama beberapa waktu. Namun perkawinan ini berumur sangat pendek. Soekarno dan Oetari bercerai tanpa keduanya sempat hidup seperti layaknya suami-istri. Perkawinan mereka unconsummated. Setelah bercerai, Oetari pulang ke Surabaya, dan Soekarno meneruskan pendidikan di Bandung. Ia tetap tinggal di rumah Kang Uci.
Di rumah ini, Kang Uci tinggal bersama istrinya yang bernama Inggit Garnasih. Dialah yang sehari-hari mengurus rumah Kang Uci ini, yang di dalamnya tinggal pula beberapa mahasiswa THS lain, tak cuma Soekarno. Di antara para mahasiswa yang tinggal di sana, Soekarno-lah yang paling menonjol dan secara fisik juga paling terlihat bagus. Berbeda dari para mahasiswa lain, Soekarno tak terlalu banyak menikmati kehidupan malam dan lebih banyak bertemu teman-teman aktifis politiknya di rumah Kang Uci. Alhasil, sehari-hari Soekarno banyak bertemu dengan Inggit Garnasih.
Singkat kata, Soekarno yang saat itu berusia 20 tahun jatuh cinta pada Inggit yang berusia 35 tahun. Selisih usia mereka sama seperti selisih usia Rasulullah s.a.w. dan ummul-mu’minin Khadijah binti Khuwailid. Bedanya, Inggit adalah istri orang, dan Soekarno adalah seorang duda belia.
Soekarno tahu betul, betapa kuatnya hambatan untuk memiliki Inggit. Namun ia menolak untuk menyerah. Soekarno yang sudah kepalang jatuh cinta pada Inggit Garnasih kemudian memutuskan untuk mengambil langkah yang nekad namun heroik. Apakah yang Soekarno lakukan? Soekarno pergi menemui Kang Uci. Yang ia lakukan adalah melamar Inggit Garnasih. Harap dicatat: dia melamar bukan pada ayah Inggit, melainkan pada suaminya.
Inilah salah satu langkah paling berani (atau paling nekad?) yang dilakukan Soekarno dalam hidup pribadinya. Entah telah diperhitungkan atau tidak oleh Soekarno, ternyata Kang Uci, setelah beberapa lama mempertimbangkan, mengabulkan permintaan itu. Kang Uci menyerahkan istrinya untuk dinikahi oleh Soekarno. Pengusaha kaya ini menceraikan Inggit dengan baik-baik, dan beberapa bulan kemudian Inggit dinikahi oleh mahasiswa nekad yang bahkan belum punya penghasilan tetap itu. Kalender saat itu menunjukkan angka tahun 1923.
Sejarah kemudian mencatat, Inggit-lah yang turut menempa Soekarno. Dialah yang mendukung perjuangan calon proklamator itu. Inggit-lah tulang punggung ekonomi keluarga, sebab Soekarno menolak untuk bekerja sebagai arsitek selulus THS, dan memilih untuk memimpin pergerakan nasional. Inggit-lah yang turut mengatur jadwal dan akomodasi Soekarno berpidato di depan massa untuk menyebarkan benih nasionalisme. Dialah pula yang mendampingi masa-masa Soekarno dipenjara di Bandung, lalu dibuang ke Ende, dan kemudian ke Bengkulu. Inggit-lah sumber inspirasi politik kedua bagi Soekarno, setelah Tjokroaminoto. Bersama Inggit-lah Soekarno menuangkan gagasan hibrida politiknya dalam tulisan Nasionalisme, Agama dan Marxisme (1926), yang merupakan cetak-biru format ideologi negara yang 20 tahun kemudian didirikannya.
Semua ini diawali oleh sebuah kenekadan cinta yang barangkali tidak (atau belum) ada tandingannya dalam sejarah. Semua dimulai oleh keugalan Soekarno, yang memutuskan untuk mengikuti angin mahabbah yang melambai memanggilnya…
***
Catatan:
* Sebelum tahun 1947, Bung Karno menuliskan namanya sebagai ‘Soekarno’. Sejak diberlakukannya ejaan Soewandi pada tahun itu, penulisan nama ini berubah menjadi ‘Sukarno’.
—
PS. Cerita ini bisa ditemukan di beberapa buku, termasuk:
- Ramadhan K.H. 1981. Kuantar ke gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno. Jakarta, Sinar Harapan, 1981.
- Sukarno. 1965. Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams. New York, Bobbs-Nerrill.