Dulu sekali, di awal-awal berdirinya Jamaah Shalahuddin UGM tahun 1980an, konon banyak kisah menarik tentang aktivisnya. Waktu itu hampir tak ada mahasiswi yang berjilbab. Juga tak ada aktivis yang berusaha tampil dan beraksen Arab. Semua biasa-biasa saja. Namun mereka bersemangat untuk merintis kegiatan yang lebih agamis bagi mahasiswa.
Author: Gaffar Karim
Madura kampung halaman saya adalah kawasan Muslim yang menyenangkan. Islam adalah mayoritas di sana. 90% penduduknya adalah Muslim. Yang 10%? Muhammadiyah. (Hehehe… Saya ngakak terpingkal-pingkal ketika mendengar guyonan ini pertama kali saat mengikuti ceramah Cak Nun di Universitas Airlangga).
Tahun lalu, Ramadlan saya agak membuat ngos-ngosan. Hari-hari pertama berpuasa saya berada di Michigan. Saat itu bumi bagian utara sedang memasuki musim panas, sehingga hari menjadi panjang. Sahur memang biasa-biasa saja, sekitar jam 2.30. Namun kita harus menunggu hingga jam 22 untuk berbuka puasa.
Suatu ketika saat masih SMP, saya dipanggil oleh Kepala Sekolah (Kepsek) karena membawa motor ke sekolah. Itu pelanggaran peraturan sekolah dan lalu-lintas karena usia saya yang baru 14 tahun. Pak Arief, Kepsek itu, menasehati saya dan beberapa teman secara panjang lebar tentang kesalahan yang telah kami lakukan. Beliau mengatakan bahwa para mahasiswa di Yogya amat sedikit yang bawa sepeda motor saat kuliah. Mereka pada naik sepeda, sehingga tak perlu keluar uang untuk bensin. Uangnya, kata Pak Arief yang alumnus Fakultas Pedagogik UGM, dipakai untuk membeli makanan bergizi sehingga mahasiswa di Yogya pintar-pintar.
Di kelas, saya kerap katakan pada mahasiswa: “Kalian harus bersyukur hidup di jaman yang sudah bebas dan demokratis. Kalian tak mengalami masa seperti Orde Baru, dimana buku-buku akademik kerap dilarang beredar karena menyenggol penguasa. Kalian bebas berdiskusi tentang tema apapun tanpa harus takut disambangi tentara atau intel.”
Tapi kini, saya mulai agak ragu untuk mengatakan hal seperti itu lagi pada mahasiswa. Suasana jaman sekarang ini malah agak mengingatkan saya pada Orde Baru.
Aku mengenalnya sebagai Pak Undan. Dia seorang tentara, kalau tidak salah berpangkat kopral kepala di sebuah Koramil, di kecamatan tempat Bapakku bertugas sebagai camat. Ini kecamatan yang agak-agak rawan, karena PPP sangat kuat di sini. Bapakku yang adik kandung Ketua DPD PPP malah membawa misi untuk memenangkan Golkar di sini.
Nah, Pak Undan ini tipe tentara yang agak berangasan dan sok tahu. Tapi tentu itu lumrah saja, sebab partai ABRI sedang berkuasa saat itu.
Sore kemarin usai sebuah sesi workshop di Novotel Tunis, seorang peserta, perempuan 50an tahun, mendekat dan mengulurkan tangan menyalamiku. Kuberikan tangan menyambut ajakan salamannya.
“Merci, monsieur Karim,” katanya.
Kagetkah Anda ketika seorang Bupati ditangkap sedang dalam keadaan teler karena narkoba? Jika iya, ada dua kemungkinan.
Beberapa minggu lalu, saya berbincang dengan seorang teman dari World Bank. Saat itu media baru saja reda meributkan foto-foto pertemuan Fadli Zon dan Setya Novanto dengan konglomerat Donald Trump. Teman ini bertanya pada saya: “why clowns like them got elected and re-elected?” Kok bisa, kata dia, wong ndhagel seperti itu kok terpilih terus jadi anggota dewan.