Category: Politik
Politik itu Wajib bagi NU
Pekan ini adalah pekan Muktamar NU yang ke-32. Kegairahan yang luar biasa jelas ditunjukkan oleh bukan saja para muktamirin dan kandidat yang bersaing di kota Makassar, namun juga oleh sejumlah pengamat NU. Rata-rata mereka tampak akur tentang satu hal: bahwa NU harus menjauhi aktifitas politik praktis, dan dalam kaitan dengan itu NU juga harus dilepaskan dari dominasi politisi serta dikembalikan lagi ke bawah supremasi ulama.
***
Dari atas udara dalam penerbangan, Makassar sama sekali tak kelihatan. Tak jelas detail lalu-lalang manusia di bawah sana. Tapi saya merasakan (atau menduga dengan sangat kuat) bahwa di sana sejumlah besar orang (sebagian bersarung dan berkopiah) sedang memulai sebuah hajat besar Muktamar NU ke-32.
Lewat akun twitter yang saya buka sambil menunggu pesawat berangkat dari Yogya di pagi hari pembukaan Muktamar itu, saya membaca ‘kicauan’ salah seorang tokoh muda Islam di Indonesia, Luthfi Assyaukanie. Jam 06.51 pagi tanggal 22 Maret 2010, Luthfi menulis dari Makassar: “Muktamar NU ini seperti Pilkada. Banyak spanduk dan Baliho. Organisasi Keagamaan tak ubahnya seperti parpol.”
Reshuffle, Mungkinkah?
Beberapa waktu belakangan, wacana tentang reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II menjadi rada seksi di kalangan sejumlah politisi. Meski jelas-jelas reshuffle kabinet adalah hak prerogatif presiden, tak sedikit parpol dan politisi yang berkepentingan untuk menangkap peluang baru andai hal itu terjadi. Pertanyaannya kini, seberapa besarkah kepentingan SBY atas reshuffle kabinetnya? Apa saja peluang dan masalah yang mungkin muncul jika itu dilakukan?
Hari-hari belakangan, lagi-lagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memamerkan keluh kesah dan curhat pada publik. Dia mengeluhkan tekanan publik yang demikian besar, yang menurut SBY bisa menjerumuskan dirinya pada keputusan yang tak prosedural. “Saya jangan dipaksa”, demikian kata sang Presiden kira-kira, menanggapi tuntutan publik untuk segera menindak-lanjuti rekomendasi dari Tim 8 tentang penuntasan kasus Bibit – Candra dan Polri.
Suatu hari di pertengahan Maret 1957, pimpinan PNI datang menghadap Bung Karno (BK) di istananya yang megah itu. Para pimpinan PNI ini meminta dukungan BK untuk kembali ke UUD 1945, dan meninggalkan UUDS 1950 yang saat itu berlaku dengan sistem parlementer di dalamnya.
Keterbatasan tak jarang mendorong lahirnya kreatifitas yang luar biasa. Dalam keadaan yang serba dibatasi oleh lingkungan, manusia biasanya melahirkan ide-ide dan tindakan yang mengagumkan. Begitulah kiranya keadaan yang paling bisa menggambarkan menguatnya gerakan Islam di kampus sekuler seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta sejak pertengahan 1970-an.
Numpang Menang, Nyicil Rongrongan
Entah dengan cara apa akan kita nilai langkah-langkah SBY dan Partai Demokrat (PD) belakangan ini. Akankah kita nilai mereka sebagai pihak yang lamban dalam memutuskan mitra koalisi dan pasangan capres-cawapres, ataukah kita akan beri mereka predikat sebagai pihak yang cerdas dalam membaca medan, serta mengasapi ‘lubang ular’ agar keluarlah semua kepentingan?
Mendampingi Pemilih Perempuan
[Bernas Jogja, 6/5/2009]
Perempuan dan politik, barangkali sama seperti perempuan dan mesin. Citra dunia politik dan mesin yang keras, kasar dan kotor selalu dianggap tak cocok dengan idealisasi perempuan yang mesti halus dan bersih.
Padahal keadaannya tak selalu demikian.