Categories
Buku Politik Sosok

Kisah-kisah Hantu*

Tanggal 30 September 2016 malam, saya mengisi sebuah acara diskusi yang dadakan oleh sebuah komunitas di kawasan selatan Yogyakarta. Tema diskusi yang bertepatan dengan “ulang tahun” peristiwa G-30-S itu adalah tentang rekonsiliasi nasional untuk merajut bangsa yang agak terbelah karena konflik ideologis.

Dalam diskusi ini saya menyampaikan pandangan pokok, bahwa terkait dengan peristiwa-peristiwa pasca G-30-S, konflik terbesar yang kita hadapi sebenarnya adalah konflik dengan akal sehat. Karena itu, rekonsiliasi utama yang harus kita lakukan adalah dengan akal sehat, bukan dengan yang lain-lain. Kita harus segera menghentikan permusuhan kita dengan akal sehat, ketika melihat peristiwa sejarah. Salah satu cara sekaligus hasil dari permusuhan kita dengan akal sehat ini adalah ketakutan akan hantu yang tak jelas bentuknya. Kita adalah bangsa penderita spectrophobia yang sengaja dibuat oleh penguasa.

Categories
Sosok

Ennahda

Sore kemarin usai sebuah sesi workshop di Novotel Tunis, seorang peserta, perempuan 50an tahun, mendekat dan mengulurkan tangan menyalamiku. Kuberikan tangan menyambut ajakan salamannya.

“Merci, monsieur Karim,” katanya.

Categories
Renungan Sosok

Damardjati

Setiap berkendara dari perempatan Kamdanen, ke timur ke arah Jalan Kaliurang, aku selalu melintasi rumah almarhum Prof. Damardjati Supadjar. Setiap kali pula, aku teringat sebuah percakapan dengan beliau, yang bagiku sangat inspiratif.

Tahun 90an awal, Pak Damar beberapa kali mengisi acara di Masjid Ashshiddiqi, Demangan — sebuah masjid kecil yang aku turut mengurusnya. Ceramah beliau selalu sangat filosofis, sarat dengan ilmu kelas tinggi yang disajikan dengan cara amat sederhana. Ngelmu tuwo, kata beberapa jamaah senior di masjid itu.

Pada suatu kesempatan, saat turut mengantar Pak Damar pulang usai ceramah, aku bertanya pada beliau, “Pak, jadi dosen enak ya?”

“Bagi saya enak,” jawab beliau. “Tapi kalau diniati untuk kaya raya, ya jadi dosen itu tidak enak.”

“Tapi jadi dosen kan harus selalu menambah ilmu Pak,” kataku agak kurang nyambung.

“Tentu saja. Tapi itu kan otomatis berjalan, tak perlu dipaksakan.”

“Jadi tidak berat ya Pak?”

“Sama sekali tidak. Yang berat itu malah hal lain.”

“Apa itu Pak?”

“Mengendalikan ego,” jawab beliau.

Aku membuka telinga…

“Seorang dosen, juga seorang guru atau ustadz atau kyai, mudah terjerumus pada ‘ujub.” Pak Damar mulai menjelaskan. “Dengan pengetahuan yang dimiliki, dengan peluang untuk berbicara di depan orang lain yang bersedia atau dipaksa mendengarkan, semua pendidik pada dasarnya punya peluang menjadi tinggi hati. Ciri pendidik yang tinggi hati adalah gemar memamerkan pengetahuan, agar nampak pandai di hadapan anak-didiknya.”

“Tapi kan itu lumrah Pak.”

“Tidak lumrah. Pendidik yang tinggi hati, sesungguhnya akan gagal mendidik. Dia hanya akan menghasilkan pengagum, bukan orang terdidik. Pendidik yang baik adalah yang mampu menekan ego di hadapan anak-anak didiknya.

“Menekan ego seperti apa Pak, maksudnya?” Aku tak paham betul apa maksud Pak Damar.

“Menekan ego untuk nampak pintar. Tugas guru dan dosen bukanlah keminter di hadapan murid-muridnya, melainkan untuk memberi inspirasi.”

“Menunjukkan kepintaran di hadapan murid kan juga bisa menginspirasi Pak?” tanyaku tetap kurang paham.

“Iya, inspirasi untuk kagum pada sang guru, bukan inspirasi untuk mencari ilmu sejati.”

Tetap tak paham, namun aku lanjut bertanya. “Soal menekan ego itu Pak, seberapa banyak pendidik yang bisa melakukannya?”

“Hanya mereka yang bisa menghayati makna ‘tidak ada ilah selain Allah’ yang bisa menekan ego.”

Aku tak yakin apakah aku betul-betul paham yang dimaksudkan oleh Pak Damar. Namun kata-kata itu selalu terngiang di benakku: “Seorang pendidik harus menekan ego untuk nampak pintar”.

Aku baru bisa mencerna dan sedikit-demi-sedikit memahami kata-kata itu beberapa tahun kemudian, setelah beberapa waktu menjadi dosen. Bahkan hingga sekarangpun, aku tak yakin apakah bisa mengendalikan ego seperti dimaksud Pak Damar itu.

Lahul faatihah…

===============
Catatan: Kisah di atas tidak saya tulis secara verbatim. Essensinya seperti itu, namun kata-kata yang diucapkan Pak Damar mungkin berbeda secara redaksional.

Categories
Politik Sosok

“Jokowi adalah Kita”

Frase di atas banyak digunakan oleh pendukung, relawan dan jurkam Jokowi selama masa pilpres. Dengan frase ini, publik diajak untuk turut merasa memiliki Jokowi, serta melihat capres ini sebagai personifikasi kepentingan bersama. Dengan saingan kandidat sebelah yang mudah ditunjuk kesalahan masa lalunya, Jokowi menang pilpres dengan agak mengejutkan: selisih suaranya tak cukup tebal.

Categories
Politik Sosok

Plutokrasi: Politik Para Tajir

Akhirnya, yang dihebohkan publik selama beberapa minggu ini mulai menemukan titik klimaksnya. Senin (19/5), dua pasangan capres-cawapres dideklarasikan pada publik. Di Gedung Joang 45, Joko Widodo dan Jusuf Kalla dideklarasikan sebagai pasangan capres-cawapres oleh PDIP dengan dukungan Nasdem, PKB dan Hanura. Di Gedung Polonia, giliran Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa dideklarasikan sebagai pasangan capres-cawapres oleh Gerindra dengan dukungan Golkar dan sejumlah partai Islam: PAN, PKS dan PPP.

Categories
Multikulturalisme Politik Renungan Sejarah Sosok

Indonesia yang Arab?

4 Oktober 1934, sejumlah pemuda keturunan Arab di kawasan yang kini Indonesia mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab. Isi sumpah itu adalah: (1) Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia, (2) Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan mengisolasi diri, dan (3) Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.

Categories
Politik Sejarah Sosok

Tragedi, Buat Siapa?

Lengsernya seorang Presiden, tentu bukan fenomena biasa. Tanpa bermaksud membeda-bedakan manusia karena jabatannya, namun pemecatan seorang Kapolsek karena kasus pungli, misalnya, pastilah punya skala sebab dan akibat yang jauh lebih kecil daripada terjungkalnya Presiden RI. Lengsernya Bung Karno karena kudeta inkremental, Pak Harto karena rapuhnya pondasi kekuasaan di penghujung 1990an, dan Gus Dur karena konflik dengan Poros Tengah dan sekelompok perwira tinggi TNI, adalah tragedi politik yang bukan main-main.

Categories
Politik Sosok

Kemana Presiden Kita?

Jumat malam hingga Sabtu dini hari (5-6/10/2012) kemarin, HP saya diramaikan oleh silang informasi. Teman-teman aktivis masyarakat sipil di Jakarta mengabarkan bahwa provos Polri (yang dimaksud adalah Profesi dan Pengamanan [Propam] Polri) menggerebek KPK, untuk menangkap seorang penyidik KPK, anggota Polri berpangkat Kompol. Sejumlah elemen masyarakat sipil sigap berkumpul di KPK, serta saling mengabarkan bahwa mereka akan bersama-sama menjaga KPK dari ‘serbuan’ Polri.

Categories
Renungan Sosok

Pembebasan

Tanggal 30 Desember ini, tepat dua tahun Gus Dur wafat menurut hitungan Masehi. Haulnya diperingati dalam minggu-minggu ini, sebab dalam hitungan Hijriyah, tanggalnya sudah tiba beberapa waktu yang lalu. Tahun pertama sejak wafatnya Gus Dur boleh dianggap sebagai tahun berduka-cita bagi yang merasa kehilangan tokoh ini. Namun tahun kedua dan ketiga, duka-cita itu boleh dianggap sudah reda, dan kini tiba waktunya untuk membahas tentang warisan.