Lembaga kemahasiswaan di kampus adalah lembaga yang sangat penting dan kontributif dalam proses pematangan berpikir dan bertindak seorang mahasiswa. Banyak keterampilan sosial dan politik yang sangat penting yang dibutuhkan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan diri (sehingga lebih berpeluang untuk sukses) justru dikembangkan di lembaga-lembaga kemahasiswaan, ketimbang di ruang kuliah. Orientasi ideologis dan politik seseorang bahkan lebih mungkin untuk dibentuk di luar ruang kuliah, khususnya di lembaga-lembaga kemahasiswaan itu.
Sambil berjalan tak-bergegas ke arah mobil, pada pria paruh baya yang mengantarkan kami ke halaman depan itu kutanyakan: “apa arti kata ‘Sangam’?”
“‘Sangam’ artinya pertemuan,” jawab pria simpatik berwajah Eropa yang mahir berbahasa Indonesia tersebut.
“‘Pertemuan’ as in ‘meeting’?” tanyaku lagi, berusaha meyakinkan.
“Tidak,” jawab pemilik tempat yang baru kudatangi itu. “Maksudnya pertemuan dua sungai. ‘Sangam’ adalah titik pertemuan dua sungai.”
“Ohh… Pertemuan dua sungai.” Aku mengangguk-angguk mafhum. Lalu pada stafnya yang orang Yogya asli kuberkata: “Mirip dengan kata ‘tempuran’ ya, kalau dalam bahasa Jawa.” Yang kuajak bicara manthuk dengan mantap.
Aku pun kemudian berlalu. Membawa rasa puas tak terkatakan…
Mentari Kembar
Politik itu Wajib bagi NU
Pekan ini adalah pekan Muktamar NU yang ke-32. Kegairahan yang luar biasa jelas ditunjukkan oleh bukan saja para muktamirin dan kandidat yang bersaing di kota Makassar, namun juga oleh sejumlah pengamat NU. Rata-rata mereka tampak akur tentang satu hal: bahwa NU harus menjauhi aktifitas politik praktis, dan dalam kaitan dengan itu NU juga harus dilepaskan dari dominasi politisi serta dikembalikan lagi ke bawah supremasi ulama.
***
Dari atas udara dalam penerbangan, Makassar sama sekali tak kelihatan. Tak jelas detail lalu-lalang manusia di bawah sana. Tapi saya merasakan (atau menduga dengan sangat kuat) bahwa di sana sejumlah besar orang (sebagian bersarung dan berkopiah) sedang memulai sebuah hajat besar Muktamar NU ke-32.
Lewat akun twitter yang saya buka sambil menunggu pesawat berangkat dari Yogya di pagi hari pembukaan Muktamar itu, saya membaca ‘kicauan’ salah seorang tokoh muda Islam di Indonesia, Luthfi Assyaukanie. Jam 06.51 pagi tanggal 22 Maret 2010, Luthfi menulis dari Makassar: “Muktamar NU ini seperti Pilkada. Banyak spanduk dan Baliho. Organisasi Keagamaan tak ubahnya seperti parpol.”
Reshuffle, Mungkinkah?
Beberapa waktu belakangan, wacana tentang reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II menjadi rada seksi di kalangan sejumlah politisi. Meski jelas-jelas reshuffle kabinet adalah hak prerogatif presiden, tak sedikit parpol dan politisi yang berkepentingan untuk menangkap peluang baru andai hal itu terjadi. Pertanyaannya kini, seberapa besarkah kepentingan SBY atas reshuffle kabinetnya? Apa saja peluang dan masalah yang mungkin muncul jika itu dilakukan?
Hari-hari belakangan, lagi-lagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memamerkan keluh kesah dan curhat pada publik. Dia mengeluhkan tekanan publik yang demikian besar, yang menurut SBY bisa menjerumuskan dirinya pada keputusan yang tak prosedural. “Saya jangan dipaksa”, demikian kata sang Presiden kira-kira, menanggapi tuntutan publik untuk segera menindak-lanjuti rekomendasi dari Tim 8 tentang penuntasan kasus Bibit – Candra dan Polri.
Beberapa waktu yang lalu saya membeli buku karya Sadanand Dume berjudul Teman saya yang fanatik: membongkar jaringan Islam garis keras di Indonesia. Buku yang dalam dalam Bahasa Inggris terbit tahun lalu dengan judul My friend the fanatic ini berisi catatan penulisnya tentang Islam di Indonesia berdasarkan persentuhan pribadinya dengan sejumlah orang dan kelompok Muslim di negeri ini.
Aku memandangimu dengan termangu, Kawan
Atau sepatutnyakah aku
meremaskan getar sedih di tanganku padamu?
Aku ingin menemuimu
Sungguh